Beda Masa, Perjuangan Penjual Souvenir Khas Papua di Pasar Hamadi di Tengah Lesunya Ekonomi Daerah
Sebelum adanya Pandemi Covid -19 dan Pemekaran DOB Papua, penjualan suvenir khas Papua masih menggeliat, tapi kini terjun bebas, seolah suvenir khas Papua tidak lagi diminati. Lalu bagaimana upaya penjual souvenir khas untuk kembali menghidupkannya?
Laporan: Priyadi_Jayapura
Deretan toko suvenir khas Papua di depan Pasar Sentral Hamadi, Jayapura, kini tampak lengang. Dulu, deru langkah wisatawan lokal dan mancanegara memadati lorong pertokoan itu. Selalu ramai dan menjadi satu tujuan olah-olah Papua ketika itu. Kini, yang terdengar hanya suara pedagang yang sabar menunggu pembeli kadang hingga sore tanpa satu pun transaksi.
Disalahsatu gerai bernama Asmat Jaya, Haji Anto duduk di depan etalase berisi patung ukiran kayu, topi bulu kasuari, dan noken warna-warni. Ia menatap dagangannya yang sebagian besar didatangkan dari Merauke, Wamena, bahkan ada juga yang diperoleh dari Papua Nugini (PNG). Bentuknya seperti ukiran patung.
“Dulu bisa dapat lima juta sehari, sekarang dapat lima ratus ribu saja sudah syukur,” ucapnya pelan, Selasa (7/10), kemarin. Menurutnya, penurunan penjualan mulai terasa sejak adanya pemekaran provinsi baru di Tanah Papua. Pembeli dari luar daerah seperti Merauke, Timika, dan Wamena yang dulu rutin berbelanja ke Jayapura, kini lebih banyak berputar di wilayahnya masing-masing.
“Sekarang orang dari DOB itu tidak belanja ke sini lagi. Dulu mereka datang urus barang, sekalian beli oleh-oleh. Sekarang semua punya wilayah sendiri,” ujarnya. Ia juga menilai, lesunya ekonomi Jayapura tak lepas dari belum adanya Gubernur Papua definitif yang menyebabkan perputaran uang di daerah belum berjalan optimal.