Sunday, April 28, 2024
30.7 C
Jayapura

Tonotwiyat Not For Sale

JAYAPURA – Sejumlah pegiat lingkungan bersama masyarakat adat dari Kampung Engros melakukan aksi demo damai untuk memperingati Hari Mangrove Sedunia yang diperingati setiap tanggal 26 Juli. Ini juga  menjadi momentum bagi kelompok peduli lingkungan di Jayapura untuk ikut menyuarakan tentang pentingnya ekosistem mangrove.

Di Jayapura lokasi ini berada di sepanjang Teluk Youtefa , hanya saja seiring waktu kondisi hutan mangrove di Teluk Youtefa  terus   mengalami tekanan yang diawali dengan bentuk penimbunan.

Di Jayapura para pegiat lingkungan di Kota Jayapura menggelar aksi demo damai di lokasi Kawasan Konservasi Hutan Bakau Pantai Hamadi, Distrik Jayapura Selatan. Ini dilakukan di lokasi yang pada 11 Juli digrebek akibat bentuk pengrusakan lahan. Emma Hamadi selaku orator aksi menyampaikan bahwa sebagai orang yang peduli, pihaknya tidak mau lagi hutan mangrove ini dijadikan sebagai lahan kepentingan.

“Tolak semua pembangunan sebab ini adalah hutan perempuan (Tonotwiyat). Hutan yang  tak boleh lagi ada aktifitas di tempat ini  apalagi dilakukan penimbunan. Kami tidak bicara siapa pemilik tanah dan siapa pemilik sertipikat namun yang diminta adalah lokasi hutan mangrove harus steril dan tetap seperti ini untuk anak cucu nanti,” katanya.

Ia meminta proses hukum ditegakkan sebagai cermin keseriusan aparat penegak hukum itu sendiri. “Kalau tidak diproses kami tidak akan percaya dengan pemerintah dan aparat hukum maupun kepolisian, tolong catat itu,” tambahnya.

Baca Juga :  Komisi I Minta Utamakan Negosiasi

Sementara Koordinator Aksi, Vhian Sada menyampaikan bahwa kelompok peduli yang tergabung dari sejumlah komunitas lingkungan di Jayapura ini meminta kawasan mangrove tetap ada dan tidak beralihfungsi. Jika sudah ditimbun maka harus dikembalikan ke kondisi awal. Ditanami.

“Hutan Mangrove Not For Sale sebab ini ‘dapur’ bukan dan tempat batu kapur,” singgungnya. Selain itu ia memastikan bahwa para pegiat lingkungan akan terus memantau perkembangan proses hukum yang sedang berjalan saat ini.

“Kami tidak mau menyoroti satu pihak yang sedang berperkara sebab kami yakin kejadian 11 Juli itu hanya satu sample dan masih banyak sample lainnya sehingga ini perlu diungkap dan dibuka secara   terang benderang. Sekali lagi hutan bakau ini pelindung bukan justru ditimbun,” cecarnya.

Dikatakan mangrove memiliki peran penting untuk mencegah abrasi pantai. Selain itu, mangrove juga menghasilkan berbagai komoditas perikanan dan kehutanan, menyaring limbah secara alami, menjadi habitat dan tempat pemijahan beberapa jenis satwa, dan mencegah intrusi air laut. Lainnya adalah ekosistem mangrove berpotensi besar dalam menyerap dan menyimpan karbon yang mengancam terjadinya perubahan iklim.

Sehingga, menjaga ekosistem mangrove sama artinya dengan mencegah terjadinya bencana alam yang dapat disebabkan oleh perubahan iklim. Disini para pegiat lingkungan juga menyampaikan pernyataan sikap yaitu pertama, meminta penyidik Dinas Kehutanan, Balai Gakkum dibantu aparat kepolisian mengusut tuntas para pelaku yang terlibat dalam pengrusakan kawasan konservasi Teluk Youtefa  dan menjadikan kasus penimbunan di kawasan konservasi yang melibatkan pelaku SR yang telah ditetapkan sebagai tersangka sebagai pintu masuk untuk merunut peta kawasan.

Baca Juga :  Dapil Pemilu 2024 Kota Jayapura Tetap Mengacu Dapil Lama

Ini penting sebab disinyalir telah muncul sertipikat di area konservasi. Kedua, meminta pemerintah kota tegas dalam pemetaan rencana tata ruang wilayah dan memastikan kawasan konservasi tak beralihfungsi. Selain itu DPR Kota perlu lebih peka dengan mengambil peran dalam melahirkan regulasi yang memproteksi kawasan konservasi.

”Status tanah lindung bisa menjadi alternative atau terobosan baru yang artinya tak hanya hutan yang dilindungi tetapi juga tanah yang berada di Kawasan  konservasi harus bisa dipastikan tidak akan diperjual belikan meskipun dilakukan oleh pemilik ulayat,” beber Vhian Sada.

Ketiga, Dinas Kehutanan, BBKSDA maupun DPR Kota harus proaktif memberikan sosialisasi dan edukasi kepada warga terutama pemilik modal usaha untuk tidak lagi menjadikan kawasan konservasi sebagai tempat usaha.

“SR bisa saja bagian dari korban karena tak paham soal status tanah tersebut,”  sambung Vhian.

Keempat, mengembalikan kondisi hutan mangrove yang dirusak seperti semula atau melakukan revitalisasi lahan.

“Lalu kasus ini diungkap secara terang benderang sebab bisa jadi ada banyak pihak yang ikut terlibat termasuk lembaga pemerintah,” tutupnya. (ade/wen)

JAYAPURA – Sejumlah pegiat lingkungan bersama masyarakat adat dari Kampung Engros melakukan aksi demo damai untuk memperingati Hari Mangrove Sedunia yang diperingati setiap tanggal 26 Juli. Ini juga  menjadi momentum bagi kelompok peduli lingkungan di Jayapura untuk ikut menyuarakan tentang pentingnya ekosistem mangrove.

Di Jayapura lokasi ini berada di sepanjang Teluk Youtefa , hanya saja seiring waktu kondisi hutan mangrove di Teluk Youtefa  terus   mengalami tekanan yang diawali dengan bentuk penimbunan.

Di Jayapura para pegiat lingkungan di Kota Jayapura menggelar aksi demo damai di lokasi Kawasan Konservasi Hutan Bakau Pantai Hamadi, Distrik Jayapura Selatan. Ini dilakukan di lokasi yang pada 11 Juli digrebek akibat bentuk pengrusakan lahan. Emma Hamadi selaku orator aksi menyampaikan bahwa sebagai orang yang peduli, pihaknya tidak mau lagi hutan mangrove ini dijadikan sebagai lahan kepentingan.

“Tolak semua pembangunan sebab ini adalah hutan perempuan (Tonotwiyat). Hutan yang  tak boleh lagi ada aktifitas di tempat ini  apalagi dilakukan penimbunan. Kami tidak bicara siapa pemilik tanah dan siapa pemilik sertipikat namun yang diminta adalah lokasi hutan mangrove harus steril dan tetap seperti ini untuk anak cucu nanti,” katanya.

Ia meminta proses hukum ditegakkan sebagai cermin keseriusan aparat penegak hukum itu sendiri. “Kalau tidak diproses kami tidak akan percaya dengan pemerintah dan aparat hukum maupun kepolisian, tolong catat itu,” tambahnya.

Baca Juga :  Dapil Pemilu 2024 Kota Jayapura Tetap Mengacu Dapil Lama

Sementara Koordinator Aksi, Vhian Sada menyampaikan bahwa kelompok peduli yang tergabung dari sejumlah komunitas lingkungan di Jayapura ini meminta kawasan mangrove tetap ada dan tidak beralihfungsi. Jika sudah ditimbun maka harus dikembalikan ke kondisi awal. Ditanami.

“Hutan Mangrove Not For Sale sebab ini ‘dapur’ bukan dan tempat batu kapur,” singgungnya. Selain itu ia memastikan bahwa para pegiat lingkungan akan terus memantau perkembangan proses hukum yang sedang berjalan saat ini.

“Kami tidak mau menyoroti satu pihak yang sedang berperkara sebab kami yakin kejadian 11 Juli itu hanya satu sample dan masih banyak sample lainnya sehingga ini perlu diungkap dan dibuka secara   terang benderang. Sekali lagi hutan bakau ini pelindung bukan justru ditimbun,” cecarnya.

Dikatakan mangrove memiliki peran penting untuk mencegah abrasi pantai. Selain itu, mangrove juga menghasilkan berbagai komoditas perikanan dan kehutanan, menyaring limbah secara alami, menjadi habitat dan tempat pemijahan beberapa jenis satwa, dan mencegah intrusi air laut. Lainnya adalah ekosistem mangrove berpotensi besar dalam menyerap dan menyimpan karbon yang mengancam terjadinya perubahan iklim.

Sehingga, menjaga ekosistem mangrove sama artinya dengan mencegah terjadinya bencana alam yang dapat disebabkan oleh perubahan iklim. Disini para pegiat lingkungan juga menyampaikan pernyataan sikap yaitu pertama, meminta penyidik Dinas Kehutanan, Balai Gakkum dibantu aparat kepolisian mengusut tuntas para pelaku yang terlibat dalam pengrusakan kawasan konservasi Teluk Youtefa  dan menjadikan kasus penimbunan di kawasan konservasi yang melibatkan pelaku SR yang telah ditetapkan sebagai tersangka sebagai pintu masuk untuk merunut peta kawasan.

Baca Juga :  Nakes Merasa Dianaktirikan

Ini penting sebab disinyalir telah muncul sertipikat di area konservasi. Kedua, meminta pemerintah kota tegas dalam pemetaan rencana tata ruang wilayah dan memastikan kawasan konservasi tak beralihfungsi. Selain itu DPR Kota perlu lebih peka dengan mengambil peran dalam melahirkan regulasi yang memproteksi kawasan konservasi.

”Status tanah lindung bisa menjadi alternative atau terobosan baru yang artinya tak hanya hutan yang dilindungi tetapi juga tanah yang berada di Kawasan  konservasi harus bisa dipastikan tidak akan diperjual belikan meskipun dilakukan oleh pemilik ulayat,” beber Vhian Sada.

Ketiga, Dinas Kehutanan, BBKSDA maupun DPR Kota harus proaktif memberikan sosialisasi dan edukasi kepada warga terutama pemilik modal usaha untuk tidak lagi menjadikan kawasan konservasi sebagai tempat usaha.

“SR bisa saja bagian dari korban karena tak paham soal status tanah tersebut,”  sambung Vhian.

Keempat, mengembalikan kondisi hutan mangrove yang dirusak seperti semula atau melakukan revitalisasi lahan.

“Lalu kasus ini diungkap secara terang benderang sebab bisa jadi ada banyak pihak yang ikut terlibat termasuk lembaga pemerintah,” tutupnya. (ade/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya