“Kami sudah sering korbankan satu hari tidak cari muatan hanya untuk mengantre,” tutur Samuel dengan nada lelah.
Bekerja, berarti harus mengisi tangki. Mengisi tangki, berarti harus antre. Inilah lingkaran setan yang harus dihadapi. Menurutnya, setelah berhasil mengisi solar hari ini, barulah besok ia bisa bekerja mencari nafkah.
Pertamina sebenarnya telah memberikan dua pilihan, Solar Subsidi dengan harga Rp 6.400 per liter dan Dexlite (Non Subsidi) seharga Rp 14.000 per liter. Jarak harga yang hampir tiga kali lipat inilah yang menjadi penentu pilihan para supir.
Samuel pernah merasakan pahitnya kehabisan solar subsidi di saat mendesak. “Terpaksa saya isi Dexlite. Dengan uang Rp 384 ribu yang tadinya bisa dapat 60 liter solar subsidi, beli Dexlite saya hanya dapat 27 liter. Beda jauh sekali,” terangnya.
Kerugian volume ini yang membuat para supir pantang menyerah dalam antrean. Hanya truk perusahaan besar atau kendaraan pribadi yang tak keberatan merogoh kocek lebih dalam untuk Dexlite.
Tidak hanya masalah kuota, antrean ini diperparah oleh keterbatasan layanan. Hanya sedikit SPBU di Jayapura yang melayani penjualan solar subsidi, dan jam operasionalnya ketat, hanya sampai pukul 21.00 WIT. Kondisi ini membuat antrean bisa memanjang hingga berhari-hari.
Ali, supir taksi trayek Abe-Sentani, menyayangkan kondisi setiap menjelang tahunan ini.
“Saya kalau sudah antri satu hari, otomatis baru bisa narik di hari berikutnya. Kami rugi waktu dan pemasukan,” keluhnya. Meski demikian, Ali mengakui bahwa antrean adalah pilihan terbaik. Selain murah, kualitas solar subsidi dianggap lebih terjamin.
“Kalau kami beli di luar (eceran), takutnya solar oplosan. Harganya juga sudah naik jadi Rp 10 ribu sampai Rp 12 ribu per liter. Jadi, mendingan kami antri, meski harus berpanas-panasan,” pungkasnya.