Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

’’Pulang ke Tanah Air’’ dengan Nasi Goreng Kambing di Gravenstraat 24-A 

Menjelajah Selera Nusantara di Belanda, Negeri dengan Komunitas Indonesia Terbesar di Dunia

Di Leiden, Den Haag, atau Amsterdam, obat kangen pada tanah air mudah ditemukan dalam aneka menu dengan rasa dan keotentikan yang terjaga. Ada yang buku menunya sengaja ditulis hanya dalam bahasa Indonesia.

DINARSA KURNIAWAN, Belanda

BELANDA, bisa dibilang, hanya kalah oleh Indonesia. Untuk urusan mencari makanan khas Indonesia.

Cuma di Negeri Kincir Angin itu selera Nusantara tidak saja mudah ditemukan, tapi juga sudah berasimilasi dengan cita rasa lokal dan menjadi common food (makanan populer yang bisa diterima berbagai kalangan). Maklum, di Belanda-lah komunitas Indonesia terbesar di dunia bisa ditemukan. Sekitar 400 ribu jumlahnya. Faktor sejarah menjadi pengikatnya: perdagangan rempah, lalu penjajahan dalam waktu lama.

Awal Juni lalu, Jawa Pos ke Leiden, Den Haag, dan Amsterdam untuk bertemu dengan sejumlah komunitas Indonesia di tiga kota penting di Belanda itu. Dan, tak lupa mengobati kerinduan pada selera tanah air di restoran-restoran di sana.     

Menurut Renu Lubis, salah seorang pemilik Toko Iboe Tjilik, rumah makan Indonesia legendaris di Leiden, masakan Indonesia di Negeri Oranye terbagi menjadi tiga berdasar kepemilikan restoran. Pertama, orang Belanda yang punya rumah makan Indonesia. Biasanya, cita rasanya sudah disesuaikan dengan lidah lokal dan menunya bercampur dengan menu Belanda.

Kedua, rumah makan Asia, entah Chinese food atau Vietnamese food, yang juga menyajikan menu Indonesia. ’’Yang ketiga, yang otentik. Rasanya asli Indonesia dan pemiliknya juga orang Indonesia,’’ ungkap perempuan yang membuka usaha restoran dan katering bersama suaminya, chef Eduard Roesdi, itu.

Mengenai rumah makan yang dia kelola, Renu bilang hal itu berawal pada 1987. Toko Iboe Tjilik didirikan oleh Tilly Kloer, perempuan asal Solo yang lama menetap di Leiden. Tilly lalu mengajak tiga temannya, yaitu Lien Struyve (Bandung), Elvira Mamahit (Manado), dan Loes Dam (Padang). Keempatnya adalah pensiunan yang mencari kesibukan. Kemudian, mereka berkolaborasi untuk mendirikan rumah makan khas Indonesia.

Renu dan Eduard baru mengambil alih rumah makan itu sembilan tahun setelah didirikan. Seluruh founder Toko Iboe Tjilik telah tiada. Namun, Eduard dan Renu memegang teguh wasiat mereka untuk membuat masakan otentik yang sesuai dengan lidah Indonesia.

Saat ini mereka menyajikan lebih dari 30 macam masakan khas Indonesia setiap hari. Mulai rendang, sate, gado-gado, sayur lodeh, hingga kudapan seperti lemper atau risoles. ’’Syukurlah banyak yang suka,’’ kata Eduard.

Baca Juga :  Iblis Penyebab Kejatuhan Manusia ke Dalam Dosa, Bukan Perempuan

Di Den Haag, kota tempat KBRI berada, ada dua rumah makan Indonesia yang tak boleh dilewatkan: Trio Eethuis dan Waroeng Padang Lapek atau lebih populer disebut Lapek Jo.

Di Trio, Yakin Tany, sang pemilik, menyebut menu andalannya adalah mi ayam. ’’Kata orang, mi ayam di sini seperti Bakmi GM di Indonesia. Pempek juga banyak yang suka,’’ ujar pria 63 tahun yang mendirikan restoran tersebut bareng sang istri, Christine Gunawan, itu.

Hanya berjarak 450 meter dari Trio, ada Waroeng Padang Lapek alias Lapek Jo. Sesuai namanya, restoran itu menyajikan masakan khas Padang. Dan, sebagaimana di tanah air, berbagai lauk khas rumah makan Padang disajikan di restoran yang buka sejak 2019 itu. Di antaranya, rendang, ayam pop, gulai tunjang, dan itiak lado ijo.

Menu terpopuler adalah paket nasi Padang komplet (nasi putih, rendang, gulai nangka, kikil, dendeng, daun singkong, jengkol, sambal hijau, dan tauco) yang dibanderol EUR 17,50 atau sekitar Rp 270 ribu. Dan paket nasi Padang (nasi putih, rendang, kikil, gulai nangka, daun singkong, telur balado, sambal hijau, dan tauco) seharga EUR 16 atau sekitar Rp 246 ribu.

Selayaknya di rumah makan Padang yang ada di Indonesia, dengan memesan nasi Padang hidang, semua menu akan dihidangkan di meja. Bedanya, kalau di Indonesia, Anda hanya akan ditagih untuk makanan yang Anda makan. Sedangkan di Lapek Jo, saat memesan nasi Padang hidang, artinya semua menu yang disajikan harus dibayar. Karena itu, di buku menu tertulis bahwa menu tersebut untuk minimal empat orang, dengan harga per orang sebesar EUR 19,50 atau sekitar Rp 300 ribu.

Buku menu di Lapek Jo ditulis dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Belanda atau bahasa Inggris. ’’Itu supaya pelanggan yang tidak mengerti bertanya, sehingga ada komunikasi antara kami dengan pelanggan,’’ ucap Tony Ochtman, suami Uni Jo, pemilik restoran, yang ketika Jawa Pos ke sana sedang keluar untuk melayani katering.

Jawa Pos pun menjajal menu paket nasi Padang komplet. Sensasi rempah nan kuat dalam setiap gigitan rendang, berpadu dengan nasi putih hangat yang sudah diaduk dengan sambal hijau dan kuah gulai. Sungguh, nikmat mana lagi yang kau dustakan…

Baca Juga :  Tahun 2022 Capai Rp 2 Triliun Lebih, Kini Hanya Ditargetkan Rp 1,17 Triliun 

Tony menyebutkan, kebanyakan pelanggannya adalah orang Indonesia yang tinggal di Den Haag. Tapi, ada juga orang Belanda atau turis yang datang untuk makan. Salah satunya Marco, pria asal Stuttgart, Jerman, yang siang itu tampak lahap menyantap makanan yang dipesannya. ’’Saya sebenarnya random saja masuk ke sini. Saya lewat di depan restoran dan sedang lapar, jadi saya pikir, kenapa tidak saya coba. Ternyata enak banget,’’ paparnya dalam bahasa Jerman.

Amsterdam, kota terbesar di Belanda sekaligus salah satu kota terpopuler di dunia, juga menjadi tuan rumah bagi banyak restoran yang menyajikan masakan Indonesia. Aries Noodle yang berlokasi di Koningin Wilhelminaplein 58, Amsterdam, misalnya.

Aries Tjahjadi, pemilik tempat makan itu, mendirikan usahanya hampir 10 tahun lalu. Tepatnya pada 19 Agustus 2012. Dia hijrah ke Belanda pada 1998 setelah setahun sebelumnya terkena PHK dari pekerjaannya sebagai tour leader.

Salah satu titik balik yang membuatnya berani membuka restoran adalah saat dia bekerja di sebuah toko sepatu. Aries merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Dia keluar dan memutuskan mendirikan restoran. Kini, hampir 10 tahun berselang, Aries Noodles menjadi salah satu restoran yang kerap direkomendasikan bila ingin merasakan sajian mi ayam otentik Indonesia di Amsterdam.

Tempat populer lain adalah Eethuis Sie Joe yang bertempat di Gravenstraat 24-A, hanya beberapa meter dari Dam Square. Suasananya sangat khas Amsterdam. Berdiri di pinggir gang sempit dengan jalanan yang terbuat dari batu.

Berdasar rekomendasi dari orang-orang Indonesia yang tinggal di Amsterdam, menu yang wajib dicoba di sana adalah nasi gorengnya, terutama nasi goreng kambing. Benar saja. Menu yang dibanderol EUR 12,75 atau sekitar Rp 196 ribu itu seakan membawa Anda bertualang ke Jakarta. Sepercik taste nasi goreng Kebon Sirih, Jakarta, yang sangat kondang itu seakan tercecap di lidah sejak suapan pertama.

Berpindah dari Eethuis Sie Joe, ada rumah makan di Amsterdam yang menyajikan berbagai masakan khas Jawa Timur. Namanya Warung Barokah. Di sana, andalannya adalah rujak cingur, nasi rawon, tahu campur, dan gado-gado.

Mulyo Handoyo, seorang pelanggan yang ditemui Jawa Pos siang itu, mengaku sedang membungkus rujak cingur untuk keluarganya. ’’Saya sudah bertahun-tahun langganan di sini. Menurut saya, ini rasanya paling pas. Obat kangen kampung halaman,’’ ungkap arek Suroboyo lulusan Universitas Airlangga tersebut.  (*/c18/ttg/JPG)

Menjelajah Selera Nusantara di Belanda, Negeri dengan Komunitas Indonesia Terbesar di Dunia

Di Leiden, Den Haag, atau Amsterdam, obat kangen pada tanah air mudah ditemukan dalam aneka menu dengan rasa dan keotentikan yang terjaga. Ada yang buku menunya sengaja ditulis hanya dalam bahasa Indonesia.

DINARSA KURNIAWAN, Belanda

BELANDA, bisa dibilang, hanya kalah oleh Indonesia. Untuk urusan mencari makanan khas Indonesia.

Cuma di Negeri Kincir Angin itu selera Nusantara tidak saja mudah ditemukan, tapi juga sudah berasimilasi dengan cita rasa lokal dan menjadi common food (makanan populer yang bisa diterima berbagai kalangan). Maklum, di Belanda-lah komunitas Indonesia terbesar di dunia bisa ditemukan. Sekitar 400 ribu jumlahnya. Faktor sejarah menjadi pengikatnya: perdagangan rempah, lalu penjajahan dalam waktu lama.

Awal Juni lalu, Jawa Pos ke Leiden, Den Haag, dan Amsterdam untuk bertemu dengan sejumlah komunitas Indonesia di tiga kota penting di Belanda itu. Dan, tak lupa mengobati kerinduan pada selera tanah air di restoran-restoran di sana.     

Menurut Renu Lubis, salah seorang pemilik Toko Iboe Tjilik, rumah makan Indonesia legendaris di Leiden, masakan Indonesia di Negeri Oranye terbagi menjadi tiga berdasar kepemilikan restoran. Pertama, orang Belanda yang punya rumah makan Indonesia. Biasanya, cita rasanya sudah disesuaikan dengan lidah lokal dan menunya bercampur dengan menu Belanda.

Kedua, rumah makan Asia, entah Chinese food atau Vietnamese food, yang juga menyajikan menu Indonesia. ’’Yang ketiga, yang otentik. Rasanya asli Indonesia dan pemiliknya juga orang Indonesia,’’ ungkap perempuan yang membuka usaha restoran dan katering bersama suaminya, chef Eduard Roesdi, itu.

Mengenai rumah makan yang dia kelola, Renu bilang hal itu berawal pada 1987. Toko Iboe Tjilik didirikan oleh Tilly Kloer, perempuan asal Solo yang lama menetap di Leiden. Tilly lalu mengajak tiga temannya, yaitu Lien Struyve (Bandung), Elvira Mamahit (Manado), dan Loes Dam (Padang). Keempatnya adalah pensiunan yang mencari kesibukan. Kemudian, mereka berkolaborasi untuk mendirikan rumah makan khas Indonesia.

Renu dan Eduard baru mengambil alih rumah makan itu sembilan tahun setelah didirikan. Seluruh founder Toko Iboe Tjilik telah tiada. Namun, Eduard dan Renu memegang teguh wasiat mereka untuk membuat masakan otentik yang sesuai dengan lidah Indonesia.

Saat ini mereka menyajikan lebih dari 30 macam masakan khas Indonesia setiap hari. Mulai rendang, sate, gado-gado, sayur lodeh, hingga kudapan seperti lemper atau risoles. ’’Syukurlah banyak yang suka,’’ kata Eduard.

Baca Juga :  Tidak Kompromi, Bandar dan Kurir Harus Ditindak dan Diproses Hukum

Di Den Haag, kota tempat KBRI berada, ada dua rumah makan Indonesia yang tak boleh dilewatkan: Trio Eethuis dan Waroeng Padang Lapek atau lebih populer disebut Lapek Jo.

Di Trio, Yakin Tany, sang pemilik, menyebut menu andalannya adalah mi ayam. ’’Kata orang, mi ayam di sini seperti Bakmi GM di Indonesia. Pempek juga banyak yang suka,’’ ujar pria 63 tahun yang mendirikan restoran tersebut bareng sang istri, Christine Gunawan, itu.

Hanya berjarak 450 meter dari Trio, ada Waroeng Padang Lapek alias Lapek Jo. Sesuai namanya, restoran itu menyajikan masakan khas Padang. Dan, sebagaimana di tanah air, berbagai lauk khas rumah makan Padang disajikan di restoran yang buka sejak 2019 itu. Di antaranya, rendang, ayam pop, gulai tunjang, dan itiak lado ijo.

Menu terpopuler adalah paket nasi Padang komplet (nasi putih, rendang, gulai nangka, kikil, dendeng, daun singkong, jengkol, sambal hijau, dan tauco) yang dibanderol EUR 17,50 atau sekitar Rp 270 ribu. Dan paket nasi Padang (nasi putih, rendang, kikil, gulai nangka, daun singkong, telur balado, sambal hijau, dan tauco) seharga EUR 16 atau sekitar Rp 246 ribu.

Selayaknya di rumah makan Padang yang ada di Indonesia, dengan memesan nasi Padang hidang, semua menu akan dihidangkan di meja. Bedanya, kalau di Indonesia, Anda hanya akan ditagih untuk makanan yang Anda makan. Sedangkan di Lapek Jo, saat memesan nasi Padang hidang, artinya semua menu yang disajikan harus dibayar. Karena itu, di buku menu tertulis bahwa menu tersebut untuk minimal empat orang, dengan harga per orang sebesar EUR 19,50 atau sekitar Rp 300 ribu.

Buku menu di Lapek Jo ditulis dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Belanda atau bahasa Inggris. ’’Itu supaya pelanggan yang tidak mengerti bertanya, sehingga ada komunikasi antara kami dengan pelanggan,’’ ucap Tony Ochtman, suami Uni Jo, pemilik restoran, yang ketika Jawa Pos ke sana sedang keluar untuk melayani katering.

Jawa Pos pun menjajal menu paket nasi Padang komplet. Sensasi rempah nan kuat dalam setiap gigitan rendang, berpadu dengan nasi putih hangat yang sudah diaduk dengan sambal hijau dan kuah gulai. Sungguh, nikmat mana lagi yang kau dustakan…

Baca Juga :  Demi Kesehatan Gus Dur, Penjual Bilang Habis

Tony menyebutkan, kebanyakan pelanggannya adalah orang Indonesia yang tinggal di Den Haag. Tapi, ada juga orang Belanda atau turis yang datang untuk makan. Salah satunya Marco, pria asal Stuttgart, Jerman, yang siang itu tampak lahap menyantap makanan yang dipesannya. ’’Saya sebenarnya random saja masuk ke sini. Saya lewat di depan restoran dan sedang lapar, jadi saya pikir, kenapa tidak saya coba. Ternyata enak banget,’’ paparnya dalam bahasa Jerman.

Amsterdam, kota terbesar di Belanda sekaligus salah satu kota terpopuler di dunia, juga menjadi tuan rumah bagi banyak restoran yang menyajikan masakan Indonesia. Aries Noodle yang berlokasi di Koningin Wilhelminaplein 58, Amsterdam, misalnya.

Aries Tjahjadi, pemilik tempat makan itu, mendirikan usahanya hampir 10 tahun lalu. Tepatnya pada 19 Agustus 2012. Dia hijrah ke Belanda pada 1998 setelah setahun sebelumnya terkena PHK dari pekerjaannya sebagai tour leader.

Salah satu titik balik yang membuatnya berani membuka restoran adalah saat dia bekerja di sebuah toko sepatu. Aries merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Dia keluar dan memutuskan mendirikan restoran. Kini, hampir 10 tahun berselang, Aries Noodles menjadi salah satu restoran yang kerap direkomendasikan bila ingin merasakan sajian mi ayam otentik Indonesia di Amsterdam.

Tempat populer lain adalah Eethuis Sie Joe yang bertempat di Gravenstraat 24-A, hanya beberapa meter dari Dam Square. Suasananya sangat khas Amsterdam. Berdiri di pinggir gang sempit dengan jalanan yang terbuat dari batu.

Berdasar rekomendasi dari orang-orang Indonesia yang tinggal di Amsterdam, menu yang wajib dicoba di sana adalah nasi gorengnya, terutama nasi goreng kambing. Benar saja. Menu yang dibanderol EUR 12,75 atau sekitar Rp 196 ribu itu seakan membawa Anda bertualang ke Jakarta. Sepercik taste nasi goreng Kebon Sirih, Jakarta, yang sangat kondang itu seakan tercecap di lidah sejak suapan pertama.

Berpindah dari Eethuis Sie Joe, ada rumah makan di Amsterdam yang menyajikan berbagai masakan khas Jawa Timur. Namanya Warung Barokah. Di sana, andalannya adalah rujak cingur, nasi rawon, tahu campur, dan gado-gado.

Mulyo Handoyo, seorang pelanggan yang ditemui Jawa Pos siang itu, mengaku sedang membungkus rujak cingur untuk keluarganya. ’’Saya sudah bertahun-tahun langganan di sini. Menurut saya, ini rasanya paling pas. Obat kangen kampung halaman,’’ ungkap arek Suroboyo lulusan Universitas Airlangga tersebut.  (*/c18/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya