Paulus juga mengomentari pihak yang terkesan sekonyong konyongnya dengan mengklain sebagai putera Papua. “Bagi mereka bukan asli Papua jangan juga katakan orang Papua dan akhirnya buat onar di Papua. Saya paham siapa orangnya. Artinya seharusnya pemimpin kita sadari bahwa elektabilitas itu sebenarnya menunjukkan ada harapan dari masyarakat. Saya tidak mengatakan elektabilitas yang terbaik tapi ada banyak harapan masyarakat ke saya artinya ada yang memberikan kepercayaan,” akunya.
Tapi bukan juga dengan cara memotong dan mengancam dan akhirnya dengan sangat terpaksa memberikan hak kesulungan kepada oknum tertentu. “Bisa dipertanyakan kinerjanya. Kalau hanya kerja Omdo saya pikir yang begitu (Omdo) banyak di republik ini. Kita semua anak daerah, anak kampung dan ditugaskan menjadi berkat. Masyarakat masih polos, belum melek huruf, miskin ekstrim dan tidak boleh mengajarkan sesuatu yang salah,” beber Paulus.
Dengan sedikit penyesalan, mantan jenderal bintang tiga ini melihat ketika gong bertabuh dan hari ini dibunyikan maka amplitudonya lama. Bisa rusak satu generasi. Dan yang bertanggungjawab nanti pemimpinnya. “Orang bilang fairness nya. Dimulai dari berlatih, bertanding dan menjadi hebat, tapi bukan menghancurkan lawan,” ungkap Waterpauw.
Disini iapun mengungkapkan terkait pencalonannya maju di Papua. Pria yang pandai berbahasa Jawa ini mengaku jika sebenarnya ia sedang tes ombak dimana ketika dirinya diamanatkan 2 tahun di Papua Barat dan ada sejumlah capaian positif yang diperoleh. Bisa menurunkan inflasi, stunting, kemiskinan ekstrim dan itu jadi kepuasan tersendiri. Kemudian diputuskan untuk kembali ke Papua karena di Papua inilah ia mengabdi selama 19 tahun sehingga sangat paham soal persoalan yang terjadi di Papua.
“Dan saya tes ombak memasang spanduk besar di Imbi dan Sentani dan ternyata mendapat dukungan dari masyarakat. Artinya saya ingin menjawab harapan masyarakat itu sebagai kader Golkar. Tiba – tiba ada angin merusak semuanya. Kita semua paham politik tapi bukan begitu caranya. Ada kesadaran dan etika,” singgungnya lagi.
“Saya selama ini memang diam, namun saya tahu angin badai tadi. Orang punya kepentingan sesaat untuk melakukan langkah seperti itu dan semoga masyarakat paham,” ujarnya lagi. Paulus merasa 19 tahun mengabdi di Papua dan 2 tahun di Papua Barat kemudian kembali dan mendapatkan sambutan luar biasa menurutnya hal tersebut wajar. Iapun menitip pesan untuk timnya.