Kondisi ini tentunya sebagai sebuah kerugian besar bukan hanya bagi tanah Papua, tapi juga bagi negeri Indonesia yang meletakkan multikultur sebagai semboyannya, Bhinneka Tunggal Ika.
Sebagai produk oral masyarakat Papua lama, esensi folklor masih relevan dengan kehidupan masa kini. Salah satunya adalah bahwa folklor merupakan sumber seni budaya yang mengekspresikan etika dan estetika dalam karya seni sebagai identitas dengan ciri tersendiri yang berbeda dari masyarakat lain.
“Karya seni sesungguhnya dapat digunakan untuk membangun jati diri manusia kini dan masa depan generasi muda,” ujarnya.
Prof. Wigati, menyebut beberapa folklor yang dahulunya terkenal, namun kini mulai tergerus perkembangan zaman seperti kisah legenda perpindahan masyarakat Sentani dari Honong Sepik Timur, PNG.
Di tangan dingin seorang seniman yang selalu bangga akan cerita warisan leluhur, legenda ini dapat menjadi inspirasi lukisan kulit kayu (malo), ukiran (ohomo), nyanyian, lantunan (ehabla), dan sendratari yang luar biasa. Karya seni ini merupakan refleksi seniman atau seniwati dalam mentransformasi identitas leluhurnya dan mendesiminasi jati dirinya sebagai generasi estafet budaya.
Sebuah kanvas kulit kayu dibuat melalui proses yang cukup panjang mulai dari pemilihan, pengambilan kulit kayu di hutan, proses pembuatan kanvas, pembuatan motif, pewarnaan dilakukan dengan penuh kesabaran, totalitas, fokus, kedispilinan, ketelitian, dan ketekunan.
Sementara itu, tarian pun dapat merepresentasikan filosofi masyarakat Sentani, melalui berbagai gerakan tubuh, tangan, dan kaki penari yang berbeda dari gerakan tarian masyarakat lainnya. Belum lagi alat musik yang digunakan dan cara memainkannya.
Kemudian kostum, lukisan dan perhiasan tubuh penari menguatkan pelajaran tentang identitas masyarakat yang ingin ditampilkan oleh penciptanya, kepercayaan diri, kekuatan fisik, kemauan keras, dan strategi.
Ukiran Asmat dan Kamoro pun merepersentasikan fenomena serupa. Ukiran yang merefleksikan sejarah, filosofi, kosmologi, dan sosial-budaya kedua masyarakat ini pun diawali dengan proses yang tidak instant: permenungan sebagai komunikasi dengan Sang Pencipta, pemilihan kayu, proses pengukiran, alat yang digunakan, cara, dan waktu pembuatannya.