Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Wabup Nduga Bersikukuh Mundur

INVESTIGASI: Tim Gabungan, Minggu (22/12) saat melakukan investigasi di terkait tewasnya Hendrik Lokbere warga Nduga akibat tertembak di Kenyam tepatnya di jalan menuju Batas Batu, Jumat (20/12) lalu. (FOTO: Samuel Tabuni for Cepos)

Hendrik Lokbere Warga Nduga Diduga Ditembak Aparat

JAYAPURA-Wakil Bupati (Wabup) Nduga, Wentius Nimiangge nampaknya tak mau menarik pernyataannya terkait ingin mengundurkan diri dari jabatan wakil bupati karena terlanjur kecewa. Pasalnya, kecewannya sudah berlipat-lipat. 

Mulai dari sopir yang biasa mengantarnya ditembak, kemudian ia harus menguburkan jenazah masyarakatnya sehari sebelum Natal dan terakhir ia merasa apa yang diomongkan tak didengar lagi oleh aparat. 

Wentius mengaku ingin kembali menjadi petani karena usahanya untuk menciptakan Nduga menjadi lebih aman ternyata tak dihargai. “Kalian (wartawan, red) tahu, satu tahun lebih masyarakat kami masih di luar, tidak natalan baik. Itu karena persoalan keamanan dan tahun ini terulang kembali. Sopir yang bisa mengantar saya, menjemput anak saya ditembak begitu saja. Ini apa? Mereka alat negara kenapa menembak sopir saya,” kata Wabup Wentius Nimiangge melalui ponselnya, Selasa (24/12) malam.

 Wentius saat dihubungi mengaku baru pulang memakamkan jenazah sopirnya, Hendrik Gwijangge. Dari ucapannya, Wentius terlihat sangat kecewa. “Saya baru pulang menguburkan dia (sopir), ini baru sampai rumah dan belum makan juga. Saya sedih sekali sebab saat ini tanggal 24 Desember, itu waktu Tuhan Yesus hadir dan manusia merasakan suasana Natal tapi saya justru menghibur keluarga jenazah,” ucapnya. 

Ia kembali mengutarakan bahwa hatinya masih terluka dan tak bisa merasakan suasana Natal.  Pasangan Yairus Gwijangge sejatinya masih memiliki waktu memimpin 3 tahun ke depan sebab ia dilantik pada 17 April 2017, namun dengan insiden ini ia justru merasa mundur adalah pilihan yang tepat. 

Meski baru sebatas pernyataan di tengah masyarakatnya dan muncul di media, Wentius menyampaikan hampir satu tahun dirinya hanya diperhadapkan dengan jenazah masyarakat sipil. Pihak TNI dan Polri termasuk TPN/OPM tak pernah memikirkan bagaimana dampak jika perseteruan kedua kelompok bersenjata ini justru masyarakat sipil maupun pemerintah yang merugi. “Kamu (wartawan) tahu itu gedung (kantor bupati)  dibangun tapi tidak terlalu bermanfaat. Ini karena seperti tak ada rasa aman. Kami sudah berkali-kali sampaikan agar pasukan organik harus keluar dari Nduga, jangan ada penambahan pasukan tapi tidak diikuti dan sekarang begini. Masyarakat sipil lagi,” sambungnya. 

 Ia secara tegas menyatakan bahwa pemberitahuan atau permintaan agar jangan memasukkan pasukan organik ke Nduga sudah disampaikan berkali-kali tapi tetap dikirim. Ini karena pasukan baru tidak memahami sosial kultur dan budaya masyarakat setempat dan itu rawan terjadi kekerasan apalagi penembakan jika tak paham. Ini berbeda dengan pasukan non organik seperti Polsek atau Koramil yang sudah mengenal sosial kultur. 

 “Saya ini tangan kirinya presiden dan bupati itu tangan kanannya. Tapi omongan kami berdua tidak pernah diindahkan. Jadi kalau sudah begini saya pilih mundur, tugas terlalu berat dan biar saya jadi petani saja,” imbuhnya. 

Kejadian ini juga memantik protes dari salah satu anggota DPR Papua, Emus Gwijangge yang meminta agar pihak Polda maupun Kodam melakukan penyelidikan terkait insiden penembakan tersebut sekaligus  menyampaikan ke publik terkait apa yang terjadi sebenarnya. 

Baca Juga :  12 Jam, Bahas Isu Rasisme hingga Pelanggaran HAM di Papua

 “Permintaan kami dan keluarga seperti itu, segera lakukan investigasi dan sampaikan kepada masyarakat hasilnya. Jika salah sampaikan bahwa memang ada yang salah, begitu sebaliknya,” kata Emus melalui ponselnya, Sabtu (22/12).

 Emus menyarankan hasil investigasi tersebut disampaikan terbuka kepada pihak keluarga sebab suasana duga sangat kuat. “Kita berada dalam sebuah negara dan memang kalau ada yang menyalahi protap oleh anggota TNI atau Polri maka sampaikan semuanya sebab kami masih meyakini ini perbuatan 1 orang bukan institusi dan korbanya adalah masyarakat sipil bukan OPM,” bebernya. 

 Hendrik lanjut Emus disebut bekerja sebagai sopir dan tak ada kaitannya dengan TPN/OPM. Ia kadang melayani penumpang bahkan ikut mendrop sembako bagi masyarakat bahkan untuk kebutuhan TNI-Polri sehingga jangan sampai masyarakat protes dan berkelanjutan. “Yang kami dengar ia membawa omnya ke perbatasan Asmat pukul 19.00 WIT dan di tengah jalan ia ditembak saat masih di dalam mobil. Om lainnya lari menyelamatkan diri,” kata Emus. 

“Harusnya TNI-Polri juga bisa membedakan mana OPM dan mana masyarakat sipil, jangan sapu rata begitu. Ini juga saya lihat karena banyak gonta ganti pasukan akhirnya tidak paham soal mana OPM mana warga sipil dan ini harus menjadi catatan bagi aparat keamanan,” pungkas Emus.

Sementara itu, Tim Gabungan yang terdiri dari Pomdam Kodam XVII/Cenderawasih,  Propam Polda Papua, Asisten Intel Kodam, Danrem 172 dan pemerhati HAM melakukan investigasi pasca tewasnya Hendrik Lokbere warga Nduga akibat tertembak di Kenyam jalan menuju Batas Batu, Jumat (20/12) lalu sekira pukul 19.30 WIT.

Dalam investigasi yang dilakukan oleh tim gabungan kasus penembakan Hendrik sejak tanggal 22 hingga 24 Desember 2019, telah diakukan pengambilan BAP dan olah TKP. Tim gabungan juga meminta keterangan dari beberapa saksi yang mengetahui kejadian tersebut.

Tokoh masyarakat Nduga yang juga keluarga korban, Samuel Tabuni mengatakan, saat ini yang menjadi fokus mereka adalah penyelidikan dan proses persidangan. “Dari hasil investigasi yang dilakukan, saksi melihat pelaku penembakan diduga dari oknum aparat,” ucap Samuel saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Jumat (27/12) melalui telepon selulernya.

Ia menerangkan, kejadian tersebut malam hari dan saat itu tidak ada kontak senjata antara TNI-Polri dan TPN-OPM. Dimana wilayah tertembaknya Hendrik merupakan salah satu wilayah yang dianggap aman di Nduga, karena merupakan wilayah pemukiman warga.

“Lokasi kejadian itu berada di pemukiman warga dan jarang terjadi  konflik  di daerah itu,” ucapnya singkat seakan menegaskan tentang kondisi di Nduga.

Menurut dia, masyarakat sipil di Nduga banyak dibunuh tanpa dilakukan investigasi guna mengetahui pelakunya untuk diproses secara hukum. “Karena ini terjadi di kota sehingga kami mau pelakunya dihukum sesuai dengan perbuatannya. Bahkan jika nanti terbukti seorang oknum aparat maka harus dipecat,” tegasnya.

Baca Juga :  Penyelundupan Miras Kembali Manfaatkan Buruh TKBM

Dikatakan, operasi militer di Nduga yang dilakukan saat ini dalam rangka penegakan hukum. Namun jangan penegakan hukum tersebut hanya berlaku sepihak hingga warga sipil dibunuh tanpa salah. “Jangan kita menegakan hukum namun menghancurkan kehidupan masyarakat yang berada di Nduga,” tegasnya kembali.

Selain itu lanjut Samuel, aparat di Nduga sudah terlalu banyak. Untuk itu, pihaknya meminta agar anggota non organik  seharusnya ditarik dan biarkan anggota organik yang melakukan pendekatan dengan masyarakat yang ada di Nduga. Hal ini agar mengurangi potensi konflik.

“Kalau anggota yang dibawa dari Jawa ke Nduga, otomatis mereka tidak akan mengerti dan memahami masyarakat yang ada di Nduga. Malah menganggap semua orang papua yang ada di Nduga sana adalah OPM,” tuturnya.

Disinggung terkait pernyataan mundur yang disampaikan Wabup Nduga Wentius Nemiangge, Samuel menganggap hal yang wajar. Sebab seorang kepala daerah kalau rakyatnya dibunuh pasti sakit hati bagian dari kecewa.“Tindakan Wakil Bupati Nduga protes keras kepada pemerintah pusat,” katanya.

Senada dengan itu, Pengamat Sosial Politik Papua Jhon Al Norotow menilai pernyataan mundur yang disampaikan Wabup Nduga, merupakan bentuk protes dan ungkapan kekecewaan. Karena warganya tewas tertembak bukanlah sesuatu hal yang mengagetkan. Justru patut diapresiasi bahkan perlu diikuti oleh seluruh pejabat pemerintah daerah dan pejabat birokrasi lainnya di Provinsi Papua.

Hanya saja sikap tersebut terkesan sangat terlambat. Karena peristiwa tragedi kemanusiaan yang terjadi di Nduga bukan hanya baru sekarang. Tetapi sejak dulu di Kabupaten Nduga sebagai wilayah pemerintahan pasangan Yairus Gwijangge dan Wentius Nemiangge telah terjadi serangkaian tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan mengenaskan.

Mulai dari penembakan terhadap pesawat yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) Papua pimpinan Egianus Kogoya. Pembantaian masyarakat sipil dan kejadian lainnya.

Dikatakan, terjadinya konflik di Papua bukan karena hadirnya TNI-Polri tapi karena adanya sekelompok orang yang mempersenjatai diri secara illegal dan melakukan pemberontakan terhadap kedaulatan negara yang sah.

“Tidak ada suatu hukum apapun yang membenarkan adanya seseorang atau sekelompok orang yang tanpa hak boleh mengangkat senjata secara illegal,” tegasnya sebagaimana rilis yang diterima Cenderawasih Pos.

Tindakan Wakil Bupati Nduga Wentius Nemiangge diharapkan bukan hanya sekedar gertak sambal untuk menarik perhatian dan menekan Pemerintah Pusat agar menarik TNI-Polri dari Nduga. Karena itu dibutuhkan keseriusan Mendagri Tito Karnavian harus segera memproses dan mengeluarkan Surat Keputusan (Skep) resmi pencopotan  jabatan Wentinus Namiangge sebagai Wakil Bupati Nduga.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal mengatakan jika memang terjadi kekerasan terhadap warga sipil di Nduga. Maka seharusnya melapor ke pihak berwajib tanpa harus berkoar-koar di medis sosial.

“Kalau memang ada kejadian maka silakan melapor, namun lapornya secara resmi jangan  menggunakan medsos yang tidak ada solusinya,” ucap Kamal. Dirinya mengklaim bahwa situasi di Kabupaten Nduga saat ini sudah kondusif. (ade/fia/nat)

INVESTIGASI: Tim Gabungan, Minggu (22/12) saat melakukan investigasi di terkait tewasnya Hendrik Lokbere warga Nduga akibat tertembak di Kenyam tepatnya di jalan menuju Batas Batu, Jumat (20/12) lalu. (FOTO: Samuel Tabuni for Cepos)

Hendrik Lokbere Warga Nduga Diduga Ditembak Aparat

JAYAPURA-Wakil Bupati (Wabup) Nduga, Wentius Nimiangge nampaknya tak mau menarik pernyataannya terkait ingin mengundurkan diri dari jabatan wakil bupati karena terlanjur kecewa. Pasalnya, kecewannya sudah berlipat-lipat. 

Mulai dari sopir yang biasa mengantarnya ditembak, kemudian ia harus menguburkan jenazah masyarakatnya sehari sebelum Natal dan terakhir ia merasa apa yang diomongkan tak didengar lagi oleh aparat. 

Wentius mengaku ingin kembali menjadi petani karena usahanya untuk menciptakan Nduga menjadi lebih aman ternyata tak dihargai. “Kalian (wartawan, red) tahu, satu tahun lebih masyarakat kami masih di luar, tidak natalan baik. Itu karena persoalan keamanan dan tahun ini terulang kembali. Sopir yang bisa mengantar saya, menjemput anak saya ditembak begitu saja. Ini apa? Mereka alat negara kenapa menembak sopir saya,” kata Wabup Wentius Nimiangge melalui ponselnya, Selasa (24/12) malam.

 Wentius saat dihubungi mengaku baru pulang memakamkan jenazah sopirnya, Hendrik Gwijangge. Dari ucapannya, Wentius terlihat sangat kecewa. “Saya baru pulang menguburkan dia (sopir), ini baru sampai rumah dan belum makan juga. Saya sedih sekali sebab saat ini tanggal 24 Desember, itu waktu Tuhan Yesus hadir dan manusia merasakan suasana Natal tapi saya justru menghibur keluarga jenazah,” ucapnya. 

Ia kembali mengutarakan bahwa hatinya masih terluka dan tak bisa merasakan suasana Natal.  Pasangan Yairus Gwijangge sejatinya masih memiliki waktu memimpin 3 tahun ke depan sebab ia dilantik pada 17 April 2017, namun dengan insiden ini ia justru merasa mundur adalah pilihan yang tepat. 

Meski baru sebatas pernyataan di tengah masyarakatnya dan muncul di media, Wentius menyampaikan hampir satu tahun dirinya hanya diperhadapkan dengan jenazah masyarakat sipil. Pihak TNI dan Polri termasuk TPN/OPM tak pernah memikirkan bagaimana dampak jika perseteruan kedua kelompok bersenjata ini justru masyarakat sipil maupun pemerintah yang merugi. “Kamu (wartawan) tahu itu gedung (kantor bupati)  dibangun tapi tidak terlalu bermanfaat. Ini karena seperti tak ada rasa aman. Kami sudah berkali-kali sampaikan agar pasukan organik harus keluar dari Nduga, jangan ada penambahan pasukan tapi tidak diikuti dan sekarang begini. Masyarakat sipil lagi,” sambungnya. 

 Ia secara tegas menyatakan bahwa pemberitahuan atau permintaan agar jangan memasukkan pasukan organik ke Nduga sudah disampaikan berkali-kali tapi tetap dikirim. Ini karena pasukan baru tidak memahami sosial kultur dan budaya masyarakat setempat dan itu rawan terjadi kekerasan apalagi penembakan jika tak paham. Ini berbeda dengan pasukan non organik seperti Polsek atau Koramil yang sudah mengenal sosial kultur. 

 “Saya ini tangan kirinya presiden dan bupati itu tangan kanannya. Tapi omongan kami berdua tidak pernah diindahkan. Jadi kalau sudah begini saya pilih mundur, tugas terlalu berat dan biar saya jadi petani saja,” imbuhnya. 

Kejadian ini juga memantik protes dari salah satu anggota DPR Papua, Emus Gwijangge yang meminta agar pihak Polda maupun Kodam melakukan penyelidikan terkait insiden penembakan tersebut sekaligus  menyampaikan ke publik terkait apa yang terjadi sebenarnya. 

Baca Juga :  Puslitbang Polri Mulai Bahas Polda Baru

 “Permintaan kami dan keluarga seperti itu, segera lakukan investigasi dan sampaikan kepada masyarakat hasilnya. Jika salah sampaikan bahwa memang ada yang salah, begitu sebaliknya,” kata Emus melalui ponselnya, Sabtu (22/12).

 Emus menyarankan hasil investigasi tersebut disampaikan terbuka kepada pihak keluarga sebab suasana duga sangat kuat. “Kita berada dalam sebuah negara dan memang kalau ada yang menyalahi protap oleh anggota TNI atau Polri maka sampaikan semuanya sebab kami masih meyakini ini perbuatan 1 orang bukan institusi dan korbanya adalah masyarakat sipil bukan OPM,” bebernya. 

 Hendrik lanjut Emus disebut bekerja sebagai sopir dan tak ada kaitannya dengan TPN/OPM. Ia kadang melayani penumpang bahkan ikut mendrop sembako bagi masyarakat bahkan untuk kebutuhan TNI-Polri sehingga jangan sampai masyarakat protes dan berkelanjutan. “Yang kami dengar ia membawa omnya ke perbatasan Asmat pukul 19.00 WIT dan di tengah jalan ia ditembak saat masih di dalam mobil. Om lainnya lari menyelamatkan diri,” kata Emus. 

“Harusnya TNI-Polri juga bisa membedakan mana OPM dan mana masyarakat sipil, jangan sapu rata begitu. Ini juga saya lihat karena banyak gonta ganti pasukan akhirnya tidak paham soal mana OPM mana warga sipil dan ini harus menjadi catatan bagi aparat keamanan,” pungkas Emus.

Sementara itu, Tim Gabungan yang terdiri dari Pomdam Kodam XVII/Cenderawasih,  Propam Polda Papua, Asisten Intel Kodam, Danrem 172 dan pemerhati HAM melakukan investigasi pasca tewasnya Hendrik Lokbere warga Nduga akibat tertembak di Kenyam jalan menuju Batas Batu, Jumat (20/12) lalu sekira pukul 19.30 WIT.

Dalam investigasi yang dilakukan oleh tim gabungan kasus penembakan Hendrik sejak tanggal 22 hingga 24 Desember 2019, telah diakukan pengambilan BAP dan olah TKP. Tim gabungan juga meminta keterangan dari beberapa saksi yang mengetahui kejadian tersebut.

Tokoh masyarakat Nduga yang juga keluarga korban, Samuel Tabuni mengatakan, saat ini yang menjadi fokus mereka adalah penyelidikan dan proses persidangan. “Dari hasil investigasi yang dilakukan, saksi melihat pelaku penembakan diduga dari oknum aparat,” ucap Samuel saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Jumat (27/12) melalui telepon selulernya.

Ia menerangkan, kejadian tersebut malam hari dan saat itu tidak ada kontak senjata antara TNI-Polri dan TPN-OPM. Dimana wilayah tertembaknya Hendrik merupakan salah satu wilayah yang dianggap aman di Nduga, karena merupakan wilayah pemukiman warga.

“Lokasi kejadian itu berada di pemukiman warga dan jarang terjadi  konflik  di daerah itu,” ucapnya singkat seakan menegaskan tentang kondisi di Nduga.

Menurut dia, masyarakat sipil di Nduga banyak dibunuh tanpa dilakukan investigasi guna mengetahui pelakunya untuk diproses secara hukum. “Karena ini terjadi di kota sehingga kami mau pelakunya dihukum sesuai dengan perbuatannya. Bahkan jika nanti terbukti seorang oknum aparat maka harus dipecat,” tegasnya.

Baca Juga :  Ring Road Mulai Dioperasikan

Dikatakan, operasi militer di Nduga yang dilakukan saat ini dalam rangka penegakan hukum. Namun jangan penegakan hukum tersebut hanya berlaku sepihak hingga warga sipil dibunuh tanpa salah. “Jangan kita menegakan hukum namun menghancurkan kehidupan masyarakat yang berada di Nduga,” tegasnya kembali.

Selain itu lanjut Samuel, aparat di Nduga sudah terlalu banyak. Untuk itu, pihaknya meminta agar anggota non organik  seharusnya ditarik dan biarkan anggota organik yang melakukan pendekatan dengan masyarakat yang ada di Nduga. Hal ini agar mengurangi potensi konflik.

“Kalau anggota yang dibawa dari Jawa ke Nduga, otomatis mereka tidak akan mengerti dan memahami masyarakat yang ada di Nduga. Malah menganggap semua orang papua yang ada di Nduga sana adalah OPM,” tuturnya.

Disinggung terkait pernyataan mundur yang disampaikan Wabup Nduga Wentius Nemiangge, Samuel menganggap hal yang wajar. Sebab seorang kepala daerah kalau rakyatnya dibunuh pasti sakit hati bagian dari kecewa.“Tindakan Wakil Bupati Nduga protes keras kepada pemerintah pusat,” katanya.

Senada dengan itu, Pengamat Sosial Politik Papua Jhon Al Norotow menilai pernyataan mundur yang disampaikan Wabup Nduga, merupakan bentuk protes dan ungkapan kekecewaan. Karena warganya tewas tertembak bukanlah sesuatu hal yang mengagetkan. Justru patut diapresiasi bahkan perlu diikuti oleh seluruh pejabat pemerintah daerah dan pejabat birokrasi lainnya di Provinsi Papua.

Hanya saja sikap tersebut terkesan sangat terlambat. Karena peristiwa tragedi kemanusiaan yang terjadi di Nduga bukan hanya baru sekarang. Tetapi sejak dulu di Kabupaten Nduga sebagai wilayah pemerintahan pasangan Yairus Gwijangge dan Wentius Nemiangge telah terjadi serangkaian tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dan mengenaskan.

Mulai dari penembakan terhadap pesawat yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB) Papua pimpinan Egianus Kogoya. Pembantaian masyarakat sipil dan kejadian lainnya.

Dikatakan, terjadinya konflik di Papua bukan karena hadirnya TNI-Polri tapi karena adanya sekelompok orang yang mempersenjatai diri secara illegal dan melakukan pemberontakan terhadap kedaulatan negara yang sah.

“Tidak ada suatu hukum apapun yang membenarkan adanya seseorang atau sekelompok orang yang tanpa hak boleh mengangkat senjata secara illegal,” tegasnya sebagaimana rilis yang diterima Cenderawasih Pos.

Tindakan Wakil Bupati Nduga Wentius Nemiangge diharapkan bukan hanya sekedar gertak sambal untuk menarik perhatian dan menekan Pemerintah Pusat agar menarik TNI-Polri dari Nduga. Karena itu dibutuhkan keseriusan Mendagri Tito Karnavian harus segera memproses dan mengeluarkan Surat Keputusan (Skep) resmi pencopotan  jabatan Wentinus Namiangge sebagai Wakil Bupati Nduga.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal mengatakan jika memang terjadi kekerasan terhadap warga sipil di Nduga. Maka seharusnya melapor ke pihak berwajib tanpa harus berkoar-koar di medis sosial.

“Kalau memang ada kejadian maka silakan melapor, namun lapornya secara resmi jangan  menggunakan medsos yang tidak ada solusinya,” ucap Kamal. Dirinya mengklaim bahwa situasi di Kabupaten Nduga saat ini sudah kondusif. (ade/fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya