Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Ditinggal PKL, Kupang Sepi, Kotor dan Tak Terawat

Melihat Keberadaan Pantai Dok II Jayapura Pasca Larangan PKL Berjualan

Pantai Dok II Jayapura merupakan salah satu tempat nongkrong favorit di Kota Jayapura. Sayangnya lokasi yang memiliki pemandangan menarik ini, seringkali terganggu dengan sampah. Bagaiamana kondisi Pantai II pada malam hari ? Berikut laporannya

Laporan: Elfira, Jayapura

JALAN Soa Siu Dok 2 Bawah, Distrik Jayapura Utara, Sabtu (16/10) lalu nampak sepi ketika matahari baru saja pamit di bahu langit kala itu. Padahal, sebelumnya tempat ini ramai akan lalu lalang warga yang menghabiskan malam minggu bersama teman, keluarga atau bahkan kencan bersama kekasihnya sembari menikmati jajanan Pedagang Kaki Lima (PKL) ditemani deburan ombak.

Tempat yang berada depan kantor Gubernur Papua ini, pada malam hari mulai terlihat sepi usai ditinggal PKL. Sehingga yang tersisa saat itu hanyalah tumpukan sampah, bekas material di bibir jalan usai hujan.

Kursi panjang yang terlihat kotor jejak alas kaki orang orang yang melewatinya. Sementara beberapa kendaraan terparkir di suasana malam yang gelap.

Di lain sudut, terlihat seorang ibu sedang duduk menemani anaknya yang bermain di pasir. Sedang pedagang asongan menenteng jualannya, mondar mandir menunggu dipanggil pembeli.

Dian, ibu satu anak itu berucap soal sepinya Pantai Dok II. Padahal, biasanya lokasi itu ramai terlebih di malam minggu. Saking ramainya kata dia, sampai kesulitan menemukan tempat duduk untuk menikmati suasana malam di depan kantor Gubernur Papua. “Sunyi, sunyi sekali setelah pemerintah melarang orang berjualan di sini,” ucap ibu satu anak ini.

Bukan hanya sunyi menurut perempuan berkerudung itu, melainkan menjadi kotor seperti tak terawat.  “Ketika tidak ada orang, tempat ini (kursi panjang-red) bukannya bersih malah tambah kotor. Lihat saja, ada beberapa tumpukan sampah di sana, becek dan kecoklatan tempat duduknya,” ucapnya sembari jari telunjuk menunjuk ke tumpukan sampah yang menumpuk di trotoar.

Baca Juga :  Jika Mood Sehari Bisa 10 Gambar Termasuk yang Terlintas Dipikiran

Ia pun membedakan, jika ada PKL yang berjualan. Kupang terlihat bersih. Sebab, para penjual biasanya menyediakan tempat sampah. Selain itu, membayar jasa kebersihan sehingga ada yang membersihkan lokasi tersebut setiap hari.

“Kalau memang tempat ini dibuat untuk tempat refresing, atau tempat nongkron bagi warga, lalu melarang PKL berjualan, lantas apa ramenya tempat ini ?,” tanya  warga Dok V itu.

Menurut dia, dengan melarang PKL berjualan, justru membuat orang malas datang ke Kupang. Sebab, orang duduk sudah tentu akan merasa lapar dan haus serta butuh jajan. Sementara yang terjadi saat ini, sudah tak ada pedagang di lokasi tersebut.

“Izinkan saja para PKL berjualan. Sebab dari puluhan orang yang berjualan di Kupang, terdapat orang tua yang mata pencahariannya memang di sini. Sehingga kalau mau diberhentikan tidak tahu para orang tua berjualannya di mana,” ungkapnya.

Warga lainnya Yusna justru mengaku senang Kupang tanpa pedagang. Dengan begitu, setiap orang yang datang tidak kesulitan menemukan tempat duduk untuk menikmati suasana di depan kantor Gubernur Papua tersebut.

“Dulu, ketika tempat ini ramai. Sulit sekali menemukan tempat duduk, sekarang dengan tanpa PKL, mau duduk di mana saja bebas,” ucap ibu dua anak ini.

Yusna sendiri sering malam mingguan di Kupang bersama keluarganya. Kendati Kupang sepi tanpa penjual, ia meminta pemerintah tidak membiarkan lokasi tersebut kotor akan sisa material setelah hujan atau tumpukan sampah.

Baca Juga :  Kondisi Alam Sulit,  Untuk Berkantor Saja Butuh Rp 200 ribu-300 Ribu/Hari

“Warga harus punya kesadaran untuk tidak buang sampah sembarangan, terlebih sudah disediakan tempat sampah,” pintanya.

Sementara itu, Iwan, seorang penjual asongan mengeluhkan sepinya pembeli usai depan kantor Gubernur Papua itu ditinggal pergi oleh PKL.

“Sejak tidak ada PKL di depan kantor Gubernur Papua, pendapatan saya jadi berkurang. Tidak ada lagi penjual bakso dan jajanan lainnya, sekarang pendapatan saya sehari Rp 100 ribu. Padahal saat masih ada pedagang, bisa laku hingga Rp 400 ribu perhari,” keluhnya.

Ia juga menyebut Kupang saat ini lebih kotor tanpa PKL, seakan tak terurus. “Tidak ada penjual malah tambah kotor. Sebab, orang ke sini bawa makanan sendiri lalu membuang sampahnya sembarangan. Pemerintah harus kembalikan PKL ke Kupang, biar tempat ini ramai lagi,” harapnya.

Sementara itu, menanggapi pemerintah bakal membersihkan PKL di depan Kantor Gubernur Papua termasuk eks lokasi venue PON, Owner Kopi Djuang Jayapura, Reja Prayoga Dumatubun menyampaikan ketidaksetujuannya dengan keputusan tersebut.

“Sebenarnya saya tidak setuju dengan keputusan tersebut. Tapi karena tempat itu merupakan venue olahraga dan memang tempat itu tidak memiliki IMB maka tidak masalah,” ucap Yoga.

Namun lanjut Yoga, pemerintah juga harus memberikan opsi pemindahan ke tempat lain. Mengingat bukan hanya satu tempat usaha yang dirugikan, tapi ada belasan bahkan puluhan tempat yang dirugikan jika keputusan itu benar diberlakukan.

“Menurut saya harus ada win win solution juga dari pemerintah yang bersangkutan,” tutupnya.***

Melihat Keberadaan Pantai Dok II Jayapura Pasca Larangan PKL Berjualan

Pantai Dok II Jayapura merupakan salah satu tempat nongkrong favorit di Kota Jayapura. Sayangnya lokasi yang memiliki pemandangan menarik ini, seringkali terganggu dengan sampah. Bagaiamana kondisi Pantai II pada malam hari ? Berikut laporannya

Laporan: Elfira, Jayapura

JALAN Soa Siu Dok 2 Bawah, Distrik Jayapura Utara, Sabtu (16/10) lalu nampak sepi ketika matahari baru saja pamit di bahu langit kala itu. Padahal, sebelumnya tempat ini ramai akan lalu lalang warga yang menghabiskan malam minggu bersama teman, keluarga atau bahkan kencan bersama kekasihnya sembari menikmati jajanan Pedagang Kaki Lima (PKL) ditemani deburan ombak.

Tempat yang berada depan kantor Gubernur Papua ini, pada malam hari mulai terlihat sepi usai ditinggal PKL. Sehingga yang tersisa saat itu hanyalah tumpukan sampah, bekas material di bibir jalan usai hujan.

Kursi panjang yang terlihat kotor jejak alas kaki orang orang yang melewatinya. Sementara beberapa kendaraan terparkir di suasana malam yang gelap.

Di lain sudut, terlihat seorang ibu sedang duduk menemani anaknya yang bermain di pasir. Sedang pedagang asongan menenteng jualannya, mondar mandir menunggu dipanggil pembeli.

Dian, ibu satu anak itu berucap soal sepinya Pantai Dok II. Padahal, biasanya lokasi itu ramai terlebih di malam minggu. Saking ramainya kata dia, sampai kesulitan menemukan tempat duduk untuk menikmati suasana malam di depan kantor Gubernur Papua. “Sunyi, sunyi sekali setelah pemerintah melarang orang berjualan di sini,” ucap ibu satu anak ini.

Bukan hanya sunyi menurut perempuan berkerudung itu, melainkan menjadi kotor seperti tak terawat.  “Ketika tidak ada orang, tempat ini (kursi panjang-red) bukannya bersih malah tambah kotor. Lihat saja, ada beberapa tumpukan sampah di sana, becek dan kecoklatan tempat duduknya,” ucapnya sembari jari telunjuk menunjuk ke tumpukan sampah yang menumpuk di trotoar.

Baca Juga :  Pasca Beberapa Korban Tenggelam, Sepi di Holtekamp Ramai di Hamadi 

Ia pun membedakan, jika ada PKL yang berjualan. Kupang terlihat bersih. Sebab, para penjual biasanya menyediakan tempat sampah. Selain itu, membayar jasa kebersihan sehingga ada yang membersihkan lokasi tersebut setiap hari.

“Kalau memang tempat ini dibuat untuk tempat refresing, atau tempat nongkron bagi warga, lalu melarang PKL berjualan, lantas apa ramenya tempat ini ?,” tanya  warga Dok V itu.

Menurut dia, dengan melarang PKL berjualan, justru membuat orang malas datang ke Kupang. Sebab, orang duduk sudah tentu akan merasa lapar dan haus serta butuh jajan. Sementara yang terjadi saat ini, sudah tak ada pedagang di lokasi tersebut.

“Izinkan saja para PKL berjualan. Sebab dari puluhan orang yang berjualan di Kupang, terdapat orang tua yang mata pencahariannya memang di sini. Sehingga kalau mau diberhentikan tidak tahu para orang tua berjualannya di mana,” ungkapnya.

Warga lainnya Yusna justru mengaku senang Kupang tanpa pedagang. Dengan begitu, setiap orang yang datang tidak kesulitan menemukan tempat duduk untuk menikmati suasana di depan kantor Gubernur Papua tersebut.

“Dulu, ketika tempat ini ramai. Sulit sekali menemukan tempat duduk, sekarang dengan tanpa PKL, mau duduk di mana saja bebas,” ucap ibu dua anak ini.

Yusna sendiri sering malam mingguan di Kupang bersama keluarganya. Kendati Kupang sepi tanpa penjual, ia meminta pemerintah tidak membiarkan lokasi tersebut kotor akan sisa material setelah hujan atau tumpukan sampah.

Baca Juga :  Jika Mood Sehari Bisa 10 Gambar Termasuk yang Terlintas Dipikiran

“Warga harus punya kesadaran untuk tidak buang sampah sembarangan, terlebih sudah disediakan tempat sampah,” pintanya.

Sementara itu, Iwan, seorang penjual asongan mengeluhkan sepinya pembeli usai depan kantor Gubernur Papua itu ditinggal pergi oleh PKL.

“Sejak tidak ada PKL di depan kantor Gubernur Papua, pendapatan saya jadi berkurang. Tidak ada lagi penjual bakso dan jajanan lainnya, sekarang pendapatan saya sehari Rp 100 ribu. Padahal saat masih ada pedagang, bisa laku hingga Rp 400 ribu perhari,” keluhnya.

Ia juga menyebut Kupang saat ini lebih kotor tanpa PKL, seakan tak terurus. “Tidak ada penjual malah tambah kotor. Sebab, orang ke sini bawa makanan sendiri lalu membuang sampahnya sembarangan. Pemerintah harus kembalikan PKL ke Kupang, biar tempat ini ramai lagi,” harapnya.

Sementara itu, menanggapi pemerintah bakal membersihkan PKL di depan Kantor Gubernur Papua termasuk eks lokasi venue PON, Owner Kopi Djuang Jayapura, Reja Prayoga Dumatubun menyampaikan ketidaksetujuannya dengan keputusan tersebut.

“Sebenarnya saya tidak setuju dengan keputusan tersebut. Tapi karena tempat itu merupakan venue olahraga dan memang tempat itu tidak memiliki IMB maka tidak masalah,” ucap Yoga.

Namun lanjut Yoga, pemerintah juga harus memberikan opsi pemindahan ke tempat lain. Mengingat bukan hanya satu tempat usaha yang dirugikan, tapi ada belasan bahkan puluhan tempat yang dirugikan jika keputusan itu benar diberlakukan.

“Menurut saya harus ada win win solution juga dari pemerintah yang bersangkutan,” tutupnya.***

Berita Terbaru

Artikel Lainnya