Thursday, March 28, 2024
26.7 C
Jayapura

Buat Batik Ciprat dan Tulis, Tembus Pasar Mancanegara

KREKA, Organisasi Bisnis Sosial Daur Ulang Sampah

Seiring perkembangan industri tekstil yang cukup pesat, perlu ada perhatian khusus terkait dampaknya terhadap lingkungan. Terutama terkait limbah. Di tangan Burhanudin, limbah dia kreasikan menjadi bahan bermanfaat bahkan dilirik pasar mancanegara.

ULIL MUAWANAH, Balikpapan

INDUSTRI tekstil tercatat menjadi salah satu penyumbang timbunan limbah. Limbah industri pakaian tidak hanya diartikan sebatas limbah yang dihasilkan dalam proses produksi suatu kain. Tetapi, produk kain atau pakaian tersebut juga berpotensi menghasilkan limbah.

Limbah tersebut bukan hanya dari industri berskala besar, namun juga berasal dari masyarakat sebagai unit penghasil terkecil. Dari hulu, tengah hingga hilir turut menyumbang. Selain itu, limbah cairan yang mengandung zat-zat sisa pewarna dari proses produksi sering kali berbahaya karena bersifat racun bagi makhluk hidup.

Burhanudin, Founder Kreasi Kita dan The Mini Boss Indonesia berujar, limbah tekstil tak ubahnya limbah plastik bila tak cermat mengatasinya. Bahkan, limbah tekstil menjadi pembicaraan hangat pula di berbagai negara. Sebab, selayaknya limbah plastik, seiring dengan pertumbuhan masyarakat membuat permintaan produksi meningkat.

Ditambah, tren mode fashion selalu berubah-ubah. Di Balikpapan sendiri yang dikenal sebagai kota heterogen dan tingkat gengsi tinggi menjadikan pakaian baru sebagai konsumsi wajib.

“Satu rumah anggota keluarga setidaknya 3-5 orang. Dan 1 orang bisa menyumbang 5 kg limbah pakaian dalam 3 bulan, hingga 50 kg dalam setahun, dikalikan dengan jumlah penduduk dipastikan jumlah limbah pakaian terus bertambah besar,” kata Burhanudin.

“Apalagi perubahan gaya hidup, masyarakat kita yang heterogen dan sekadar mengikuti gengsi,” ujar pria berambut ikal tersebut. Penanganan limbah pakaian yang masih tidak seimbang membuatnya prihatin. Banyak penjual atau marketplace yang menawarkan harga murah kian memperburuk volume limbah.

Baca Juga :  Dibacok di Siku, tapi Lebih Suka Melapor sebagai Kecelakaan Tunggal

Butuh sinergisitas bersama, tidak hanya pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH), pihak swasta mesti dilibatkan pula sebagai produsen tekstil. Pria kelahiran Wabula/Buton pada 9 Agustus 1977 tersebut mengatakan, butuh langkah recycle dan renew untuk menguranginya.

Didorong kekhawatiran terhadap lingkungan, Burhanudin mendirikan KREKA. Organisasi bisnis sosial ini sudah berdiri cukup lama, semenjak 2016. Tidak hanya batik ciprat dan tulis, dulu awal mula merintis, Burhanudin memulai dengan mengumpulkan kemasan bungkus, botol plastik hingga barang-barang tak terpakai lainnya.

Mengusung dengan nama brand ‘Be-Impact’. Sesuai namanya yang diharapkan mampu berdampak positif, meski barang telah berhasil di daur ulang, mindset masyarakat sulit diubah. Sampah tetaplah sampah. Sehingga, penjualan stagnan. Sempat vakum tidak ada keberlangsungan karena sepi pembeli, akhirnya dia mencoba usaha batik ciprat dan tulis.

“Kami ada kerja sama dengan Hotel Novotel untuk barang-barang yang masih memungkinkan di-renew seperti seprai yang kita buat batik, ataupun program Jeans Care tapi hanya bertahan beberapa bulan saja,” jelas pria yang tinggal di Balikpapan Utara tersebut.

Jeans Care adalah program di mana celana atau pakaian berbahan jeans yang tak terpakai akan diperbaiki serta dimodifikasi. Akan tetapi, dia kembali terbentur realita, bahwa mengubah mindset tidaklah mudah. Orang tetap beranggapan, recycle dan renew sesuatu yang sama.

Walaupun sementara tak berlanjut, bukan berarti tidak berjalan. Dia menuturkan, ke depan para perajin di KREKA akan dilengkapi peralatan mesin reparasi untuk sepatu dan tas, agar kegiatan recycle dan renew kembali berlanjut. Sebab, bagaimanapun kata Burhan, recycle dan renew ialah bagian dari rantai ekonomi bisnis di KREKA.

Baca Juga :  Pertegas di Vietnam dan Tekan Seminim Mungkin 3C

Tidak ada dukungan, dia berharap, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) bisa memberikan pintu, agar keseluruhan limbah dapat ditangani. “Harapan besar kami, limbah tekstil bisa diberikan kepada tangan-tangan terampil. Sehingga, teman-teman perajin di KREKA bisa berinovasi dan mampu diberdayakan. Termasuk kaum remaja,” tuturnya.

Untuk diketahui, di KREKA terdapat 30 orang perajin lokal yang bergabung. Tua maupun remaja. Penjualan batik masih baik. Bahkan mampu bertahan. Animonya pun luar biasa. Burhanudin juga menambahkan, sekalipun di tengah situasi pagebluk, KREKA sebagai usaha bisnis sosial mampu bertahan. Malah memberi ruang untuk produksi.

Sayang, masih banyak PR dari tenaga kerja terampil masih minim inovasi. Sehingga, harus terus dilatih agar meng-update ilmu dan mampu mengikuti permintaan pasar. Harga batik ciprat yang dijual Rp 300-500 ribu, sedangkan batik tulis Rp 2-7 juta bergantung corak dan lama pembuatan. “Pembeli tidak hanya di Indonesia, ada teman-teman dari Eropa, Australia, dan Dubai juga telah memesan kepada kami di KREKA,” sebutnya.

Tahun depan, sekitar April atau Maret, Burhanudin berencana menggelar fashion show, pameran UMKM, lomba hingga charity. Itu akan menjadi acara fashion show ketiga yang dia adakan. Secara umum antusias masyarakat terhadap kegiatan fashion show sangat dinantikan. Tidak kalah dengan kota-kota lainnya, menurutnya, para desainer lokal pun semakin tumbuh.

“Konsep masih terus dimatangkan. Kami juga mengundang para desainer luar Balikpapan buat berpartisipasi. Serta membuka peluang besar bagi remaja yang tertarik di tata busana untuk menampilkan karya mereka. Tujuan lainnya demi menghasilkan brand-brand lokal, siap bersaing seiring dengan perpindahan IKN nanti,” pungkasnya. (*/ndu/k15/JPG)

KREKA, Organisasi Bisnis Sosial Daur Ulang Sampah

Seiring perkembangan industri tekstil yang cukup pesat, perlu ada perhatian khusus terkait dampaknya terhadap lingkungan. Terutama terkait limbah. Di tangan Burhanudin, limbah dia kreasikan menjadi bahan bermanfaat bahkan dilirik pasar mancanegara.

ULIL MUAWANAH, Balikpapan

INDUSTRI tekstil tercatat menjadi salah satu penyumbang timbunan limbah. Limbah industri pakaian tidak hanya diartikan sebatas limbah yang dihasilkan dalam proses produksi suatu kain. Tetapi, produk kain atau pakaian tersebut juga berpotensi menghasilkan limbah.

Limbah tersebut bukan hanya dari industri berskala besar, namun juga berasal dari masyarakat sebagai unit penghasil terkecil. Dari hulu, tengah hingga hilir turut menyumbang. Selain itu, limbah cairan yang mengandung zat-zat sisa pewarna dari proses produksi sering kali berbahaya karena bersifat racun bagi makhluk hidup.

Burhanudin, Founder Kreasi Kita dan The Mini Boss Indonesia berujar, limbah tekstil tak ubahnya limbah plastik bila tak cermat mengatasinya. Bahkan, limbah tekstil menjadi pembicaraan hangat pula di berbagai negara. Sebab, selayaknya limbah plastik, seiring dengan pertumbuhan masyarakat membuat permintaan produksi meningkat.

Ditambah, tren mode fashion selalu berubah-ubah. Di Balikpapan sendiri yang dikenal sebagai kota heterogen dan tingkat gengsi tinggi menjadikan pakaian baru sebagai konsumsi wajib.

“Satu rumah anggota keluarga setidaknya 3-5 orang. Dan 1 orang bisa menyumbang 5 kg limbah pakaian dalam 3 bulan, hingga 50 kg dalam setahun, dikalikan dengan jumlah penduduk dipastikan jumlah limbah pakaian terus bertambah besar,” kata Burhanudin.

“Apalagi perubahan gaya hidup, masyarakat kita yang heterogen dan sekadar mengikuti gengsi,” ujar pria berambut ikal tersebut. Penanganan limbah pakaian yang masih tidak seimbang membuatnya prihatin. Banyak penjual atau marketplace yang menawarkan harga murah kian memperburuk volume limbah.

Baca Juga :  Dibacok di Siku, tapi Lebih Suka Melapor sebagai Kecelakaan Tunggal

Butuh sinergisitas bersama, tidak hanya pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH), pihak swasta mesti dilibatkan pula sebagai produsen tekstil. Pria kelahiran Wabula/Buton pada 9 Agustus 1977 tersebut mengatakan, butuh langkah recycle dan renew untuk menguranginya.

Didorong kekhawatiran terhadap lingkungan, Burhanudin mendirikan KREKA. Organisasi bisnis sosial ini sudah berdiri cukup lama, semenjak 2016. Tidak hanya batik ciprat dan tulis, dulu awal mula merintis, Burhanudin memulai dengan mengumpulkan kemasan bungkus, botol plastik hingga barang-barang tak terpakai lainnya.

Mengusung dengan nama brand ‘Be-Impact’. Sesuai namanya yang diharapkan mampu berdampak positif, meski barang telah berhasil di daur ulang, mindset masyarakat sulit diubah. Sampah tetaplah sampah. Sehingga, penjualan stagnan. Sempat vakum tidak ada keberlangsungan karena sepi pembeli, akhirnya dia mencoba usaha batik ciprat dan tulis.

“Kami ada kerja sama dengan Hotel Novotel untuk barang-barang yang masih memungkinkan di-renew seperti seprai yang kita buat batik, ataupun program Jeans Care tapi hanya bertahan beberapa bulan saja,” jelas pria yang tinggal di Balikpapan Utara tersebut.

Jeans Care adalah program di mana celana atau pakaian berbahan jeans yang tak terpakai akan diperbaiki serta dimodifikasi. Akan tetapi, dia kembali terbentur realita, bahwa mengubah mindset tidaklah mudah. Orang tetap beranggapan, recycle dan renew sesuatu yang sama.

Walaupun sementara tak berlanjut, bukan berarti tidak berjalan. Dia menuturkan, ke depan para perajin di KREKA akan dilengkapi peralatan mesin reparasi untuk sepatu dan tas, agar kegiatan recycle dan renew kembali berlanjut. Sebab, bagaimanapun kata Burhan, recycle dan renew ialah bagian dari rantai ekonomi bisnis di KREKA.

Baca Juga :  Dipersiapkan Untuk Penampung Ekspor Ikan Laut, Masih Dikelola Pihak Ketiga

Tidak ada dukungan, dia berharap, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) bisa memberikan pintu, agar keseluruhan limbah dapat ditangani. “Harapan besar kami, limbah tekstil bisa diberikan kepada tangan-tangan terampil. Sehingga, teman-teman perajin di KREKA bisa berinovasi dan mampu diberdayakan. Termasuk kaum remaja,” tuturnya.

Untuk diketahui, di KREKA terdapat 30 orang perajin lokal yang bergabung. Tua maupun remaja. Penjualan batik masih baik. Bahkan mampu bertahan. Animonya pun luar biasa. Burhanudin juga menambahkan, sekalipun di tengah situasi pagebluk, KREKA sebagai usaha bisnis sosial mampu bertahan. Malah memberi ruang untuk produksi.

Sayang, masih banyak PR dari tenaga kerja terampil masih minim inovasi. Sehingga, harus terus dilatih agar meng-update ilmu dan mampu mengikuti permintaan pasar. Harga batik ciprat yang dijual Rp 300-500 ribu, sedangkan batik tulis Rp 2-7 juta bergantung corak dan lama pembuatan. “Pembeli tidak hanya di Indonesia, ada teman-teman dari Eropa, Australia, dan Dubai juga telah memesan kepada kami di KREKA,” sebutnya.

Tahun depan, sekitar April atau Maret, Burhanudin berencana menggelar fashion show, pameran UMKM, lomba hingga charity. Itu akan menjadi acara fashion show ketiga yang dia adakan. Secara umum antusias masyarakat terhadap kegiatan fashion show sangat dinantikan. Tidak kalah dengan kota-kota lainnya, menurutnya, para desainer lokal pun semakin tumbuh.

“Konsep masih terus dimatangkan. Kami juga mengundang para desainer luar Balikpapan buat berpartisipasi. Serta membuka peluang besar bagi remaja yang tertarik di tata busana untuk menampilkan karya mereka. Tujuan lainnya demi menghasilkan brand-brand lokal, siap bersaing seiring dengan perpindahan IKN nanti,” pungkasnya. (*/ndu/k15/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya