Saturday, April 27, 2024
28.7 C
Jayapura

Tak Lagi Layani Pasien KPS, Ada Dokter Anak Kerja 6 Bulan Terima Rp 3 Juta

Menyimak Dampak dari Minimnya Dana KPS di Tiga Rumah Sakit di Jayapura

Dibentuknya Daerah Otonomi Baru (DOB) nampaknya tidak dibarengi dengan system keuangan yang sepadan oleh pemerintah pusat. Provinsi induk Papua akhirnya bermasalah dengan anggaran. Tiga Rumah Sakit memberikan testimoni.

Laporan: Abdel Gamel Naser – Jayapura

Pasca lahirnya Daerah Otonomi Baru maka secara otomatis banyak penganggaran yang  mulai digeser – geser. Jika sebelumnya dana yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi  Papua bisa mengatur 28 kabupaten dengan 1 kota,  namun dengan lahirnya tiga DOB ini, provinsi induk Papua hanya menangani 8 kabupaten dan 1 kota. Sisanya semua dimasukkan ke daerah  otonomi baru.

  Dampak dari DOB ini juga terjadi pengurangan anggaran yang cukup signifikan, dimana jika sebelumnya  Pemprov Papua masih mengelola Rp 8,9 triliun kini hanya bisa merasakan kucuran dana sekitar Rp 2,3 triliun. Angka ini jelas berkurang drastic, karena  ada yang harus digunakan untuk mendukung keberadaan tiga provinsi baru. Provinsi Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Tengah ini juga harus berjalan dan didukung dengan anggaran.

  Tak sedikit yang akhirnya terdampak pada ketersediaan anggaran ini. Mulai dari aspek pembangunan, kesehatan maupun pendidikan dan ekonomi kerakyatan yang dipastikan bakal merasakan langsung terjun bebasnya dana tadi.

   Persoalan ini menjadi kompleks lantaran  tidak  hanya berdampak pada satu aspek. Yang cukup terasa adalah  sektor kesehatan. Komisi V DPR Papua yang mendapat banyak laporan, memilih memanggil 3 pimpinan dan managemen rumah sakit yakni, RSUD Dok II Jayapura, RSU Abepura dan RSJ Jayapura.

  Tak hanya itu, untuk memantau secara utuh persoalan ini, Komisi V juga menghadirkan Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Komisi V mendapati kondisi di lapangan  bahwa jika dulunya persoalan pasien sakit di 28 kabupaten masih bisa dicover lewat Kartu Papua Sehat (KPS) dengan dukungan anggaran yang cukup, namun kini warga yang berasal dari tiga DOB itu meski sudah tidak berada di Provinsi Papua, namun pembiayaannya masih menggunakan dana dari provinsi induk, Papua.

  Ini menurut Ketua Komisi V DPRP, Jack Komboy agak dilemma. Dimana di satu sisi pihak rumah sakit tak boleh menolak pasien, namun di sisi lain tak ada dukungan angggaran KPS. “Kalimat mudahnya adalah pasien luar berobat di Jayapura masih ditanggung oleh rumah sakit di Jayapura. Sementara   anggaran kesehatan sudah langsung diplot ke daerah – daerah atau kabupaten,” kata Jack dalam Rapat Dengan Pendapat di Hotel Horison Ultima Entrop pekan kemarin.

Baca Juga :  OAP Banyak Menganggur, Pigai Tolak Pemindahan ASN ke DOB

  Direktur RSJ, dr Emma menyampaikan bahwa saat ini pihaknya memiliki pegawai kontrak 200 orang dan Upah Minimum Papua juga naik menjadi Rp 3,8. Ini dikatakan akan menjadi soal apalagi  para tenaga kontrak ini belum ada yang dirumahkan. “Dari 200 tenaga kontrak ini sebagian besar anak-anak Papua.”ungkapnya.

  “Parahnya lagi kadang untuk pasien gangguan kejiwaan ini pihak keluarga juga lepas tangan, tidak mau ikut menanggung, sehingga semua dipasrahkan ke rumah sakit yang kondisi keuangannya juga sedang bermasalah,” beber Emma.

  Iapun berharap pada APBD ini ada dukungan anggaran yang bisa membantu. Dari kondisi yang belum  membaik ini, kata Emma, pihaknya akhirnya membuat kesepakatan bahwa pasien yang datang harus mengatongi rujukan. Sebab jika tidak, maka biayanya akan ditanggung oleh Pemkab asal pasien. Informasi lain disampaikan bahwa ada cerita miris oleh tenaga medis dimana KPS selama 6 bulan hanya yang didapat Rp 900 ribu.

  Selain itu ada juga dokter bedah anak yang selama 6 bulan telah menangani 11 pasien ternyata hanya dibayar Rp 3 juta lebih, padahal menjadi dokter bedah anak satu – satunya  di Papua bahkan sering mengcover wilayah timur.

   Dr Yunike sebagai Ketua Komite Medik di RSUD Jayapura  menjelaskan bahwa  pada tahun 2022 pihak rumah sakit mendapat sekitar Rp 30 miliar dan akhirnya tunjangan KPS hanya bisa dibayarkan hingga November 2023 dan sisanya berhutang.

  Disini ia menyatakan bahwa pihaknya masih tetap melakukan pelayanan KPS hingga Januari sedangkan mulai 2 Februari kemarin pihaknya sudah menutup pelayanan pasien KPS.

  Ini, kata dia, bukan tega namun karena memang dananya tidak ada. Iapun menyatakan bahwa selama ini pemerintah di Papua terlalu memanjakan pasien dengan KPS. Apapun itu pengobatannya selalu di loket mengatakan KPS. Kondisi ini dikatakan sedikit berbeda dengan Papua Barat dimana 98 persen masyarakatnya ditanggung oleh BPJS.

  “Tapi kalau mau dimulai ya harus tertib agar tak ada pendobolan pembiayaan. Kami pikir yang dijalankan di Papua Barat itu bisa dilakukan,” imbuhnya. Konkretnya di Papua Barat sebagian besar justru dihandle oleh BPJS.

Baca Juga :  RAPBD 2023 Dianggarkan 1,5 Triliun Lebih, Naik 10 % Dibanding Tahun Sebelumnya

   “Loket kami di RS Dok II itu selalu meng-KPS-kan pasien, padahal punya BPJS, padahal sudah ada uang yang dibayarkan. Harusnya ada edukasi bahwa ketika punya BPJS ya gunakan BPJS, jangan pakai KPS,”  sarannya.

  Dari situasi tak mengenakkan inilah Yunike dan para dokter lainnya sepakat untuk membuat yang isinya tidak lagi melayani pasien KPS di Dok II. Ini dikarenakan memang tak ada dana baik alkes maupun jasa para medis. Iapun berpendapat bahwa jika tidak ada dana maka silahkan mengurus BPJS atau yang miskin bisa pakai KIS.

  “Namun persoalannya adalah masyarakat juga banyak yang tidak mau urus KIS akibat identitas diri maupun anak istri tidak terdata baik. Banyak yang berkeluarga, namun tak memiliki dokumen di catatan sipil,” sindirnya.

  Anggota Komisi V lainnya, Nathan Pahabol  mengkritisi kebijakan pemerintah pusat yang dikatakan  memberi dampak negatif untuk aspek kesehatan. Ini menurutnya tak lepas  dari keputusan pemerintah pusat yang membuat DOB, namun tanpa berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

“Ini seperti ada siswa yang disekolahkan  tapi di daerah tujuan  kebingungan bagaimana memulai sekolah karena tak ada dana. Sama juga seperti memberi bola di Lapangan Mandala kemudian dimainkan si A dan B. Tapi saat itu tidak disiapkan wasit akhirnya kedua tim berkelahi,” bebernya.

  Nathan juga  mengibaratkan kondisi ini dengan kawin 3 istri tapi tidak memberi makan. Tiga istri tersebut dianalogikan sebagai tiga DOB yang dilahirkan, namun tidak didukung anggaran yang proporsional sehingga provinsi induk terdampak.

“Pikiran kami jika ada yang mau harus membawa surat jaminan dari rumah sakit atau dari dinas kesehatan bahkan dari bupatinya. Cara mudahnya sebenarnya membuat Perjanjian Kerjasama saja jadi masing – masing kabupaten sudah memplot anggaran untuk masyarakatnya yang berobat ke RS Dok II sebab anggaran sudah diserahkan ke provinsi,” imbuhnya.

  “Bupati di tiga DOB juga jangan malas tahu dengan persoalan ini. Kalau tidak diberikan jaminan siapa yang membayar, menurut kami sebaiknya jangan  mengirimkan pasien sebab memang anggarannya tidak ada,” tutup Pahabol. (*/tri)

Menyimak Dampak dari Minimnya Dana KPS di Tiga Rumah Sakit di Jayapura

Dibentuknya Daerah Otonomi Baru (DOB) nampaknya tidak dibarengi dengan system keuangan yang sepadan oleh pemerintah pusat. Provinsi induk Papua akhirnya bermasalah dengan anggaran. Tiga Rumah Sakit memberikan testimoni.

Laporan: Abdel Gamel Naser – Jayapura

Pasca lahirnya Daerah Otonomi Baru maka secara otomatis banyak penganggaran yang  mulai digeser – geser. Jika sebelumnya dana yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi  Papua bisa mengatur 28 kabupaten dengan 1 kota,  namun dengan lahirnya tiga DOB ini, provinsi induk Papua hanya menangani 8 kabupaten dan 1 kota. Sisanya semua dimasukkan ke daerah  otonomi baru.

  Dampak dari DOB ini juga terjadi pengurangan anggaran yang cukup signifikan, dimana jika sebelumnya  Pemprov Papua masih mengelola Rp 8,9 triliun kini hanya bisa merasakan kucuran dana sekitar Rp 2,3 triliun. Angka ini jelas berkurang drastic, karena  ada yang harus digunakan untuk mendukung keberadaan tiga provinsi baru. Provinsi Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Tengah ini juga harus berjalan dan didukung dengan anggaran.

  Tak sedikit yang akhirnya terdampak pada ketersediaan anggaran ini. Mulai dari aspek pembangunan, kesehatan maupun pendidikan dan ekonomi kerakyatan yang dipastikan bakal merasakan langsung terjun bebasnya dana tadi.

   Persoalan ini menjadi kompleks lantaran  tidak  hanya berdampak pada satu aspek. Yang cukup terasa adalah  sektor kesehatan. Komisi V DPR Papua yang mendapat banyak laporan, memilih memanggil 3 pimpinan dan managemen rumah sakit yakni, RSUD Dok II Jayapura, RSU Abepura dan RSJ Jayapura.

  Tak hanya itu, untuk memantau secara utuh persoalan ini, Komisi V juga menghadirkan Dinas Kesehatan Provinsi Papua. Komisi V mendapati kondisi di lapangan  bahwa jika dulunya persoalan pasien sakit di 28 kabupaten masih bisa dicover lewat Kartu Papua Sehat (KPS) dengan dukungan anggaran yang cukup, namun kini warga yang berasal dari tiga DOB itu meski sudah tidak berada di Provinsi Papua, namun pembiayaannya masih menggunakan dana dari provinsi induk, Papua.

  Ini menurut Ketua Komisi V DPRP, Jack Komboy agak dilemma. Dimana di satu sisi pihak rumah sakit tak boleh menolak pasien, namun di sisi lain tak ada dukungan angggaran KPS. “Kalimat mudahnya adalah pasien luar berobat di Jayapura masih ditanggung oleh rumah sakit di Jayapura. Sementara   anggaran kesehatan sudah langsung diplot ke daerah – daerah atau kabupaten,” kata Jack dalam Rapat Dengan Pendapat di Hotel Horison Ultima Entrop pekan kemarin.

Baca Juga :  Berikan Ruang Pelaku UMKM, Keuntungan Bisa Mencapai Rp 5 Juta-Rp 10 Juta/hari

  Direktur RSJ, dr Emma menyampaikan bahwa saat ini pihaknya memiliki pegawai kontrak 200 orang dan Upah Minimum Papua juga naik menjadi Rp 3,8. Ini dikatakan akan menjadi soal apalagi  para tenaga kontrak ini belum ada yang dirumahkan. “Dari 200 tenaga kontrak ini sebagian besar anak-anak Papua.”ungkapnya.

  “Parahnya lagi kadang untuk pasien gangguan kejiwaan ini pihak keluarga juga lepas tangan, tidak mau ikut menanggung, sehingga semua dipasrahkan ke rumah sakit yang kondisi keuangannya juga sedang bermasalah,” beber Emma.

  Iapun berharap pada APBD ini ada dukungan anggaran yang bisa membantu. Dari kondisi yang belum  membaik ini, kata Emma, pihaknya akhirnya membuat kesepakatan bahwa pasien yang datang harus mengatongi rujukan. Sebab jika tidak, maka biayanya akan ditanggung oleh Pemkab asal pasien. Informasi lain disampaikan bahwa ada cerita miris oleh tenaga medis dimana KPS selama 6 bulan hanya yang didapat Rp 900 ribu.

  Selain itu ada juga dokter bedah anak yang selama 6 bulan telah menangani 11 pasien ternyata hanya dibayar Rp 3 juta lebih, padahal menjadi dokter bedah anak satu – satunya  di Papua bahkan sering mengcover wilayah timur.

   Dr Yunike sebagai Ketua Komite Medik di RSUD Jayapura  menjelaskan bahwa  pada tahun 2022 pihak rumah sakit mendapat sekitar Rp 30 miliar dan akhirnya tunjangan KPS hanya bisa dibayarkan hingga November 2023 dan sisanya berhutang.

  Disini ia menyatakan bahwa pihaknya masih tetap melakukan pelayanan KPS hingga Januari sedangkan mulai 2 Februari kemarin pihaknya sudah menutup pelayanan pasien KPS.

  Ini, kata dia, bukan tega namun karena memang dananya tidak ada. Iapun menyatakan bahwa selama ini pemerintah di Papua terlalu memanjakan pasien dengan KPS. Apapun itu pengobatannya selalu di loket mengatakan KPS. Kondisi ini dikatakan sedikit berbeda dengan Papua Barat dimana 98 persen masyarakatnya ditanggung oleh BPJS.

  “Tapi kalau mau dimulai ya harus tertib agar tak ada pendobolan pembiayaan. Kami pikir yang dijalankan di Papua Barat itu bisa dilakukan,” imbuhnya. Konkretnya di Papua Barat sebagian besar justru dihandle oleh BPJS.

Baca Juga :  Sempat Mengira Aida Gizi Buruk karena Bobot Tak Ideal

   “Loket kami di RS Dok II itu selalu meng-KPS-kan pasien, padahal punya BPJS, padahal sudah ada uang yang dibayarkan. Harusnya ada edukasi bahwa ketika punya BPJS ya gunakan BPJS, jangan pakai KPS,”  sarannya.

  Dari situasi tak mengenakkan inilah Yunike dan para dokter lainnya sepakat untuk membuat yang isinya tidak lagi melayani pasien KPS di Dok II. Ini dikarenakan memang tak ada dana baik alkes maupun jasa para medis. Iapun berpendapat bahwa jika tidak ada dana maka silahkan mengurus BPJS atau yang miskin bisa pakai KIS.

  “Namun persoalannya adalah masyarakat juga banyak yang tidak mau urus KIS akibat identitas diri maupun anak istri tidak terdata baik. Banyak yang berkeluarga, namun tak memiliki dokumen di catatan sipil,” sindirnya.

  Anggota Komisi V lainnya, Nathan Pahabol  mengkritisi kebijakan pemerintah pusat yang dikatakan  memberi dampak negatif untuk aspek kesehatan. Ini menurutnya tak lepas  dari keputusan pemerintah pusat yang membuat DOB, namun tanpa berkoordinasi dengan pemerintah daerah.

“Ini seperti ada siswa yang disekolahkan  tapi di daerah tujuan  kebingungan bagaimana memulai sekolah karena tak ada dana. Sama juga seperti memberi bola di Lapangan Mandala kemudian dimainkan si A dan B. Tapi saat itu tidak disiapkan wasit akhirnya kedua tim berkelahi,” bebernya.

  Nathan juga  mengibaratkan kondisi ini dengan kawin 3 istri tapi tidak memberi makan. Tiga istri tersebut dianalogikan sebagai tiga DOB yang dilahirkan, namun tidak didukung anggaran yang proporsional sehingga provinsi induk terdampak.

“Pikiran kami jika ada yang mau harus membawa surat jaminan dari rumah sakit atau dari dinas kesehatan bahkan dari bupatinya. Cara mudahnya sebenarnya membuat Perjanjian Kerjasama saja jadi masing – masing kabupaten sudah memplot anggaran untuk masyarakatnya yang berobat ke RS Dok II sebab anggaran sudah diserahkan ke provinsi,” imbuhnya.

  “Bupati di tiga DOB juga jangan malas tahu dengan persoalan ini. Kalau tidak diberikan jaminan siapa yang membayar, menurut kami sebaiknya jangan  mengirimkan pasien sebab memang anggarannya tidak ada,” tutup Pahabol. (*/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya