Monday, December 9, 2024
30.7 C
Jayapura

Kehilangan Kekayaan Folklor Bagaikan Sebuah Perpustakaan yang terbakar

Mencermati Kekayaan Budaya Papua yang Mulai Tergerus Budaya Modern

Di sela Wisuda Institut Seni dan Budaya (ISBI) Papua pekan kemarin, ada hal yang menarik, yakni orasi ilmiah yang dipaparkan Guru Besar Pendidikan Bahasa Inggris Uncen, Prof. Dr. Wigati Yektiningtyas-Modouw tentang pentinya merawat pusaka budaya di Papua. Dimana kekayaan seni dan budaya asli Papua, yang kini mulai banyak yang hilang dan tidak lagi dikenali.   

Laporan: Karolus Daot-Jayapura

Guru Besar Pendidikan bahasa Inggris Uncen, Prof. Dr. Wigati Yektiningtyas-Modouw menyebut bahwa Tanah Papua selain dengan kekayaan alamnya yang sangat indah, juga ribuan folklor yang lahir dari ratusan suku dengan ratusan bahasa daerah di Tanah Papua.

  Folklor ini adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan.  Folklor meliputi legenda atau cerita rakyat,  musik, sejarah lisan, pepatah, lelucon, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau kelompok.

Baca Juga :  Lodewijk Akui Empat Daerah di Papua Masuk Kategori Rawan

   Dahulunya folklor dijadikan sebagai pedoman dalam mengelola alam dan menjalin kehidupan sosial. Termasuk di sejumlah suku yang tersebar di Pantai Utara, Pantai Selatan, dalam tujuh wilayah yaitu Tabi, Saireri, Domberai, Bomberai, Ha-Anim, La-Pago, dan Me-Pago.

   Berbagai folklor seperti cerita rakyat  baik berupa mite, legenda, sage, fabel, dan dongeng, maupun lantunan lisan, folksong, ungkapan tradisional, olahraga dan permainan, arsitektur, lukisan, serta ukiran  ini marak diperaktikan dalam kehidupan masyarakat Papua.

  Akan tetapi, kini kekayaan folklor ini sudah tidak dikenali lagi oleh sebagian masyarakat Papua, terutama para generasi muda. Hal itu terjadi karena pola kehidupan masyarakat sekarang ini tergerus oleh perkembangan zaman, sehingga kadang kala pola kehidupan, baik didalam keluarga maupun pada lingkungan masyarakat. Kebiasaan kebiasaan lama orang Papua uang dahulunya cukup kental dengan budaya, justru kini terpolarisasi dengan pengaruh budaya luar.

Baca Juga :  Tak Lagi Layani Pasien KPS, Ada Dokter Anak Kerja 6 Bulan Terima Rp 3 Juta

   Misalnya di dalam rumah orang tua, jarang menggunakan bahasa daerah, ataupun kegiatan lain seperti yang kental dengan budaya Papua, tapi karena perkembangan zaman sekarang ini maka pola kehiduoan masyarakat mulai tergeser, sehingga foloklor ini akhirnya lupa atau tidak lagi dikenali,” ujar Guru Besar Pendidikan Bahasa Inggris Uncen, Prof. Dr. Wigati Yektiningtyas-Modouw saat orasi Ilmiah pada Acara Wisuda ISBI tanah Papua, Selasa (29/10).

   Dikatakan kehilangan folklor ini seperti sebuah legasi, bagaikan sebuah perpustakaan yang terbakar. Bukan hanya gedung dan koleksi buku saja yang hilang, tetapi seluruh kekayaan ilmu pengetahuan, bahasa lokal, sejarah, filosofi, dan nilai sosial-budaya yang ada di dalamnya.

Mencermati Kekayaan Budaya Papua yang Mulai Tergerus Budaya Modern

Di sela Wisuda Institut Seni dan Budaya (ISBI) Papua pekan kemarin, ada hal yang menarik, yakni orasi ilmiah yang dipaparkan Guru Besar Pendidikan Bahasa Inggris Uncen, Prof. Dr. Wigati Yektiningtyas-Modouw tentang pentinya merawat pusaka budaya di Papua. Dimana kekayaan seni dan budaya asli Papua, yang kini mulai banyak yang hilang dan tidak lagi dikenali.   

Laporan: Karolus Daot-Jayapura

Guru Besar Pendidikan bahasa Inggris Uncen, Prof. Dr. Wigati Yektiningtyas-Modouw menyebut bahwa Tanah Papua selain dengan kekayaan alamnya yang sangat indah, juga ribuan folklor yang lahir dari ratusan suku dengan ratusan bahasa daerah di Tanah Papua.

  Folklor ini adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, tetapi tidak dibukukan.  Folklor meliputi legenda atau cerita rakyat,  musik, sejarah lisan, pepatah, lelucon, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau kelompok.

Baca Juga :  Dana Otsus Tak Mampu Hentikan Konflik Bersenjata di Papua

   Dahulunya folklor dijadikan sebagai pedoman dalam mengelola alam dan menjalin kehidupan sosial. Termasuk di sejumlah suku yang tersebar di Pantai Utara, Pantai Selatan, dalam tujuh wilayah yaitu Tabi, Saireri, Domberai, Bomberai, Ha-Anim, La-Pago, dan Me-Pago.

   Berbagai folklor seperti cerita rakyat  baik berupa mite, legenda, sage, fabel, dan dongeng, maupun lantunan lisan, folksong, ungkapan tradisional, olahraga dan permainan, arsitektur, lukisan, serta ukiran  ini marak diperaktikan dalam kehidupan masyarakat Papua.

  Akan tetapi, kini kekayaan folklor ini sudah tidak dikenali lagi oleh sebagian masyarakat Papua, terutama para generasi muda. Hal itu terjadi karena pola kehidupan masyarakat sekarang ini tergerus oleh perkembangan zaman, sehingga kadang kala pola kehidupan, baik didalam keluarga maupun pada lingkungan masyarakat. Kebiasaan kebiasaan lama orang Papua uang dahulunya cukup kental dengan budaya, justru kini terpolarisasi dengan pengaruh budaya luar.

Baca Juga :  Harus Dorong  Sagu Sebagai Pangan Utama, Jangan Hanya Sekedar Makanan Khas

   Misalnya di dalam rumah orang tua, jarang menggunakan bahasa daerah, ataupun kegiatan lain seperti yang kental dengan budaya Papua, tapi karena perkembangan zaman sekarang ini maka pola kehiduoan masyarakat mulai tergeser, sehingga foloklor ini akhirnya lupa atau tidak lagi dikenali,” ujar Guru Besar Pendidikan Bahasa Inggris Uncen, Prof. Dr. Wigati Yektiningtyas-Modouw saat orasi Ilmiah pada Acara Wisuda ISBI tanah Papua, Selasa (29/10).

   Dikatakan kehilangan folklor ini seperti sebuah legasi, bagaikan sebuah perpustakaan yang terbakar. Bukan hanya gedung dan koleksi buku saja yang hilang, tetapi seluruh kekayaan ilmu pengetahuan, bahasa lokal, sejarah, filosofi, dan nilai sosial-budaya yang ada di dalamnya.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya