Friday, March 29, 2024
24.7 C
Jayapura

Namanya Wisata ke Candi, Nggak Mungkin Puas Melihat dari Jauh

Mereka yang Cemas Mendengar Tarif Borobudur Melambung Tinggi

Kalau sampai orang jadi takut datang akibat kenaikan tarif Borobudur, banyak sekali jenis usaha dan ratusan destinasi wisata di sekitarnya yang bakal terdampak. Pemerintah diharapkan bikin kajian sosial ekonomi dulu dengan melibatkan warga sekitar.   

DIMAS NUR APRIYANTO, Magelang

SEIRING meredanya pandemi Covid-19, arus pengunjung ke Candi Borobudur pun perlahan naik. Siti Badriah, salah seorang pedagang baju di kawasan candi yang berada di Magelang, Jawa Tengah, itu, pun turut merasakan dampaknya.

”Pandemi awal-awal, dagangan saya utuh. Sekarang naik, tapi saya khawatir sepi lagi,” katanya kepada Jawa Pos, Senin (6/6).

Pemicu kecemasan Badriah adalah kabar kenaikan tarif naik ke candi yang mencapai 1.500 persen. Dari semula Rp 50 ribu menjadi Rp 750 ribu. Tarif baru itu ditujukan untuk turis lokal yang ingin menjejakkan kaki ke candi. Untuk wisatawan asing, tarifnya USD 100.

Badriah bagian dari sekitar 2 ribu pedagang baju keliling yang menggantungkan hidup pada Borobudur. Dari beberapa yang ditemui Jawa Pos, rata-rata paham bahwa tarif baru itu untuk yang mau ke candi saja. Kalau sekadar masuk, masih dikenakan biaya yang sama, Rp 50 ribu.

”Namun, saya khawatir, dampaknya tetap ke jumlah wisatawan. Pada takut atau malas ke sini karena mau ke candi saja harus bayar segitu,” ujarnya.

Bukan hanya pedagang baju yang menggantungkan hidup pada Borobudur. Di sekitar candi Buddha itu, ada beragam jenis usaha. Di antaranya, suvenir atau oleh-oleh, makanan, penginapan, sampai jasa penyewaan payung dan skuter.

Menurut Annisa yang menjalankan usaha penyewaan skuter, namanya orang berwisata ke candi, tentu ingin ke candinya. Tidak cukup terpuaskan kalau hanya melihat dari jauh.

Memang jenis usahanya dijalankan di luar pagar kompleks candi. Tapi, tetap saja kalau pengunjung drop, penyewaan skuternya akan ikut sepi.

”Rata-rata yang nyewa skuter ini wisatawan luar Magelang. Sekali sewa satu jam Rp 10 ribu,” katanya.

Baca Juga :  Tertarik Mendaftar setelah Membaca Homo Deus

Menurut dia, ada dua kemungkinan yang terjadi jika aturan tarif baru itu diterapkan. Pertama, tetap ada wisatawan yang ke Borobudur, tapi tidak naik ke candi. Hanya keliling candi memakai skuter ini. ”Bisa jadi juga wisatawan ke candi sepi. Otomatis usaha saya juga ikut terdampak,” katanya.

Ketua Forum Daya Tarik Wisata (DTW) Edward Alvin mengatakan, dirinya tidak mempermasalahkan tarif dan pembatasan kuota yang akan diterapkan pemerintah. Namun, menurut dia, lebih baik ada kajian sosial ekonomi lebih dulu sebelum diputuskan.

Dan, kajian tersebut harus melibatkan masyarakat sekitar Borobudur. ”Karena dari Rp 50 ribu menjadi Rp 750 ribu itu harganya melompat luar biasa,” tuturnya.

Belum lagi harga untuk wisatawan mancanegara. Dia menyebutkan, harga USD 100 di luar Indonesia seperti Malaysia atau Singapura sudah menjadi paket wisata. Sementara itu, harga USD 100 di Borobudur hanya naik ke candi.

Selain kajian sosial ekonomi, dia mendorong pemerintah menyiapkan semua infrastruktur hingga fasilitas bagi wisatawan. Sebab, fasilitas untuk wisatawan di Borobudur dinilai belum optimal dan maksimal. Salah satunya bus listrik.

Bus tersebut memang masih memasuki tahap uji coba. Kemarin Jawa Pos mencoba mengelilingi pintu 7 dan kembali ke pintu 3, tapi tidak ada satu pun bus listrik yang tampak wira-wiri. Stasiun charging (pengisian daya) pun terlihat kosong.

Edwin menuturkan, Borobudur menjadi medan magnet bagi wisata di sekitar. Berdasar catatan DTW, ada 239 lokasi wisata. Salah satunya Punthuk Setumbu yang juga terangkat popularitasnya berkat film Ada Apa dengan Cinta 2.

Arifin juga termasuk yang cemas kalau sampai orang jadi alergi ke Borobudur karena dicap sebagai destinasi yang mahal dan tak terjangkau. ”Ke Borobudur ya kurang afdal kalau tidak naik ke candinya. Tapi, semoga tidak terlalu berdampak. Saya hari ini (kemarin) baru dapat Rp 65 ribu karena harga Rp 20 ribu masih ada yang nawar juga,” kata pengojek payung itu.

Baca Juga :  Faktor Pelatih, Main Sepenuh Hati, dan Size yang ”Does Matter”

Harapan tetap ramai juga disuarakan Yani. Meski tempat makan miliknya berada di luar kompleks Borobudur, tetap saja mayoritas pembelinya adalah para wisatawan candi. ”Saya cuman bisa berharap tetap ada wisatawan yang datang ke Borobudur meski mereka tidak bisa naik ke candi. Yang penting, kawasan bawah candi boleh dimasuki pengunjung,” ujarnya.

Kemarin kondisi di Borobudur tampak lengang. Garis merah masih terpasang di tiap pintu masuk candi yang memiliki 1.460 panil relief cerita itu. Alhasil, para wisatawan hanya berkeliling di bagian bawah candi dekat relief Karmawibhangga.

Situasi semakin sepi ketika pukul 13.51 langit Magelang mulai mengeluarkan suara geluduk. Tak lama kemudian, warna langit yang awalnya cerah berubah menjadi gelap. Para wisatawan mulai meninggalkan kawasan candi.

Pukul 14.13, kawasan bawah candi mulai sepi. Tersisa para pengawas dan tukang foto keliling. Adiyan, salah seorang tukang foto keliling, menyatakan bahwa dirinya waswas mendengar rencana kenaikan tiket bagi wisatawan yang ingin naik ke candi.

Jika weekend atau hari libur, Adiyan pernah mendapatkan Rp 200 ribu dalam sehari. ”Kalau paling sedikit, saya pernah tidak dapat sama sekali. Jadi, pulang nggak bawa uang,” ujar ayah tiga anak tersebut.

Dia lantas menunjukkan dompetnya. ”Lho, Mas, masih kosong. Belum dapat rezeki hari ini,” katanya.

Kemarin memang bukan weekend atau hari libur. Jadi, pada umumnya pengunjung memang sepi. Tapi, yang dicemaskan Badriah, Arifin, Adiyan dkk, kalau tarif baru benar diterapkan, bakal semakin banyak hari sepi seperti kemarin. Termasuk di hari-hari yang biasanya ramai.   

Karena itu, Edwin mengingatkan harus hati-hati benar dalam mengambil kebijakan terkait dengan tarif dan kuota. Kalau tidak, pesona Borobudur bisa luntur. ”Dan, jika itu terjadi, dampaknya sangat luas. Banyak sekali orang yang menggantungkan hidup pada candi ini,” katanya. (*/c19/ttg/JPG)

Mereka yang Cemas Mendengar Tarif Borobudur Melambung Tinggi

Kalau sampai orang jadi takut datang akibat kenaikan tarif Borobudur, banyak sekali jenis usaha dan ratusan destinasi wisata di sekitarnya yang bakal terdampak. Pemerintah diharapkan bikin kajian sosial ekonomi dulu dengan melibatkan warga sekitar.   

DIMAS NUR APRIYANTO, Magelang

SEIRING meredanya pandemi Covid-19, arus pengunjung ke Candi Borobudur pun perlahan naik. Siti Badriah, salah seorang pedagang baju di kawasan candi yang berada di Magelang, Jawa Tengah, itu, pun turut merasakan dampaknya.

”Pandemi awal-awal, dagangan saya utuh. Sekarang naik, tapi saya khawatir sepi lagi,” katanya kepada Jawa Pos, Senin (6/6).

Pemicu kecemasan Badriah adalah kabar kenaikan tarif naik ke candi yang mencapai 1.500 persen. Dari semula Rp 50 ribu menjadi Rp 750 ribu. Tarif baru itu ditujukan untuk turis lokal yang ingin menjejakkan kaki ke candi. Untuk wisatawan asing, tarifnya USD 100.

Badriah bagian dari sekitar 2 ribu pedagang baju keliling yang menggantungkan hidup pada Borobudur. Dari beberapa yang ditemui Jawa Pos, rata-rata paham bahwa tarif baru itu untuk yang mau ke candi saja. Kalau sekadar masuk, masih dikenakan biaya yang sama, Rp 50 ribu.

”Namun, saya khawatir, dampaknya tetap ke jumlah wisatawan. Pada takut atau malas ke sini karena mau ke candi saja harus bayar segitu,” ujarnya.

Bukan hanya pedagang baju yang menggantungkan hidup pada Borobudur. Di sekitar candi Buddha itu, ada beragam jenis usaha. Di antaranya, suvenir atau oleh-oleh, makanan, penginapan, sampai jasa penyewaan payung dan skuter.

Menurut Annisa yang menjalankan usaha penyewaan skuter, namanya orang berwisata ke candi, tentu ingin ke candinya. Tidak cukup terpuaskan kalau hanya melihat dari jauh.

Memang jenis usahanya dijalankan di luar pagar kompleks candi. Tapi, tetap saja kalau pengunjung drop, penyewaan skuternya akan ikut sepi.

”Rata-rata yang nyewa skuter ini wisatawan luar Magelang. Sekali sewa satu jam Rp 10 ribu,” katanya.

Baca Juga :  Pak Harto Gemar Mi Godok Pedas dan tanpa Acar

Menurut dia, ada dua kemungkinan yang terjadi jika aturan tarif baru itu diterapkan. Pertama, tetap ada wisatawan yang ke Borobudur, tapi tidak naik ke candi. Hanya keliling candi memakai skuter ini. ”Bisa jadi juga wisatawan ke candi sepi. Otomatis usaha saya juga ikut terdampak,” katanya.

Ketua Forum Daya Tarik Wisata (DTW) Edward Alvin mengatakan, dirinya tidak mempermasalahkan tarif dan pembatasan kuota yang akan diterapkan pemerintah. Namun, menurut dia, lebih baik ada kajian sosial ekonomi lebih dulu sebelum diputuskan.

Dan, kajian tersebut harus melibatkan masyarakat sekitar Borobudur. ”Karena dari Rp 50 ribu menjadi Rp 750 ribu itu harganya melompat luar biasa,” tuturnya.

Belum lagi harga untuk wisatawan mancanegara. Dia menyebutkan, harga USD 100 di luar Indonesia seperti Malaysia atau Singapura sudah menjadi paket wisata. Sementara itu, harga USD 100 di Borobudur hanya naik ke candi.

Selain kajian sosial ekonomi, dia mendorong pemerintah menyiapkan semua infrastruktur hingga fasilitas bagi wisatawan. Sebab, fasilitas untuk wisatawan di Borobudur dinilai belum optimal dan maksimal. Salah satunya bus listrik.

Bus tersebut memang masih memasuki tahap uji coba. Kemarin Jawa Pos mencoba mengelilingi pintu 7 dan kembali ke pintu 3, tapi tidak ada satu pun bus listrik yang tampak wira-wiri. Stasiun charging (pengisian daya) pun terlihat kosong.

Edwin menuturkan, Borobudur menjadi medan magnet bagi wisata di sekitar. Berdasar catatan DTW, ada 239 lokasi wisata. Salah satunya Punthuk Setumbu yang juga terangkat popularitasnya berkat film Ada Apa dengan Cinta 2.

Arifin juga termasuk yang cemas kalau sampai orang jadi alergi ke Borobudur karena dicap sebagai destinasi yang mahal dan tak terjangkau. ”Ke Borobudur ya kurang afdal kalau tidak naik ke candinya. Tapi, semoga tidak terlalu berdampak. Saya hari ini (kemarin) baru dapat Rp 65 ribu karena harga Rp 20 ribu masih ada yang nawar juga,” kata pengojek payung itu.

Baca Juga :  Minim Fasilitas, Pastor Nginap di Rumah Umat

Harapan tetap ramai juga disuarakan Yani. Meski tempat makan miliknya berada di luar kompleks Borobudur, tetap saja mayoritas pembelinya adalah para wisatawan candi. ”Saya cuman bisa berharap tetap ada wisatawan yang datang ke Borobudur meski mereka tidak bisa naik ke candi. Yang penting, kawasan bawah candi boleh dimasuki pengunjung,” ujarnya.

Kemarin kondisi di Borobudur tampak lengang. Garis merah masih terpasang di tiap pintu masuk candi yang memiliki 1.460 panil relief cerita itu. Alhasil, para wisatawan hanya berkeliling di bagian bawah candi dekat relief Karmawibhangga.

Situasi semakin sepi ketika pukul 13.51 langit Magelang mulai mengeluarkan suara geluduk. Tak lama kemudian, warna langit yang awalnya cerah berubah menjadi gelap. Para wisatawan mulai meninggalkan kawasan candi.

Pukul 14.13, kawasan bawah candi mulai sepi. Tersisa para pengawas dan tukang foto keliling. Adiyan, salah seorang tukang foto keliling, menyatakan bahwa dirinya waswas mendengar rencana kenaikan tiket bagi wisatawan yang ingin naik ke candi.

Jika weekend atau hari libur, Adiyan pernah mendapatkan Rp 200 ribu dalam sehari. ”Kalau paling sedikit, saya pernah tidak dapat sama sekali. Jadi, pulang nggak bawa uang,” ujar ayah tiga anak tersebut.

Dia lantas menunjukkan dompetnya. ”Lho, Mas, masih kosong. Belum dapat rezeki hari ini,” katanya.

Kemarin memang bukan weekend atau hari libur. Jadi, pada umumnya pengunjung memang sepi. Tapi, yang dicemaskan Badriah, Arifin, Adiyan dkk, kalau tarif baru benar diterapkan, bakal semakin banyak hari sepi seperti kemarin. Termasuk di hari-hari yang biasanya ramai.   

Karena itu, Edwin mengingatkan harus hati-hati benar dalam mengambil kebijakan terkait dengan tarif dan kuota. Kalau tidak, pesona Borobudur bisa luntur. ”Dan, jika itu terjadi, dampaknya sangat luas. Banyak sekali orang yang menggantungkan hidup pada candi ini,” katanya. (*/c19/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya