Friday, April 26, 2024
31.7 C
Jayapura

Bila Kesulitan Belajar Daring, ya Pakai Luring

*Pembelajaran Jarak Jauh Butuh Banyak Penyempurnaan

JAKARTA, Jawa Pos-Pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih perlu banyak perbaikan. Karena tidak semua daerah memiliki kemudahan yang sama untuk mengadakan PJJ. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan berbagai macam keluhan dalam PJJ fase dua. Kesulitan tak hanya dialami siswa. Namun juga guru. 

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyatakan bahwa penjadwalan jam belajar yang lama dan berbagai tugas  sekolah yang berat masih dirasakan para siswa. Sebab belum ada penyesuaian dari kurikulum 2013. ”Beban guru, siswa, dan orangtua sebagai pendamping anak belajar belum dikurangi,” katanya kemarin (26/7).

DENAR/KALTENG POS KELAS ONLINE: Murid Kelas 4 SDN-2 Marang Nabila (10) sedang belajar secara online di rumahnya, Kamis pagi (23/7).

PJJ merupakan hal baru bagi anak, orang tua maupun sekolah.  Dari survei yang dilakukan KPAI, 77,8 persen responden siswa mengeluhkan kesulitan belajar  dari rumah. Orang tua juga ikut tertekan saat mendampingi anak-anaknya melakukan PJJ secara daring. ”Beban orangtua dan anak saat PJJ dapat diringankan jika Kemdikbud segera memberlakukan kurikulum adatif yang sudah disederhanakan,” tutur Retno.

Selain itu, KPAI juga menyelenggarakan survei yang dilaksanakan pada 8 samoau14 Juni. Sampel responden anak sebanyak 25.164 orang  menunjukkan bahwa terjadi  kekerasan psikis dan fisik selama pandemi. Bentuk kekerasan fisik terhadap anak selama pandemic diantaranya dicubit, dipukul, dijewer, dijambak, ditarik, dan bahkan ada yang diinjak.  ”Sedangkan bentuk kekerasan psikis terhadap anak selama pandemic diantaranya, dimarahi, dibandingkan dengan anak lain, dibentak, dipelototi, dihina, dan diancam,” ujar Retno. 

Dia merekomendasikan agar  Kemdikbud segera sederhanakan kurikulum di semua jenjang pendidikan. Selain itu pemerintah  pusat melalui Kemninfo diminta segera membuat kebijakan pengratisan internet selama PJJ pada enam bulan ke depan. 

“Kami mendorong sekolah memetakan anak-anak yang bisa melakukan pembelajaran daring dan yang hanya bisa luring atau yang bisa luring dan daring,” ungkapnya. Sehingga sekolah menyiapkan penjadwalkan pembelajaran dan membuat modul pembelajaran untuk anak-anak yang tidak bisa daring.  Terutama untuk para siswa SMK yang membutuhkan praktek ketrampilan. 

Lalu bagaimana dengan pengalaman para guru selama PJJ kali ini? Guru SMP N 1 Nagrek Iwan A. Priyana menuturkan bahwa dalam PJJ guru dituntut harus punya inovasi. Iwan menceritakan, pada awal PJJ dia melakukan pemetaan kondisi siswa. Tertuama terkait dengan fasilitas untuk berselancar di dunia maya. ”Kebetulan dapat arahan Dinas Kabupaten Bandung untuk melakukan guru kunjung,” ungkapnya kemarin. 

Setelah pemetaan, dia punya banyak informasi kendala siswa. Salah satunya adalah soal sinyal. Di wilayahnya banyak sekali pegunungan. Selain itu ada pula permasalahan ekonomi yang menyebabkan tidak tersedianya handphone untuk anak. ”Waktu ujian, saya galang dana dan dibelikan handphone. Satu handphone digunakan bergantian,” ungkapnya. 

Untuk pembelajran biasa, Iwan membuat materi yang dibedakan berdasarkan kondisi muridnya. Ada materi untuk siswa yang daring penuh, yang kesulitan sinyal atau kuota, yang memiliki handphone tapi digunakan bersama anggota keluarga lain, dan yang tidak memiliki handphone sama sekali. Jadi dia mengkombinasikan antara pembelajaran online dan offline. 

Kesulitan juga dialami Wilfridus Kado. Guru SMK Negeri 7 Ende itu tak bisa sepenuhnya mengadakan PJJ. Sinyal di Kota yang berada di pesisir Pulau Flores, NTT, itu tak begitu bagus. Selain itu, karena kondisi ekonomi, banyak yang tak punya gawai. Akhirnya, dia harus mengunjungi murid-muridnya. 

Baca Juga :  Todd Ferre Dikontrak Tiga Musim

”Waktu ke rumah murid, mereka tidak belajar tapi membantu orang tua di kebun,” kata Frid. Dia tak bisa menyalahkan hal tersbut. Frid memaklumi bahwa anak-anak ini membantu orang tuanya yang kesulitan menjual hasil kebun sejak pandemi.

Dia merasa beruntung karena ada kebijakan pemda yang membolehkan tatap muka dua kali dalam seminggu. Satu hari untuk pelajaran umum. Satu hari digunakan pelajaran kejuruan. Menurutnya, siswa SMK harus mendapat perlakuan berbeda. Sebab mereka membutuhkan praktik. ”Saya menyarankan untuk banyak praktik di luar sekolah. Bisa seperti magang,” ungkapnya. 

PJJ juga berlaku bagi sekolah luar biasa (SLB). Guru SLB 1 Bintan Yunita Maiza jika bisa memilih, dia lebih senang untuk mengajar dengan tatap muka. ”Namanya anak luar biasa pasti diberikan perhatian khusus,” katanya. Dia menambahkan pada kondisi normal saja, dia harus memberikan atensi satu persatu kepada siswanya. Sebab kemampuan siswa berkebutuhan khusus berbada satu sama lain. ”Untuk berhitung misalnya, si A bisa menyebut bilangan 1 sampai 10. Si B bisa 1 sampai 2 saja,” imbuhnya. 

Namun sayangnya dia tak bisa memilih. Yang dia lakukan adalah membuat soal yang berbeda, disesuaikan dengan kebutuhan siswanya. Kemudian dikirimkan melalui WhatsApp ke orang tua siswa. Kalau yang tak punya handphone, maka diberi kesempatan untuk ambil soal di sekolah. ”Tapi ada yang tak ambil. Akhirnya kami ke rumahnya,” katanya. Begitu juga untuk pengumpulan tugas.  

PJJ ini menurutnya ada nilai positif. Setidaknya orang tua menghargai guru. Mendidik anak bukan soal mudah. Dia mendapati orang tua murid yang tidak sabar untuk mendidik. Ada pula yang tak tahu bagaimana mengajarkan materi ke anaknya yang kondisinya berbeda. 

Tantangan  hampir serupa dirasakan kalangan guru di Kabupaten Konawe selatan. Salah seorang guru SD di kabupaten itu kemarin bercerita kepada Jawa Pos sejumlah tantangan yang dihadapi saat mengajar. Kondisi yang paling jelas adalah dukungan infrastruktur PJJ di Konawe Selatan begitu timpang dibandingkan di Jawa.

Konawe Selatan merupakan Kabupaten yang terletak di Sulawesi Tenggara. Bertetangga dengan Kota Kendari yang menjadi ibu kota provinsi tidak membuat fasilitas PJJ di kabupaten itu tersedia secara merata. Ada beberapa kendala yang dialami guru ketika harus mengajar secara daring

Pertama adalah problem jaringan internet maupun telepon yang tidak stabil. Kadang malah putus. Kemudian, pengalaman yang dia rasakan adalah problem kepemilikan sarana belajar berupa gadget oleh para siswa. ’’Tidak banyak yang memilikinya,’’ terang guru yang mewanti-wanti agar namanya tidak dipublikasikan itu. Kalaupun punya, sangat sedikit yang paham cara berkomunikasi secara daring. Baik lewat pesan pendek maupun videocall. 

Akhirnya, pihak sekolah menyiasatinya dengan mengadakan pembelajaran secara luring (luar jaringan/offline). Dalam praktiknya, dia membagi kelas dalam dua kelompok. Di kelas lain bisa lebih banyak kelompok. Kemudian, masing-masing kelompok berkumpul di salah satu rumah anggotanya, dan guru tersebut mendatangi rumah siswa. Dia mengajar di rumah yang disepakati.

Pertemuan berlangsung secara tatap muka dua kali seminggu. Pada Senin, dia mengajar materi selama empat jam. Dia mengakui hal itu tidak bisa efektif karena waktunya sempit. ’’Jadi hanya kami jelaskan garis besarnya saja, sesuai indikator,’’ lanjutnya. Setelah diterangkan, pada akhir sesi para siswa diberi pekerjaan rumah. Mereka diberi waktu tiga hari untuk mengerjakannya, dan akan diperiksa pada pertemuan Jumat.  

Baca Juga :  Dirjen SDA Puji Progres Land Clearing Budidaya Jagung di Keerom

Di akhir tahun ajaran sebelumnya, dia sempat melaksanakan PJJ secara daring. Dari situlah baru diketahui kesulitan yang dialami. ’’Jaringan putus-putus, karena memang tidak seperti di Jawa yang jaringannya lancar,’’ tuturnya. Bila hendak belajar, harus mencari waktu yang pas. Yakni saat-saat jaringan internet sedang lancar. Akhirnya, pada tahun ajaran baru ini pihak sekolah memutuskan PJJ dilakukan secara tatap muka.

Guru tersebut berharap pemerintah lebih perhatian pada kondisi di daerah, khususnya di luar jawa. Memastikan ketersediaan fasilitas pembelajaran bagi guru dan siswa, baik secara daring maupun luring. Sehingga kualitas pembelajaran setidaknya bisa meningkat meskipun belum bisa normal.

Selain itu, dia berharap masa pandemi dimaksimalkan pemerintah untuk memperbaiki kondisi fisik sekolah. Karena saat ini gedung sekolah sedang tidak digunakan, maka pemerintah bisa lebih leluasa melaksanakan perbaikan. Untuk meningkatkan kualitas fisik dan sarana sekolah.

Sementara itu, PGRI memastikan bahwa pada prinsipnya kegiatan belajar mengajar harus tetap berlangsung. Apapun caranya. Bagi guru hebat, PJJ bisa menjadi tantangan untuk mencari cara bagaimana menyampaikan materi pendidikan kepada siswa di rumah. ’’Mereka akan belajar secara mandiri melalui berbagai media, sehingga menemukan cara-cara terbaik untuk PJJ,’’ terang Wasekjen PGRI Jejen Musfah.

Menurut dia, guru tidak akan mempermasalahkan ada tidaknya jaringan internet dalam PJJ. Bila terpaksa berlangsung dalam kondisi jaringan internet lemah atau bahkan tidak ada sama sekali, PJJ tetap bisa dilaksanakan. Lewat modal faktual yang ada di masing-masing daerah. yang terpentig, tanggung jawab mengajar siswa bisa tetap terlaksana. 

Meskipun demikian, Jejen juga mengakui masih ada guru-guru biasa yang mencari-cari alasan saat mendapatkan kesulitan dalam mengajar. Karena itu, kuncinya adalah kreatif dalam mengajar. Bila memutuskan memakai sistem daring, maka kepala sekolah wajib memastikan semua guru dan siswa memiliki dan mampu mengakses perangkat teknologi. Bila tidak, maka bisa mencari alternatif lain. 

Jejen menuturkan, di berbagai daerah masih ada guru-guru yang belum tetallu melek teknologi. PGRI melalui jaringannya di daerah berupaya memastikan proses belajar mengajar tetap bisa dilakukan. ’’Sebagian murni PJJ, sebagian tatap muka dnegan waktu yang dikurangi dan menjalankan protokol kesehatan,’’ lanjutnya. 

Yang jelas, pihaknya selalu berkoordinasi dengan jajaran di bawah untuk memastikan semua sekolah mampu menyiasati situasi yang ada. apalagi, pemerintah sudah memberikan kelenturan kurikulum dan evaluasi. Tinggal bagaimana sekolah dan para guru kreatif menjalankannya di lapangan.

Meskipun demikian, tetap masih ada aspirasi para guru yang perlu diperhatikan pemerintah. Misalnya, memberikan kelonggaran agar dana BOS bisa digunakan untuk membeli kuota internet, membayar guru honorer tanpa syarat NUPTK, dan pembelian alat-alat pendukung kesehatan di sekolah. Para guru juga berharap agar tunjangan profesi tetap diberikan di masa pandemi. Begitu pula THR dan gaji ke-13. (lyn/byu/JPG)

*Pembelajaran Jarak Jauh Butuh Banyak Penyempurnaan

JAKARTA, Jawa Pos-Pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih perlu banyak perbaikan. Karena tidak semua daerah memiliki kemudahan yang sama untuk mengadakan PJJ. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan berbagai macam keluhan dalam PJJ fase dua. Kesulitan tak hanya dialami siswa. Namun juga guru. 

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti menyatakan bahwa penjadwalan jam belajar yang lama dan berbagai tugas  sekolah yang berat masih dirasakan para siswa. Sebab belum ada penyesuaian dari kurikulum 2013. ”Beban guru, siswa, dan orangtua sebagai pendamping anak belajar belum dikurangi,” katanya kemarin (26/7).

DENAR/KALTENG POS KELAS ONLINE: Murid Kelas 4 SDN-2 Marang Nabila (10) sedang belajar secara online di rumahnya, Kamis pagi (23/7).

PJJ merupakan hal baru bagi anak, orang tua maupun sekolah.  Dari survei yang dilakukan KPAI, 77,8 persen responden siswa mengeluhkan kesulitan belajar  dari rumah. Orang tua juga ikut tertekan saat mendampingi anak-anaknya melakukan PJJ secara daring. ”Beban orangtua dan anak saat PJJ dapat diringankan jika Kemdikbud segera memberlakukan kurikulum adatif yang sudah disederhanakan,” tutur Retno.

Selain itu, KPAI juga menyelenggarakan survei yang dilaksanakan pada 8 samoau14 Juni. Sampel responden anak sebanyak 25.164 orang  menunjukkan bahwa terjadi  kekerasan psikis dan fisik selama pandemi. Bentuk kekerasan fisik terhadap anak selama pandemic diantaranya dicubit, dipukul, dijewer, dijambak, ditarik, dan bahkan ada yang diinjak.  ”Sedangkan bentuk kekerasan psikis terhadap anak selama pandemic diantaranya, dimarahi, dibandingkan dengan anak lain, dibentak, dipelototi, dihina, dan diancam,” ujar Retno. 

Dia merekomendasikan agar  Kemdikbud segera sederhanakan kurikulum di semua jenjang pendidikan. Selain itu pemerintah  pusat melalui Kemninfo diminta segera membuat kebijakan pengratisan internet selama PJJ pada enam bulan ke depan. 

“Kami mendorong sekolah memetakan anak-anak yang bisa melakukan pembelajaran daring dan yang hanya bisa luring atau yang bisa luring dan daring,” ungkapnya. Sehingga sekolah menyiapkan penjadwalkan pembelajaran dan membuat modul pembelajaran untuk anak-anak yang tidak bisa daring.  Terutama untuk para siswa SMK yang membutuhkan praktek ketrampilan. 

Lalu bagaimana dengan pengalaman para guru selama PJJ kali ini? Guru SMP N 1 Nagrek Iwan A. Priyana menuturkan bahwa dalam PJJ guru dituntut harus punya inovasi. Iwan menceritakan, pada awal PJJ dia melakukan pemetaan kondisi siswa. Tertuama terkait dengan fasilitas untuk berselancar di dunia maya. ”Kebetulan dapat arahan Dinas Kabupaten Bandung untuk melakukan guru kunjung,” ungkapnya kemarin. 

Setelah pemetaan, dia punya banyak informasi kendala siswa. Salah satunya adalah soal sinyal. Di wilayahnya banyak sekali pegunungan. Selain itu ada pula permasalahan ekonomi yang menyebabkan tidak tersedianya handphone untuk anak. ”Waktu ujian, saya galang dana dan dibelikan handphone. Satu handphone digunakan bergantian,” ungkapnya. 

Untuk pembelajran biasa, Iwan membuat materi yang dibedakan berdasarkan kondisi muridnya. Ada materi untuk siswa yang daring penuh, yang kesulitan sinyal atau kuota, yang memiliki handphone tapi digunakan bersama anggota keluarga lain, dan yang tidak memiliki handphone sama sekali. Jadi dia mengkombinasikan antara pembelajaran online dan offline. 

Kesulitan juga dialami Wilfridus Kado. Guru SMK Negeri 7 Ende itu tak bisa sepenuhnya mengadakan PJJ. Sinyal di Kota yang berada di pesisir Pulau Flores, NTT, itu tak begitu bagus. Selain itu, karena kondisi ekonomi, banyak yang tak punya gawai. Akhirnya, dia harus mengunjungi murid-muridnya. 

Baca Juga :  Pemekaran Hanya Kepentingan Elit Politik

”Waktu ke rumah murid, mereka tidak belajar tapi membantu orang tua di kebun,” kata Frid. Dia tak bisa menyalahkan hal tersbut. Frid memaklumi bahwa anak-anak ini membantu orang tuanya yang kesulitan menjual hasil kebun sejak pandemi.

Dia merasa beruntung karena ada kebijakan pemda yang membolehkan tatap muka dua kali dalam seminggu. Satu hari untuk pelajaran umum. Satu hari digunakan pelajaran kejuruan. Menurutnya, siswa SMK harus mendapat perlakuan berbeda. Sebab mereka membutuhkan praktik. ”Saya menyarankan untuk banyak praktik di luar sekolah. Bisa seperti magang,” ungkapnya. 

PJJ juga berlaku bagi sekolah luar biasa (SLB). Guru SLB 1 Bintan Yunita Maiza jika bisa memilih, dia lebih senang untuk mengajar dengan tatap muka. ”Namanya anak luar biasa pasti diberikan perhatian khusus,” katanya. Dia menambahkan pada kondisi normal saja, dia harus memberikan atensi satu persatu kepada siswanya. Sebab kemampuan siswa berkebutuhan khusus berbada satu sama lain. ”Untuk berhitung misalnya, si A bisa menyebut bilangan 1 sampai 10. Si B bisa 1 sampai 2 saja,” imbuhnya. 

Namun sayangnya dia tak bisa memilih. Yang dia lakukan adalah membuat soal yang berbeda, disesuaikan dengan kebutuhan siswanya. Kemudian dikirimkan melalui WhatsApp ke orang tua siswa. Kalau yang tak punya handphone, maka diberi kesempatan untuk ambil soal di sekolah. ”Tapi ada yang tak ambil. Akhirnya kami ke rumahnya,” katanya. Begitu juga untuk pengumpulan tugas.  

PJJ ini menurutnya ada nilai positif. Setidaknya orang tua menghargai guru. Mendidik anak bukan soal mudah. Dia mendapati orang tua murid yang tidak sabar untuk mendidik. Ada pula yang tak tahu bagaimana mengajarkan materi ke anaknya yang kondisinya berbeda. 

Tantangan  hampir serupa dirasakan kalangan guru di Kabupaten Konawe selatan. Salah seorang guru SD di kabupaten itu kemarin bercerita kepada Jawa Pos sejumlah tantangan yang dihadapi saat mengajar. Kondisi yang paling jelas adalah dukungan infrastruktur PJJ di Konawe Selatan begitu timpang dibandingkan di Jawa.

Konawe Selatan merupakan Kabupaten yang terletak di Sulawesi Tenggara. Bertetangga dengan Kota Kendari yang menjadi ibu kota provinsi tidak membuat fasilitas PJJ di kabupaten itu tersedia secara merata. Ada beberapa kendala yang dialami guru ketika harus mengajar secara daring

Pertama adalah problem jaringan internet maupun telepon yang tidak stabil. Kadang malah putus. Kemudian, pengalaman yang dia rasakan adalah problem kepemilikan sarana belajar berupa gadget oleh para siswa. ’’Tidak banyak yang memilikinya,’’ terang guru yang mewanti-wanti agar namanya tidak dipublikasikan itu. Kalaupun punya, sangat sedikit yang paham cara berkomunikasi secara daring. Baik lewat pesan pendek maupun videocall. 

Akhirnya, pihak sekolah menyiasatinya dengan mengadakan pembelajaran secara luring (luar jaringan/offline). Dalam praktiknya, dia membagi kelas dalam dua kelompok. Di kelas lain bisa lebih banyak kelompok. Kemudian, masing-masing kelompok berkumpul di salah satu rumah anggotanya, dan guru tersebut mendatangi rumah siswa. Dia mengajar di rumah yang disepakati.

Pertemuan berlangsung secara tatap muka dua kali seminggu. Pada Senin, dia mengajar materi selama empat jam. Dia mengakui hal itu tidak bisa efektif karena waktunya sempit. ’’Jadi hanya kami jelaskan garis besarnya saja, sesuai indikator,’’ lanjutnya. Setelah diterangkan, pada akhir sesi para siswa diberi pekerjaan rumah. Mereka diberi waktu tiga hari untuk mengerjakannya, dan akan diperiksa pada pertemuan Jumat.  

Baca Juga :  Konsisten Akan Bicara HAM dan  Martabat Manusia 

Di akhir tahun ajaran sebelumnya, dia sempat melaksanakan PJJ secara daring. Dari situlah baru diketahui kesulitan yang dialami. ’’Jaringan putus-putus, karena memang tidak seperti di Jawa yang jaringannya lancar,’’ tuturnya. Bila hendak belajar, harus mencari waktu yang pas. Yakni saat-saat jaringan internet sedang lancar. Akhirnya, pada tahun ajaran baru ini pihak sekolah memutuskan PJJ dilakukan secara tatap muka.

Guru tersebut berharap pemerintah lebih perhatian pada kondisi di daerah, khususnya di luar jawa. Memastikan ketersediaan fasilitas pembelajaran bagi guru dan siswa, baik secara daring maupun luring. Sehingga kualitas pembelajaran setidaknya bisa meningkat meskipun belum bisa normal.

Selain itu, dia berharap masa pandemi dimaksimalkan pemerintah untuk memperbaiki kondisi fisik sekolah. Karena saat ini gedung sekolah sedang tidak digunakan, maka pemerintah bisa lebih leluasa melaksanakan perbaikan. Untuk meningkatkan kualitas fisik dan sarana sekolah.

Sementara itu, PGRI memastikan bahwa pada prinsipnya kegiatan belajar mengajar harus tetap berlangsung. Apapun caranya. Bagi guru hebat, PJJ bisa menjadi tantangan untuk mencari cara bagaimana menyampaikan materi pendidikan kepada siswa di rumah. ’’Mereka akan belajar secara mandiri melalui berbagai media, sehingga menemukan cara-cara terbaik untuk PJJ,’’ terang Wasekjen PGRI Jejen Musfah.

Menurut dia, guru tidak akan mempermasalahkan ada tidaknya jaringan internet dalam PJJ. Bila terpaksa berlangsung dalam kondisi jaringan internet lemah atau bahkan tidak ada sama sekali, PJJ tetap bisa dilaksanakan. Lewat modal faktual yang ada di masing-masing daerah. yang terpentig, tanggung jawab mengajar siswa bisa tetap terlaksana. 

Meskipun demikian, Jejen juga mengakui masih ada guru-guru biasa yang mencari-cari alasan saat mendapatkan kesulitan dalam mengajar. Karena itu, kuncinya adalah kreatif dalam mengajar. Bila memutuskan memakai sistem daring, maka kepala sekolah wajib memastikan semua guru dan siswa memiliki dan mampu mengakses perangkat teknologi. Bila tidak, maka bisa mencari alternatif lain. 

Jejen menuturkan, di berbagai daerah masih ada guru-guru yang belum tetallu melek teknologi. PGRI melalui jaringannya di daerah berupaya memastikan proses belajar mengajar tetap bisa dilakukan. ’’Sebagian murni PJJ, sebagian tatap muka dnegan waktu yang dikurangi dan menjalankan protokol kesehatan,’’ lanjutnya. 

Yang jelas, pihaknya selalu berkoordinasi dengan jajaran di bawah untuk memastikan semua sekolah mampu menyiasati situasi yang ada. apalagi, pemerintah sudah memberikan kelenturan kurikulum dan evaluasi. Tinggal bagaimana sekolah dan para guru kreatif menjalankannya di lapangan.

Meskipun demikian, tetap masih ada aspirasi para guru yang perlu diperhatikan pemerintah. Misalnya, memberikan kelonggaran agar dana BOS bisa digunakan untuk membeli kuota internet, membayar guru honorer tanpa syarat NUPTK, dan pembelian alat-alat pendukung kesehatan di sekolah. Para guru juga berharap agar tunjangan profesi tetap diberikan di masa pandemi. Begitu pula THR dan gaji ke-13. (lyn/byu/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya