Site icon Cenderawasih Pos

Pendapatan Turun Drastis, Bayar Kos Saja Susah Terpaksa Tidur di “Hotel Suzuki”

Adnan saat memperlihatkan hasil narik angkot seharian, Selasa (25/6) (foto: Elfira/Cepos)

Keluh Kesah Sopir Angkutan Umum di Tengah Menjamurnya Angkutan Online

Seperti halnya di kota-kota besar lainnya, angkutan umum di Kota Jayapura kini juga mengalami krisis. Masyarakat makin minim untuk menggunakan angkutan umum, sebab saat ini sudah banyak angkutan online yang jauh lebih praktis dan efektif mengantar sampati tempat tujuan. Lantas bagaimanan nasib para sopir angkot, yang tidak bisa mengikuti alur menganti mobil tua menjadi angkutan oline?

Laporan : Elfira_Jayapura

Terminal yang dulunya ramai dengan masyarakat yang mencari angkutan, dan teriakan kondektur atau sopir yang mencari penumpang, kini sudah jarang terlihat. Terminal, terliht mulai sepi, bahkan sebagian angkutan enggan masuk antri penumpang di terminal dan memilih mencari terminal bayangan untuk mencari penumpang.

     “Itu lihat angkot kami (mobil angkutan umum-red), sudah dua jam parkir tanpa penumpang” ucap Adnan (53), membuka percakapan dengan Cenderawasih Pos,  saat cuaca di Kota Jayapura cerah, Selasa (25/6) sore.

    Adnan adalah seorang sopir angkutan umum sejak 1993 silam, saat ini ia mengemudi trayek B4 dengan jalur Entrop-APO. Saat Cenderawasih Pos menyambaginya, ayah lima anak itu sedang duduk menunggu penumpang.

   Ia tak sendiri, melainkan bersama rekan lainnya sesama sopir angkutan umum juga. Saat percakapan di tempat duduk bertuliskan Sub Terminal Taman Mesran Kota Jayapura, di Jalan Koti. Satu sopir lainnya berbisik soal sepinya penumpang.

   Adnan sendiri narik angkot sejak pukul 04:00 WIT. Namun hingga pukul 16:00 WIT, pendapatannya baru Rp 80 ribu. “Ini pendapatan saya narik sejak pukul 04:00 hingga pukul 4 sore baru segini,” ucapnya sembari memperlihatkan uang di tangannya berjumlah Rp 80 ribu.

   Pendapatannya saat ini tak sebanding dengan dulu awal ia menjadi sopir angkot, sehari bisa mengumpulkan 400 ribu hingga 500 ribu. Dengan waktu kerja pukul 04:00 WIT hingga 23:00 WIT.

  “Pendapatan segitu bisa membiayai anak anak sekolah dan mencukupi kebutuhan keluarga,” ucapnya, sembari menghisap  sebatang  rokok di tangan kanannya.

   Namun, Adnan mengaku kini pendapatannya menurun drastis sejak adanya angkutan online seperti Maxim dan Grab. “100 ribu dalam sehari, belum juga setor ke pemilik mobil,” sembari menghela nafas, sedang di lain sudut, sopir lainnya sedang memperbaiki kendaraannya.

   Ayah lima anak itu tak melarang kehadiran taksi online di kota ini, hanya saja ia meminta pemerintah harus membatasinya. Ia sadar betul bahwa taksi online mempermudah masyarakat, namun jika tidak dibatasi maka perlahan mematikan mata pencaharian mereka.

   “Pemerintah seakan melumpuhkan penghasilan saya untuk membiayai anak anak yang sedang sekolah dan kuliah, sementara tujuan pemerintah adalah memberantas buta huruf, namun justru mencekik kami seperti ini,” tuturnya

   Ia, dan sopir angkot lainnya meminta ada kebijakan dari pemerintah dengan mengurangi keberadaan angkutan online. Sebab, di lain sisi ada kebijakan dan peraturan yang memberatkan bagi mereka.

   Memberatkan yang dimaksudkan Adnan adalah, sopir angkutan umum dengan segala peraturannya seperti harus membayar pajak setiap tahun, membayar izin  trayek meski kenyataannya tidak sampai ke trayeknya dan membayar perpanjangan izin trayek.

   “Kenapa kami dengan segala peraturan, sementara taksi online tidak ? taksi online bebas mau parkir di mana saja termasuk bebas menurunkan penunpamg di mana saja. Sementara kami tidak seperti itu, bahkan menurunkan penumpang tidak sesuai rute atau bahkan parkir di bahu jalan langsung ditilang sementara taksi online dibiarkan begitu saja. Bahkan, lokasi parkir kami pun diambil alih oleh mereka (taksi online-red)” keluhnya.

    Sebagai sopir angkutan umum, Adnan mengaku penuh  tekanan dari pihak Perhubungan. Misalkan ia trayek B4 dengan tujuan Entrop-APO, namun ia dipaksa menurunkan penumpang di Terminal Persinggahan (Terminal Mesran). Jika menyalahi aturan itu, maka mereka akan ditilang. Padahal, bayarnya sesuai trayek.

    “Pemerintah harus mengembalikan kami seperti semula sesuai izin trayek, dimana B4 dari Terminal Entrop-APO dan B2 kembali ke kota. Dengan begitu bisa menghasilkan uang,” tegasnya.

   Dengan sepinya penumpang saat ini, ayah lima anak ini mengaku terpaksa tidur di angkot sehabis narik. “Saya sementara tinggal di Hotel Suzuki (tidur dalam angkot), itu bantal dan sarung saya. Mau bayar kos sekarang sudah susah,” ucapnya.

    Sepinya penumpang juga dirasakan Nurdin, sopir angkutan umum dengan jalur B2 jalur Terminal Entrop-Percetakan. “Saat ini parah sekali, bayar uang kos saja susah. Lihat saja banyak mobil taduduk (terparkir-red) akibat sepinya penumpang. Hal ini dikarenakan taksi online yang merajalela,” ungkap ayah dua anak itu.

   Saat ditemui Cenderawasih Pos, pendapatan Nurdin saat itu sebesar Rp 50 ribu. Padahal dulu ia mengaku, jam segitu ia sudah mengumpulkan Rp 200 ribu. “Meski ongkosnya Rp 5000, namun susah dapat penumpang sekarang. Bagaimana mau dapat penumpang, Maxim setiap sudut jalan kota ini selalu  ada,” ucapnya sembari tersenyum. (*/tri)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Exit mobile version