Monday, April 29, 2024
25.7 C
Jayapura

Masyarakat Sipil Nduga Kini Dijadikan Tameng

JAYAPURA-Salah satu akademisi Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung berpendapat bahwa dari analisanya terkait upaya pembebasan pilot Susi Air, Philip Mark Merthenz yang kini dijadikan sandera oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya nampaknya ada scenario lain dibalik ini. 

Dalam pandangan Dosen ini, bukan simpati dan empati yang didapat melainkan kecaman dan penolakan masyarakat internasional terhadap aksi penyanderaan kelompok Egianus Kogoya tersebut.

Kata Yaung yang harus dipahami adalah masyarakat internasional adalah masyarakat logis dan ilmiah. Komunitas yang paham dengan baik aturan main dalam konflik dan perang yang sudah diatur oleh hukum perang internasional.

Karenanya menjadikan masyarakat sipil atau pekerja kemanusian sebagai sandera atau alat propaganda dan alat politik para pihak yang berkonflik adalah pelanggaran serius terhadap hukum internasional konvensi Den Haag 1907 dan konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahan keempatnya. “Ini ketentuan hukum internasional yang tidak bisa diabaikan atau tidak diindahkan,”  kata Yaung, Senin (24/4).

Baca Juga :  Pengurus ULD Papua Dilantik, Bakal Populerkan Line Dance ke Setiap Sekolah

  Menurut dosen Fisip Uncen ini,  yang perlu dicermati,  KKB mengorbankan masyarakat sipil di Distrik Mugi, dan sebagian dari Distrik Paro termasuk dan kampung – kampung sekitarnya dimobilisasi untuk menyerang aparat keamanan TNI di Pos keamanan Distrik Mugi. Kurang lebih terdapat 36 anggota TNI dari kesatuan Kostrad dan Kopassus yang bertugas di pos tersebut.

“Saya melihat masyarakat sipil Nduga kini dijadikan tameng. Masyarakat sipil di Mugi, terutama perempuan dan anak – anak, dikerahkan dan bergerak dari berbagai sisi untuk menyerang aparat keamanan,” ungkapnya Dosen ini.

Aparat keamanan TNI tidak merespon situasi dilema seperti ini karena ada anak – anak dan perempuan. “Prinsip TNI To kill or to be killed  akhirnya menjadi ragu – ragu untuk ditegakkan. Kalau doktrin to kill or to be killed ditegakkan atau di kedepankan, maka yang terjadi adalah pembantaian,” tambahnya.

Baca Juga :  Pemerintah Provinsi Papua Raih Penghargaan Bhumandala Nawasena 2022

Ia khawatir politik mengedepankan masyarakat sipil untuk bertarung dengan aparat keamanan ini akan menjadi insiden berdarah di Mugi, Nduga.(jo/oel/ade/wen)

JAYAPURA-Salah satu akademisi Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung berpendapat bahwa dari analisanya terkait upaya pembebasan pilot Susi Air, Philip Mark Merthenz yang kini dijadikan sandera oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya nampaknya ada scenario lain dibalik ini. 

Dalam pandangan Dosen ini, bukan simpati dan empati yang didapat melainkan kecaman dan penolakan masyarakat internasional terhadap aksi penyanderaan kelompok Egianus Kogoya tersebut.

Kata Yaung yang harus dipahami adalah masyarakat internasional adalah masyarakat logis dan ilmiah. Komunitas yang paham dengan baik aturan main dalam konflik dan perang yang sudah diatur oleh hukum perang internasional.

Karenanya menjadikan masyarakat sipil atau pekerja kemanusian sebagai sandera atau alat propaganda dan alat politik para pihak yang berkonflik adalah pelanggaran serius terhadap hukum internasional konvensi Den Haag 1907 dan konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahan keempatnya. “Ini ketentuan hukum internasional yang tidak bisa diabaikan atau tidak diindahkan,”  kata Yaung, Senin (24/4).

Baca Juga :  Penggunaan Keuangan Harus Taat Aturan

  Menurut dosen Fisip Uncen ini,  yang perlu dicermati,  KKB mengorbankan masyarakat sipil di Distrik Mugi, dan sebagian dari Distrik Paro termasuk dan kampung – kampung sekitarnya dimobilisasi untuk menyerang aparat keamanan TNI di Pos keamanan Distrik Mugi. Kurang lebih terdapat 36 anggota TNI dari kesatuan Kostrad dan Kopassus yang bertugas di pos tersebut.

“Saya melihat masyarakat sipil Nduga kini dijadikan tameng. Masyarakat sipil di Mugi, terutama perempuan dan anak – anak, dikerahkan dan bergerak dari berbagai sisi untuk menyerang aparat keamanan,” ungkapnya Dosen ini.

Aparat keamanan TNI tidak merespon situasi dilema seperti ini karena ada anak – anak dan perempuan. “Prinsip TNI To kill or to be killed  akhirnya menjadi ragu – ragu untuk ditegakkan. Kalau doktrin to kill or to be killed ditegakkan atau di kedepankan, maka yang terjadi adalah pembantaian,” tambahnya.

Baca Juga :  Akhir Pekan, Tambah 113 Kasus Positif Covid-19

Ia khawatir politik mengedepankan masyarakat sipil untuk bertarung dengan aparat keamanan ini akan menjadi insiden berdarah di Mugi, Nduga.(jo/oel/ade/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya