Saturday, April 27, 2024
28.7 C
Jayapura

Terkadang Pagi di Surabaya, Siang di Singapura Sore di Jakarta Malam di Merauke

Kiprah Dokter Eddie Andytama Bantu Pasien dalam Perjalanan Udara (1)

Terbang dengan private jet sering dilakukan dr Eddie Andytama. Tugasnya cukup berat, mendampingi pasien agar tetap stabil. Beberapa pejabat hingga artis kerap dia layani. Tak jarang juga, dia harus request ketinggian pesawat ke pilot. Terutama saat membawa pasien yang kondisinya kritis.

WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Surabaya

SAJIAN makanan di pesawat kelas bisnis itu dinikmati dr Eddie Andytama. Sesekali pandangannya dialihkan ke pasien yang ada di samping kirinya. Peralatan medis dan obat-obatan pun disiapkan di bagasi kabin pesawat. Letaknya berada tepat di atas tempat duduknya.

Alat medis dan obat emergency itu digunakan jika kondisi darurat. Tapi, tidak pada perjalanan Jumat (23/9) lalu. Penerbangan Surabaya–Singapura berjalan mulus. Pasien yang dibawa dari Surabaya itu mengalami stroke yang cukup lumayan. Pasien tersebut dirujuk ke Raffles Hospital Singapura.

Beruntung, dalam perjalanan, kondisi pasien stabil sehingga tidak ada tindakan medis yang berat. Sesekali Eddie hanya mengecek tensi darah pasien. Termasuk bertanya kepada keluarga pasien terkait keluhannya.

Baca Juga :  Siapa Lagi yang Mau Lihat Orang-orang Papua Kalau Bukan “Kita” Sendiri

Meski begitu, monitor ICU portabel selalu berada di sampingnya untuk antisipasi. Sebab, dr Eddie Andytama bertugas sepenuhnya menjaga pasien. Tepatnya, mulai sebelum take off hingga sampai di rumah sakit rujukan.

  Sudah tujuh tahun Eddie, sapaan akrabnya, menjadi dokter di SOS Singapura. Yakni, sebuah perusahaan air and land ambulance. Tugasnya, mendampingi pasien di pesawat menuju rumah sakit.

Pernah juga dia mengantar pulang pasien ke Ukraina. ’’Itu penerbangan terlama yang pernah saya alami ketika bertugas,’’ ucapnya.

Pria lulusan SUNY Downstate, Amerika Serikat, tersebut menceritakan, penerbangannya ke Ukraina saat itu berlangsung sebelum perang Rusia-Ukraina. Dia membawa pasien yang kakinya diamputasi akibat kecelakaan.

Tugasnya, mengantar WNA tersebut sampai di negaranya. Suntikan bius pun diberikan pada waktu itu. Upaya tersebut dilakukan agar pasien tidak berontak di pesawat. ’’Kondisinya masih emosional karena kakinya diamputasi,’’ ungkapnya.

Tidak semua tawaran pendampingan dia terima. Eddie harus memastikan kondisi pasien dulu. Sebab, dia perlu menyesuaikan pelayanan. Jika pasien dalam kondisi kritis, otomatis dia tidak bisa menggunakan pesawat komersial, tapi wajib dengan private jet. Apalagi, pasien membutuhkan ventilator.

Baca Juga :  Rahul Yikwa Ingin Jadi TNI, Ketua Kelas dan Siswa yang Rajin di Sekolah

Eddie pernah menolak tawaran. Ketika itu, pasiennya seorang bayi. Rencananya, dari Indonesia, pasien tersebut dibawa ke RS di Singapura dengan private jet. Namun, kondisi bayi sudah tidak memungkinkan. Alhasil, tidak berselang lama meninggal. ’’Meskipun bayar tiga kali lipat tetap ditolak kalau kondisinya sudah begitu,’’ terangnya.

Saat terbang dengan private jet, alat yang dibawa Eddie lebih banyak. Mulai monitor, ventilator, hingga obat-obatan. Sementara itu, jika menggunakan commercial flight, dia hanya membawa monitor ICU, ambu bag, dan obat emergency.

  Sebelum pandemi, pria kelahiran Kebumen itu bisa 3–4 kali naik jet dalam seminggu. Sekarang hanya 1–2 kali. Rutenya paling banyak dari Indonesia ke Singapura. Dia memang dituntut untuk selalu bugar.

Bagaimana tidak, dalam sehari dia bisa terbang lebih dari tiga kali. Pagi di Surabaya, siang di Singapura, sore di Jakarta, malam di Merauke. Besoknya membawa pasien ke Jakarta. ’’Saking sibuknya, lupa asmara,’’ ujar Eddie, lantas tertawa. (*/c7/git)

Kiprah Dokter Eddie Andytama Bantu Pasien dalam Perjalanan Udara (1)

Terbang dengan private jet sering dilakukan dr Eddie Andytama. Tugasnya cukup berat, mendampingi pasien agar tetap stabil. Beberapa pejabat hingga artis kerap dia layani. Tak jarang juga, dia harus request ketinggian pesawat ke pilot. Terutama saat membawa pasien yang kondisinya kritis.

WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Surabaya

SAJIAN makanan di pesawat kelas bisnis itu dinikmati dr Eddie Andytama. Sesekali pandangannya dialihkan ke pasien yang ada di samping kirinya. Peralatan medis dan obat-obatan pun disiapkan di bagasi kabin pesawat. Letaknya berada tepat di atas tempat duduknya.

Alat medis dan obat emergency itu digunakan jika kondisi darurat. Tapi, tidak pada perjalanan Jumat (23/9) lalu. Penerbangan Surabaya–Singapura berjalan mulus. Pasien yang dibawa dari Surabaya itu mengalami stroke yang cukup lumayan. Pasien tersebut dirujuk ke Raffles Hospital Singapura.

Beruntung, dalam perjalanan, kondisi pasien stabil sehingga tidak ada tindakan medis yang berat. Sesekali Eddie hanya mengecek tensi darah pasien. Termasuk bertanya kepada keluarga pasien terkait keluhannya.

Baca Juga :  Miliki Beban Moral Lebih dari Bank Lain, Berharap Program CSR Ditingkatkan

Meski begitu, monitor ICU portabel selalu berada di sampingnya untuk antisipasi. Sebab, dr Eddie Andytama bertugas sepenuhnya menjaga pasien. Tepatnya, mulai sebelum take off hingga sampai di rumah sakit rujukan.

  Sudah tujuh tahun Eddie, sapaan akrabnya, menjadi dokter di SOS Singapura. Yakni, sebuah perusahaan air and land ambulance. Tugasnya, mendampingi pasien di pesawat menuju rumah sakit.

Pernah juga dia mengantar pulang pasien ke Ukraina. ’’Itu penerbangan terlama yang pernah saya alami ketika bertugas,’’ ucapnya.

Pria lulusan SUNY Downstate, Amerika Serikat, tersebut menceritakan, penerbangannya ke Ukraina saat itu berlangsung sebelum perang Rusia-Ukraina. Dia membawa pasien yang kakinya diamputasi akibat kecelakaan.

Tugasnya, mengantar WNA tersebut sampai di negaranya. Suntikan bius pun diberikan pada waktu itu. Upaya tersebut dilakukan agar pasien tidak berontak di pesawat. ’’Kondisinya masih emosional karena kakinya diamputasi,’’ ungkapnya.

Tidak semua tawaran pendampingan dia terima. Eddie harus memastikan kondisi pasien dulu. Sebab, dia perlu menyesuaikan pelayanan. Jika pasien dalam kondisi kritis, otomatis dia tidak bisa menggunakan pesawat komersial, tapi wajib dengan private jet. Apalagi, pasien membutuhkan ventilator.

Baca Juga :  Jangan Sampai Orang Lain Kuasai, Baru Menyesal di Belakang

Eddie pernah menolak tawaran. Ketika itu, pasiennya seorang bayi. Rencananya, dari Indonesia, pasien tersebut dibawa ke RS di Singapura dengan private jet. Namun, kondisi bayi sudah tidak memungkinkan. Alhasil, tidak berselang lama meninggal. ’’Meskipun bayar tiga kali lipat tetap ditolak kalau kondisinya sudah begitu,’’ terangnya.

Saat terbang dengan private jet, alat yang dibawa Eddie lebih banyak. Mulai monitor, ventilator, hingga obat-obatan. Sementara itu, jika menggunakan commercial flight, dia hanya membawa monitor ICU, ambu bag, dan obat emergency.

  Sebelum pandemi, pria kelahiran Kebumen itu bisa 3–4 kali naik jet dalam seminggu. Sekarang hanya 1–2 kali. Rutenya paling banyak dari Indonesia ke Singapura. Dia memang dituntut untuk selalu bugar.

Bagaimana tidak, dalam sehari dia bisa terbang lebih dari tiga kali. Pagi di Surabaya, siang di Singapura, sore di Jakarta, malam di Merauke. Besoknya membawa pasien ke Jakarta. ’’Saking sibuknya, lupa asmara,’’ ujar Eddie, lantas tertawa. (*/c7/git)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya