Sunday, April 28, 2024
29.7 C
Jayapura

Pimpinan Gereja Minta Pasukan Ditarik Lalu Dialog

JAYAPURA – Pernyataan Panglima TNI, Jenderal Yudo Margono terkait peningkatan status operasi di wilayah konflik dari soft approuch menjadi siaga tempur sempat menimbulkan pertanyaan baru.

Apakah TNI akan melakukan penyerangan secara terbuka atau menerapkan strategi yang lebih agresif untuk segera menumpas kelompok TPN OPM. Tak Sedikit yang mengkhawatirkan jika ini dilakukan maka imbasnya justru ke masyarakat sipil yang tak tahu apa – apa.

Kekhawatiran ini juga nampaknya dirasakan oleh kubu TPN OPM yang meminta sang pilot menyampaikan kepada pihak TNI untuk tidak melepas bom.

Begitu juga  pemimpin-pemimpin gereja di Papua.  Presiden Gereja Injili di Tanah Papua (GIDI) Pendeta Dorman Wandikbo mengatakan bahwa sebagai tanah  Injil gereja – gereja berharap ada kedamaian di Papua bukan konflik yang berkepanjangan.

“Kami Gereja sangat tidak setuju dan menolak operasi tempur karena itu di luar jalur atau di luar  aturan yang dibicarakan dalam DPR RI dan kemudian juga keputusan Presiden ini hanya disampaikan oleh panglima TNI, nah oleh karena itu kami gereja tolak, karena itu berisiko cukup tinggi terhadap masyarakat sipil yang tidak tahu apa-apa dan selalu menjadi korban,” katanya.

Mantan Ketua Sinode Kingmi Papua Benny Giyai mengatakan bahwa kegelisaan gereja – gereja di Papua usai mengikuti dinamika pembangunan politik di Papua maka Presiden dan kabinet bisa melihat suara ini sebagai salah satu langka lain tidak harus konflik tapi dengan dialog.

Baca Juga :  Papua Masuk 10 Besar Inflasi Terendah

“Presiden pada pidato 15 Juli 2021 itu sudah bicara penyelesaikan masalah Papua tanpa senjata dan Jokowi pernah sampaikan bahwa ia berniat mau bertemu Tapol dan mereka yang berseberangan ideologi  maka surat gereja kami ini bisa di cek. Surat kami agar dievaluasi operasi militer di Papua,” katanya.

Mewakili Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua Pendeta Dominggus Pigay juga mengatakan bahwa sebagai negara moderen harus menghargai HAM dan demokrasi bukan penyelesaian secara milite,  karena negara demokrasi negara modern itu sudah harus meninggalkan cara berpikir lama.

“Menyelesaikan masalah dengan kekerasan itu salah satu ciri negara yang  masih hidup dalam zaman batu, tapi di negara modern itu harus mengacu kepada nilai-nilai humanisme nilai-nilai dialog dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan kasih yang pertama,” katanya.

Sementara itu, Uskup Jayapura Mgr. Yanuarius Theopilus Matopai You mengatakan bahwa gereja bersama jemaat mengalami banyak suka duka yang dialami bersama dengan masyarakat dan tinggal hidup di Papua.

“Baik masyarakat Papua maupun Non Papua diharapkan bahwa bisa hidup dalam suasana damai tetapi justru terjadi terbalik karena banyak konflik terjadi di mana-mana – mana Katakan  saja, Puncak, Maibrat, Intan Jaya, juga yang terakhir ini di Nduga terkait dengan pilot berkebangsaan Selandia Baru dan ini bukan kali ini membuat kami rasa cukup resah.

Baca Juga :  Harus Steril, Pegawai Kantor Gubernur WFH

Maka kami minta TNI/Polri dan TPNPB yang terus mau saling menyerang di mana kekuatan militer coba mau melumpuhkan  TPNPB dengan alat lengkap,  kami sangat prihatin sangat prihatin kalau memang usaha untuk pembebasan ini lakukan dengan kekerasan militer itu pasti punya akibat yang sangat besar, berdampak luas terhadap jatuhnya korban-korban masyarakat,” katanya.

Maka Uskup mengharapkan supaya masing-masing pihak untuk menahan diri dan pimpinan militer dapat menarik pasukan dan pihak TPNPB juga sama.

Sementara itu Presiden Persekutuan Gereka – Gereja Baptis West Papua (PGB – WP) Pendeta Dr Socrates S Yoman mengatakan lekerasan negara ini sudah terjadi lama hampir 60 tahun di Papua harus di hentikan.

“Kami  (Gereja – Gereja) minta kepada Presiden Joko Widodo untuk menarik seluruh pasukan dan daerah itu dikosongkan atau disterilkan memberikan ruang kepada tim negosiasi dari gereja atau pimpinan agama untuk mendekati mereka, dan seharusnya Presiden Republik Indonesia melakukan penunjukan tim negosiasi utusan khusus secara resmi untuk berkomunikasi dengan pihak TPNPB dan pemerintah Indonesia seperti kasus penyelesaian Gerakan Aceh Merdeka di Aceh. (oel/ade/wen)

JAYAPURA – Pernyataan Panglima TNI, Jenderal Yudo Margono terkait peningkatan status operasi di wilayah konflik dari soft approuch menjadi siaga tempur sempat menimbulkan pertanyaan baru.

Apakah TNI akan melakukan penyerangan secara terbuka atau menerapkan strategi yang lebih agresif untuk segera menumpas kelompok TPN OPM. Tak Sedikit yang mengkhawatirkan jika ini dilakukan maka imbasnya justru ke masyarakat sipil yang tak tahu apa – apa.

Kekhawatiran ini juga nampaknya dirasakan oleh kubu TPN OPM yang meminta sang pilot menyampaikan kepada pihak TNI untuk tidak melepas bom.

Begitu juga  pemimpin-pemimpin gereja di Papua.  Presiden Gereja Injili di Tanah Papua (GIDI) Pendeta Dorman Wandikbo mengatakan bahwa sebagai tanah  Injil gereja – gereja berharap ada kedamaian di Papua bukan konflik yang berkepanjangan.

“Kami Gereja sangat tidak setuju dan menolak operasi tempur karena itu di luar jalur atau di luar  aturan yang dibicarakan dalam DPR RI dan kemudian juga keputusan Presiden ini hanya disampaikan oleh panglima TNI, nah oleh karena itu kami gereja tolak, karena itu berisiko cukup tinggi terhadap masyarakat sipil yang tidak tahu apa-apa dan selalu menjadi korban,” katanya.

Mantan Ketua Sinode Kingmi Papua Benny Giyai mengatakan bahwa kegelisaan gereja – gereja di Papua usai mengikuti dinamika pembangunan politik di Papua maka Presiden dan kabinet bisa melihat suara ini sebagai salah satu langka lain tidak harus konflik tapi dengan dialog.

Baca Juga :  Perbolehkan Zonasi Sampai Tingkat RT dan RW

“Presiden pada pidato 15 Juli 2021 itu sudah bicara penyelesaikan masalah Papua tanpa senjata dan Jokowi pernah sampaikan bahwa ia berniat mau bertemu Tapol dan mereka yang berseberangan ideologi  maka surat gereja kami ini bisa di cek. Surat kami agar dievaluasi operasi militer di Papua,” katanya.

Mewakili Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua Pendeta Dominggus Pigay juga mengatakan bahwa sebagai negara moderen harus menghargai HAM dan demokrasi bukan penyelesaian secara milite,  karena negara demokrasi negara modern itu sudah harus meninggalkan cara berpikir lama.

“Menyelesaikan masalah dengan kekerasan itu salah satu ciri negara yang  masih hidup dalam zaman batu, tapi di negara modern itu harus mengacu kepada nilai-nilai humanisme nilai-nilai dialog dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan kasih yang pertama,” katanya.

Sementara itu, Uskup Jayapura Mgr. Yanuarius Theopilus Matopai You mengatakan bahwa gereja bersama jemaat mengalami banyak suka duka yang dialami bersama dengan masyarakat dan tinggal hidup di Papua.

“Baik masyarakat Papua maupun Non Papua diharapkan bahwa bisa hidup dalam suasana damai tetapi justru terjadi terbalik karena banyak konflik terjadi di mana-mana – mana Katakan  saja, Puncak, Maibrat, Intan Jaya, juga yang terakhir ini di Nduga terkait dengan pilot berkebangsaan Selandia Baru dan ini bukan kali ini membuat kami rasa cukup resah.

Baca Juga :  Soroti Berbagai Soal Mulai Honorer Siluman Hingga Masalah Pengangkatan Pejabat

Maka kami minta TNI/Polri dan TPNPB yang terus mau saling menyerang di mana kekuatan militer coba mau melumpuhkan  TPNPB dengan alat lengkap,  kami sangat prihatin sangat prihatin kalau memang usaha untuk pembebasan ini lakukan dengan kekerasan militer itu pasti punya akibat yang sangat besar, berdampak luas terhadap jatuhnya korban-korban masyarakat,” katanya.

Maka Uskup mengharapkan supaya masing-masing pihak untuk menahan diri dan pimpinan militer dapat menarik pasukan dan pihak TPNPB juga sama.

Sementara itu Presiden Persekutuan Gereka – Gereja Baptis West Papua (PGB – WP) Pendeta Dr Socrates S Yoman mengatakan lekerasan negara ini sudah terjadi lama hampir 60 tahun di Papua harus di hentikan.

“Kami  (Gereja – Gereja) minta kepada Presiden Joko Widodo untuk menarik seluruh pasukan dan daerah itu dikosongkan atau disterilkan memberikan ruang kepada tim negosiasi dari gereja atau pimpinan agama untuk mendekati mereka, dan seharusnya Presiden Republik Indonesia melakukan penunjukan tim negosiasi utusan khusus secara resmi untuk berkomunikasi dengan pihak TPNPB dan pemerintah Indonesia seperti kasus penyelesaian Gerakan Aceh Merdeka di Aceh. (oel/ade/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya