Air danau yang jernih juga kadang naik dan ini tak lepas akibat dusun sagu yang sudah dialihkanfungsikan untuk perumahan, jalan. Banyak dusun sagu yang ditimbun,” bebernya.Â
Diceritakan bahwa perkembangan zaman sangat cepat dan banyak perumahan dibangun, pembukaan jalan hingga membuat dusun sagu hilang. Ini sudah kami rasakan,”ucapnya.
Untuk itu, dengan kegiatan restorasi sagu dilakukan perbaikan dan penanaman kembali pohon sagu mulai di dusun sagu yang ada di Kampung Sereh dengan luasan 6 hektar yang nantinya berguna untuk anak cucuk generasi kelak yang bisa menikmati pohon sagu yang membutuhkan waktu 20-30 tahun kedepan.
Jemy mengungkapkan meski latar belakangnya dari komunitas sanggar seni budaya namun dari kondisi hutan sagu yang makin terancam iapun mencoba keluar dari zona nyaman. Ikut berbicara soal penyelamatan hutan sagu. “Melihat kondisi alam seperti ini kami tergerak bertindak untuk melakukan restorasi sagu karena ini juga bagian menjaga nilai-nilai budaya kami di Sentani,”akunya.
Jemy menambahkan, generasi saat ini harus diperkenalkan bagaimana menanam pohon sagu dan apa manfaatnya, karena jika tidak hal ini tentu kedepan hanya sebagai cerita saja.
“Penyelamat penanaman pohon sagu belum terlambat. Generasi muda saat ini harus diberikan bekal untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan untuk menanam sagu dan dusun yang ditanami pohon sagu harus dirawat dengan baik, dan jangan kaget jika anak anak Papua ada yang tidak tahu bentuk pohon sagu sebab itu miris sekali,” tambahnya.
Dikatakan, untuk menaman pohon sagu dibutuhkan area yang luas contohnya area satu hektar hanya bisa ditanami 100 pohon sagu, karena jarak tanam pohon sagu 10 meter per pohonnya dan pohon sagu bisa dipanen usianya 20-30 tahun, sementara untuk usaha pabrik dalam pembuatan tepung sagu setiap hari bisa menghabiskan 10 pohon sagu, jadi jika tidak benar benar dilakukan restorasi sagu maka tanaman sagu akan habis dengan sendirinya.
Diakui, masyarakat sering sering menghadiri kegiatan penanaman sekian hektar, sekian ribu tanaman pohon sagu, tapi pertanyaannya dari semua itu berapa yang tumbuh dan berhasil dan pertumbuhan pohon sagu bagaimana, maka hal ini sangat penting melakukan restorasi sagu dipastikan dirawat dijaga dan tumbuh dengan baik supaya eksistensi dusun sagu tidak hilang, tempat berburu masyarakat tidak jauh ada disekitar sini.
Ia juga berpesan setiap pohon sagu yang sudah ditanam harus dirawat dengan baik, karena jika tidak pohon akan mati.
“Kita menanam tanpa merawat sama saja dengan membunuh, jadi setiap kali kita menaman pohon sagu wajib kita rawat dan jaga dipasti bisa hidup,”jelasnya.
Sementara itu, mewakili WWF Papua selalu Projek Leader VCA Zacharias Inaury mengakui kegiatan Restorasi Sagu yang digagas ketua Sanggar Robongholo Sentani sangat menarik. Ini menjadi suatu kebanggan sanggar seni Robongholo.
“Kegiatan ini banyak manfaat terutama untuk ekosistem, ketahanan pangan dan identitas budaya,” bebernya.Â
Menurutnya, WWF selama ini juga mendukung kegiatan seperti ini tidak hanya di Sanggar Robongholo saja tetapi inisiatif aksi pada kegiatan ini prinsipnya perlu didukung oleh semua pihak. Oleh karena itu, apa yang diusahakan kelompok seni sanggar robongholo dan juga dukungan pemerintah Kampung Sereh dan WWF anak anak di SD Bethany School Papua di Sentani dalam mendukung aksi ini menjadikan dusun sagu sebagai Laboratorium alam dimana sagu bisa dimanfaatkan untuk mempertahankan ekosistem, ketahanan pangan, identitas jati diri budaya OAP.