Tuesday, April 23, 2024
27.7 C
Jayapura

Dua Tersangka Anggota KNPB

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal

*Jhon Gobay: Pelanggaran Hukum yang Tersangka Harus Dibuktikan

JAYAPURA- Kepolisian Daerah (Polda) Papua menyebut, dua dari tujuh orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam aksi unjuk rasa anarkis di Expo Waena, Senin (23/9) lalu merupakan anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Keduanya berinisial AA dan AD.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal menerangkan, ketujuh tersangka saat ini masih  dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik Polda Papua.

Menurut Kamal, ketujuh orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Selasa (24/9)  masih dilakukan pemeriksaan dan pendalaman. Dari penjelasan saksi dan keterangan tersangka, aksi unjuk rasa pada 23 September ada keterkaitan dengan pihak lain.

“Kita akan melakukan pengejaran terhadap  nama-nama yang disebut oleh tersangka ataupun saksi itu sendiri,” jelas Kamal kepada wartawan di Media Center Polda Papua, Rabu (25/9).

Dikatakan, strategi yang dibangun oleh KNPB menciptakan situasi dan kondisi Papua yang  tidak kondusif. Sebagaimana diketahui ketika terjadi negosiasi di kampus Universitas Cenderawasih saat itu, tidak terjadi apa-apa. Bahkan mahasiswa meminta untuk diantar ke Expo dan Polisi langsung mengantar mahasiswa.

“Namun setelah kami antar  ke Expo, itulah  perencanaan mereka yang  disiapkan untuk membuat suasana dengan melakukan penganiayaan dan pengeroyokan terhadap anggota TNI-Polri hingga menyebabkan satu anggota TNI gugur,” paparnya.

Sebelumnya dari data Kepolisian, menetapkan tujuh dari 733 orang sebagai tersangka terkait aksi penganiayaan terhadap aparat keamanan TNI dan Polri di Ekspo Waena dalam aksi unjuk rasa, Senin (23/9). Dimana dalam penganiayaan tersebut menyebabkan satu anggota TNI bernama Praka Zulkifli gugur.

Adapun tujuh orang berinisial AA, AD, YW, JK, YK, YB dan MK ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik melakukan pemeriksaan intensif.

Secara terpisah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai dengan diamankannya 733 orang massa demo oleh Polda Papua merupakan tindakan terukur, Senin (23/9) lalu.

Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey mengatakan, dari hasil investigasi Komnas HAM terhadap 733 massa aksi yang diamankan oleh Polda Papua, paling tidak memutus meluasnya aksi saling serang antara peserta demo dengan kelompok lain.

Baca Juga :  Sebelum Tewas, Pernah Melakukan Percobaan Bunuh Diri Dua Kali

“Tindakan kepolisian untuk mengamankan ratusan aksi massa ini tindakan yang tepat untuk memutus meluasnya  aksi kekerasan,” tegas Frits.

Komnas HAM sendiri menemukan adanya upaya membangun Posko untuk mendata mahasiswa yang eksodus. Namun pembangunan Posko ini sedikit bernuansa provokatif. Misalkan mau buka di kampus dan lain sebagainya  ini yang tidak boleh.

“Dari hasil investigasi Komnas HAM, ratusan massa pendemo yang diamankan, Senin (23/9) dan dikembalikan, Selasa (24/9) ada yang menjadi korban. Mereka sudah mendapatkan perawatan medis,” pungkasnya. 

Sementara itu, anggota DPR Papua, John Gobay meminta aparat Kepolisian di Papua untuk tidak mengkriminalisasi para pendemo saat menyuarakan soal rasisme di Papua. 

John Gobay meminta Kapolda Papua agar dapat membebaskan  massa yang ditahan, jika mereka tidak terbukti. 

“Jangan sampai ada kriminalisasi dengan kasus lain bagi massa yang ditahan. Karena itu kami minta kepada Kapolda Papua dan Dansat Brimob  untuk dapat membebaskan mereka yang sedang ditahan,” tuturnya kepada Cenderawasih Pos, Rabu (25/9).

John mengatakan, sesuai aturan hukum yang tercantum dalam KUHP, massa yang diamankan akan diperiksa 1 x 24 jam. Apabila dalam pemeriksaan tersebut tidak terbuktikan maka mereka harus dibebaskan. Selain itu bagi mereka yang ditahan karena kasus kerusuhan dan para aktifis  harus dibebaskan.

“Sesuai KUHAP, jika mereka tidak dapat dibuktikan maka tidak dapat ditahan. Bukti pelangaran yang dilakukan pendemo dan massa mahasiswa harus dibuktikan dengan baik dan terbuka,” tuturnya. 

Dirinya juga meminta agar tidak ada intimidasi terhadap para massa pendemo dan mahasiawa yang ditahan. Karena dalam KUHP mereka berhak medapat pembelaan dari pengacara,  bantuan medis, kunjungan keluarga dan lainnya. 

“Aparat juga diharapkan tidak melakukan intimidasi bagi para massa. Karena orang Papua hari ini ada dalam kondisi duka dan menjadi korban,” pungkasnya.

Secara terpisah, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua  (PGBP)  Gembala Dr. Socratez S. Yoman mengatakan, proses penanganan pelaku kasus demonstrasi anarkis di beberapa tempat di Papua sangat tidak adil.

Pasalnya menurut Socratez, masyarakat yang melakukan aksi sweping hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa tidak ditangkap. 

Baca Juga :  Fokuskan Pelantikan DOB dan Pembentukan OPD

Oleh sebab itu, Socratez atas nama gereja meminta

kepada penguasa dan aparat TNI-Polri juga menangkap warga yang melakukan aksi sweping hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. 

“Mengapa aparat TNI-Polri tidak menangkap para pelaku kejahatan dan pembunuhan  terhadap orang asli Papua,” ucapnya. 

Dirinya juga mempertanyakan, tindakan aparat keamanan yang mengejar, menangkap, mengkriminalisasi dan memenjarakan pemimpin dan pejuang keadilan,   perdamaian,  para mahasiswa dan rakyat Papua yang menentang rasisme.

“Sebaliknya para pejuang keadilan, perdamaian, hak hidup dan kesamaan derajat dan demo damai yang melawan rasisme ditangkap, disiksa, dipenjarakan dan ditembak mati,” ucapnya.

Socratez menyebutkan aksi demo damai yang dilakukan tanggal 19 Agustus, 29-31 Agustus, demo damai mahasiswa eksodus  pada 23 September di Jayapura serta demo damai siswa SMP dan SMA di Wamena, 23 September 2019, merupakan aksi untuk menentang rasisme. “Rasisme  telah menjadi musuh utama dan musuh bersama rakyat Papua, Indonesia dan komunitas Internasional. Karena itu, penguasa Indonesia dan aparat TNI-Polri yang berwatak dan berjiwa rasis harus dilawan,” tutupnya. 

Sementara itu, Kepala RS Bhayangkara Jayapura, AKBP. dr. Heri Budiono, Sp.U mengatakan bahwa sejumlah korban yang dirawat di RS Bhayangkara pasca aksi di Waena dua hari lalu sebagian besar sudah dipulangkan.

“Untuk korban luka-luka yang berjumlah 24 orang yang merupakan masyarakat, sudah kita pulangkan sebanyak 21 orang. Hari ini sisanya 3 orang lagi,” ungkap dr. Heri Budiono saat dihubungi Cenderawasih Pos via ponselnya, Rabu (25/9).

Diakuinya, sebagian besar korban yang 21 orang tersebut hanya mengalami luka ringan sehingga pemulihanya tidak membutuhkan waktu yang lama.

Sedangkan untuk 4 anggota Brimob asal Sumatera Utara yang merupakan korban luka-luka menurutnya sampai saat ini masih menjalani perawatan di RS Bhayangkara.

“Dari 6 anggota brimob yang luka-luka, 2 orang sudah pulang beberapa hari lalu. Tinggal 4 orang yang masih dirawat,” tuturnya. 

Selain korban luka, dalam kejadian di Expo Waena terdapat lima orang meninggal dunia yang terdiri dari 1 anggota TNI dan 4 masyarakat/massa. “Jenazah semua sudah dipulangkan. Rata-rata korban yang meninggal ini akibat luka benda tajam dan tumpul,” pungkasnya. (fia/oel/kim/nat)

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal

*Jhon Gobay: Pelanggaran Hukum yang Tersangka Harus Dibuktikan

JAYAPURA- Kepolisian Daerah (Polda) Papua menyebut, dua dari tujuh orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam aksi unjuk rasa anarkis di Expo Waena, Senin (23/9) lalu merupakan anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Keduanya berinisial AA dan AD.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol AM Kamal menerangkan, ketujuh tersangka saat ini masih  dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik Polda Papua.

Menurut Kamal, ketujuh orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Selasa (24/9)  masih dilakukan pemeriksaan dan pendalaman. Dari penjelasan saksi dan keterangan tersangka, aksi unjuk rasa pada 23 September ada keterkaitan dengan pihak lain.

“Kita akan melakukan pengejaran terhadap  nama-nama yang disebut oleh tersangka ataupun saksi itu sendiri,” jelas Kamal kepada wartawan di Media Center Polda Papua, Rabu (25/9).

Dikatakan, strategi yang dibangun oleh KNPB menciptakan situasi dan kondisi Papua yang  tidak kondusif. Sebagaimana diketahui ketika terjadi negosiasi di kampus Universitas Cenderawasih saat itu, tidak terjadi apa-apa. Bahkan mahasiswa meminta untuk diantar ke Expo dan Polisi langsung mengantar mahasiswa.

“Namun setelah kami antar  ke Expo, itulah  perencanaan mereka yang  disiapkan untuk membuat suasana dengan melakukan penganiayaan dan pengeroyokan terhadap anggota TNI-Polri hingga menyebabkan satu anggota TNI gugur,” paparnya.

Sebelumnya dari data Kepolisian, menetapkan tujuh dari 733 orang sebagai tersangka terkait aksi penganiayaan terhadap aparat keamanan TNI dan Polri di Ekspo Waena dalam aksi unjuk rasa, Senin (23/9). Dimana dalam penganiayaan tersebut menyebabkan satu anggota TNI bernama Praka Zulkifli gugur.

Adapun tujuh orang berinisial AA, AD, YW, JK, YK, YB dan MK ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik melakukan pemeriksaan intensif.

Secara terpisah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai dengan diamankannya 733 orang massa demo oleh Polda Papua merupakan tindakan terukur, Senin (23/9) lalu.

Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey mengatakan, dari hasil investigasi Komnas HAM terhadap 733 massa aksi yang diamankan oleh Polda Papua, paling tidak memutus meluasnya aksi saling serang antara peserta demo dengan kelompok lain.

Baca Juga :  APBD Perubahan Lanny Jaya Tahun 2020 Mulai Disidangkan

“Tindakan kepolisian untuk mengamankan ratusan aksi massa ini tindakan yang tepat untuk memutus meluasnya  aksi kekerasan,” tegas Frits.

Komnas HAM sendiri menemukan adanya upaya membangun Posko untuk mendata mahasiswa yang eksodus. Namun pembangunan Posko ini sedikit bernuansa provokatif. Misalkan mau buka di kampus dan lain sebagainya  ini yang tidak boleh.

“Dari hasil investigasi Komnas HAM, ratusan massa pendemo yang diamankan, Senin (23/9) dan dikembalikan, Selasa (24/9) ada yang menjadi korban. Mereka sudah mendapatkan perawatan medis,” pungkasnya. 

Sementara itu, anggota DPR Papua, John Gobay meminta aparat Kepolisian di Papua untuk tidak mengkriminalisasi para pendemo saat menyuarakan soal rasisme di Papua. 

John Gobay meminta Kapolda Papua agar dapat membebaskan  massa yang ditahan, jika mereka tidak terbukti. 

“Jangan sampai ada kriminalisasi dengan kasus lain bagi massa yang ditahan. Karena itu kami minta kepada Kapolda Papua dan Dansat Brimob  untuk dapat membebaskan mereka yang sedang ditahan,” tuturnya kepada Cenderawasih Pos, Rabu (25/9).

John mengatakan, sesuai aturan hukum yang tercantum dalam KUHP, massa yang diamankan akan diperiksa 1 x 24 jam. Apabila dalam pemeriksaan tersebut tidak terbuktikan maka mereka harus dibebaskan. Selain itu bagi mereka yang ditahan karena kasus kerusuhan dan para aktifis  harus dibebaskan.

“Sesuai KUHAP, jika mereka tidak dapat dibuktikan maka tidak dapat ditahan. Bukti pelangaran yang dilakukan pendemo dan massa mahasiswa harus dibuktikan dengan baik dan terbuka,” tuturnya. 

Dirinya juga meminta agar tidak ada intimidasi terhadap para massa pendemo dan mahasiawa yang ditahan. Karena dalam KUHP mereka berhak medapat pembelaan dari pengacara,  bantuan medis, kunjungan keluarga dan lainnya. 

“Aparat juga diharapkan tidak melakukan intimidasi bagi para massa. Karena orang Papua hari ini ada dalam kondisi duka dan menjadi korban,” pungkasnya.

Secara terpisah, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua  (PGBP)  Gembala Dr. Socratez S. Yoman mengatakan, proses penanganan pelaku kasus demonstrasi anarkis di beberapa tempat di Papua sangat tidak adil.

Pasalnya menurut Socratez, masyarakat yang melakukan aksi sweping hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa tidak ditangkap. 

Baca Juga :  Anggota TNI Ditikam 4 Pemuda

Oleh sebab itu, Socratez atas nama gereja meminta

kepada penguasa dan aparat TNI-Polri juga menangkap warga yang melakukan aksi sweping hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. 

“Mengapa aparat TNI-Polri tidak menangkap para pelaku kejahatan dan pembunuhan  terhadap orang asli Papua,” ucapnya. 

Dirinya juga mempertanyakan, tindakan aparat keamanan yang mengejar, menangkap, mengkriminalisasi dan memenjarakan pemimpin dan pejuang keadilan,   perdamaian,  para mahasiswa dan rakyat Papua yang menentang rasisme.

“Sebaliknya para pejuang keadilan, perdamaian, hak hidup dan kesamaan derajat dan demo damai yang melawan rasisme ditangkap, disiksa, dipenjarakan dan ditembak mati,” ucapnya.

Socratez menyebutkan aksi demo damai yang dilakukan tanggal 19 Agustus, 29-31 Agustus, demo damai mahasiswa eksodus  pada 23 September di Jayapura serta demo damai siswa SMP dan SMA di Wamena, 23 September 2019, merupakan aksi untuk menentang rasisme. “Rasisme  telah menjadi musuh utama dan musuh bersama rakyat Papua, Indonesia dan komunitas Internasional. Karena itu, penguasa Indonesia dan aparat TNI-Polri yang berwatak dan berjiwa rasis harus dilawan,” tutupnya. 

Sementara itu, Kepala RS Bhayangkara Jayapura, AKBP. dr. Heri Budiono, Sp.U mengatakan bahwa sejumlah korban yang dirawat di RS Bhayangkara pasca aksi di Waena dua hari lalu sebagian besar sudah dipulangkan.

“Untuk korban luka-luka yang berjumlah 24 orang yang merupakan masyarakat, sudah kita pulangkan sebanyak 21 orang. Hari ini sisanya 3 orang lagi,” ungkap dr. Heri Budiono saat dihubungi Cenderawasih Pos via ponselnya, Rabu (25/9).

Diakuinya, sebagian besar korban yang 21 orang tersebut hanya mengalami luka ringan sehingga pemulihanya tidak membutuhkan waktu yang lama.

Sedangkan untuk 4 anggota Brimob asal Sumatera Utara yang merupakan korban luka-luka menurutnya sampai saat ini masih menjalani perawatan di RS Bhayangkara.

“Dari 6 anggota brimob yang luka-luka, 2 orang sudah pulang beberapa hari lalu. Tinggal 4 orang yang masih dirawat,” tuturnya. 

Selain korban luka, dalam kejadian di Expo Waena terdapat lima orang meninggal dunia yang terdiri dari 1 anggota TNI dan 4 masyarakat/massa. “Jenazah semua sudah dipulangkan. Rata-rata korban yang meninggal ini akibat luka benda tajam dan tumpul,” pungkasnya. (fia/oel/kim/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya