Friday, April 26, 2024
32.7 C
Jayapura

Ubah Pendekatan, Kekerasan Tak Boleh Direspon Dengan Kekerasan

JAYAPURA – Kontak senjata yang berulang di Pegunungan Bintang tepatnya di Distrik Kiwirok, berawal dari penyerangan terhadap Puskesmas hingga terbunuhnya seorang Tenaga Kesehatan (Nakes) pada September 2021 lalu.

Dari peristiwa September itu, kontak tembak masih terjadi hingga saat ini di Kiwirok. Beberapa aparat tewas dan terluka, hingga penebalan pasukanpun dilakukan di daerah yang dulunya dianggap aman dan damai itu.

 Kepala Komnas HAM Papua Fritas Ramandey menyampaikan, melihat pola kekerasan yang terjadi di Pegunungan Biantang, tidak berbeda jauh dengan pola kekerasan yang terjadi di beberapa tempat seperti Nduga dan Intan Jaya.

“Pola kekerasannya berulang memberi pesan secara matematis, kita bisa menghitung berapa jumlah kelompok ini, senjata dan peluru yang digunakan. Kita bisa melihat pola pendekatan untuk mengurangi potensi kelompok yang melakukan kekerasan,” kata Frits.

Terkait dengan kontak senjata yang terjadi di Pegunungan Bintang ini kata Frits, harus belajar dari kasus Nduga dan Intan Jaya untuk kemudian aparat melakukan pendekatan yang lebih soft ( lembut).

Dikatakan Frits, dalam prespektif HAM. Komnas mengingatkan, kasus kekerasan tidak boleh direspon dengan kekerasan. Pendekatannya harus diubah menggunakan pendekatan multi pihak.

Baca Juga :  Buktar: Kami Tidak Deklarasi, Aparat Sengaja Bikin Pengalian Isu 

“Polisi harus dikedepankan untuk penegakan hukum, selain pendekatan hukum pendekatan dialogis dan pendekatan komunikasi harus menggunakan pihak lain. Otoritas sipil punya otoritas yang cukup untuk melakukan pendekatan, otoritas sipil bisa memetakan siapa yang melakukan aksi di daerah tersebut dan siapa pimpinan yang ada di daerah tersebut,” jelas Frits.

Pendekatan lainnya lanjut Frits, yakni pendekatan kultural untuk mengatakan kepada pihak yang bertikai ada wilayah adat yang tidak boleh diganggu. Selain itu, menanyakan kepada Kelompok Sipil Bersenjata apa yang diiginkan, apakah kesejahteraan atau ketidakpuasan. Dan yang bisa merespon itu adalah otoritas sipil agar bisa berbicara dengan kelompok ini.

“Dalam prespektif HAM, kekerasan selalu direspon dalam penegakan hukum dan itu membuat banyak penderitaan,” kata Frits.

Frits mengingatkan Kelompol Sipil Bersenjata harus patuh pada komando perintah yang dikeluarkan oleh pimpinannya, misalnya Demianus, Goliath Tabuni dan lainnya. Mereka ini pemimpin kelompok sipil bersenjata dalam perspektif TPNPB. Jadi, satuan ini tidak boleh melakukan aksi-aksi kekerasan di luar perintah pimpinannya.

“Para pimpinan TPNPB sudah berulang kali mengatakan mau melakukan perjuangan damai, lalu kemudian Polda sendiri sudah merubah pendekatan dengan sandi Cartenz Damai. Pendekatan Cartenz Damai ini harus diletakkan kepada memberi dukungan kepada penyelenggaraan pemerintahan. Saya setuju dengan penyampaian Kapolda, mereka tidak akan melakukan pengejaran dan ini penting,” tuturnya.

Baca Juga :  Trauma Kerusuhan 2019, Aktivitas Perekonomian Lumpuh

Selain itu lanjut Frits, kehadiran kepala daerah di tempat menjadi penting untuk bagaimana menangani situasi di daerahnya masing masing. Bila perlu kata Frits, Menteri Dalam Negeri perlu menertibkan para Kepala Daerah. “Yang paling penting adalah, Gubernur harus mengawasi insiden insiden seperti ini,” tegasnya.

Terkait kontak senjata di Papua kata Frits, pihaknya sudah beberapa kali bertemu dengan pimpinan TPNPB termasuk mendatangi markas mereka. Namun, untuk wilayah pegunungan bintang sendiri, Frits mengaku belum pernah melakukan pertemuan atau komunikasi.

Lanjut Frits, sebagai lembaga indenpenden. Komnas punya komitmen untuk berkomunikasi dengan pihak lain termasuk dengan kelompok ini.

“Komnas punya kepentingan untuk mendengarkan dari mereka, saya berharap bisa berkomunikasi dengan kelompok sipil bersenjata yang ada di Pegubing. Kepentingan Komnas adalah untuk melakukan ferivikasi dan mendengar penyampaian mereka,” tuturnya.

Frits menegaskan, pertemuan Komnas dengan kelompok ini bukan berarti mendukung kelompok ini. Tapi bagaimana Komnas HAM melaksanakan fungsi mediasi dengan harapan konflik tidak berkepanjangan. (fia)

JAYAPURA – Kontak senjata yang berulang di Pegunungan Bintang tepatnya di Distrik Kiwirok, berawal dari penyerangan terhadap Puskesmas hingga terbunuhnya seorang Tenaga Kesehatan (Nakes) pada September 2021 lalu.

Dari peristiwa September itu, kontak tembak masih terjadi hingga saat ini di Kiwirok. Beberapa aparat tewas dan terluka, hingga penebalan pasukanpun dilakukan di daerah yang dulunya dianggap aman dan damai itu.

 Kepala Komnas HAM Papua Fritas Ramandey menyampaikan, melihat pola kekerasan yang terjadi di Pegunungan Biantang, tidak berbeda jauh dengan pola kekerasan yang terjadi di beberapa tempat seperti Nduga dan Intan Jaya.

“Pola kekerasannya berulang memberi pesan secara matematis, kita bisa menghitung berapa jumlah kelompok ini, senjata dan peluru yang digunakan. Kita bisa melihat pola pendekatan untuk mengurangi potensi kelompok yang melakukan kekerasan,” kata Frits.

Terkait dengan kontak senjata yang terjadi di Pegunungan Bintang ini kata Frits, harus belajar dari kasus Nduga dan Intan Jaya untuk kemudian aparat melakukan pendekatan yang lebih soft ( lembut).

Dikatakan Frits, dalam prespektif HAM. Komnas mengingatkan, kasus kekerasan tidak boleh direspon dengan kekerasan. Pendekatannya harus diubah menggunakan pendekatan multi pihak.

Baca Juga :  Pendemo Bubarkan Diri Setelah Diimbau Polisi

“Polisi harus dikedepankan untuk penegakan hukum, selain pendekatan hukum pendekatan dialogis dan pendekatan komunikasi harus menggunakan pihak lain. Otoritas sipil punya otoritas yang cukup untuk melakukan pendekatan, otoritas sipil bisa memetakan siapa yang melakukan aksi di daerah tersebut dan siapa pimpinan yang ada di daerah tersebut,” jelas Frits.

Pendekatan lainnya lanjut Frits, yakni pendekatan kultural untuk mengatakan kepada pihak yang bertikai ada wilayah adat yang tidak boleh diganggu. Selain itu, menanyakan kepada Kelompok Sipil Bersenjata apa yang diiginkan, apakah kesejahteraan atau ketidakpuasan. Dan yang bisa merespon itu adalah otoritas sipil agar bisa berbicara dengan kelompok ini.

“Dalam prespektif HAM, kekerasan selalu direspon dalam penegakan hukum dan itu membuat banyak penderitaan,” kata Frits.

Frits mengingatkan Kelompol Sipil Bersenjata harus patuh pada komando perintah yang dikeluarkan oleh pimpinannya, misalnya Demianus, Goliath Tabuni dan lainnya. Mereka ini pemimpin kelompok sipil bersenjata dalam perspektif TPNPB. Jadi, satuan ini tidak boleh melakukan aksi-aksi kekerasan di luar perintah pimpinannya.

“Para pimpinan TPNPB sudah berulang kali mengatakan mau melakukan perjuangan damai, lalu kemudian Polda sendiri sudah merubah pendekatan dengan sandi Cartenz Damai. Pendekatan Cartenz Damai ini harus diletakkan kepada memberi dukungan kepada penyelenggaraan pemerintahan. Saya setuju dengan penyampaian Kapolda, mereka tidak akan melakukan pengejaran dan ini penting,” tuturnya.

Baca Juga :  Tetap Bahas DOB Papua, MRP Sayangkan Sikap Pemerintah

Selain itu lanjut Frits, kehadiran kepala daerah di tempat menjadi penting untuk bagaimana menangani situasi di daerahnya masing masing. Bila perlu kata Frits, Menteri Dalam Negeri perlu menertibkan para Kepala Daerah. “Yang paling penting adalah, Gubernur harus mengawasi insiden insiden seperti ini,” tegasnya.

Terkait kontak senjata di Papua kata Frits, pihaknya sudah beberapa kali bertemu dengan pimpinan TPNPB termasuk mendatangi markas mereka. Namun, untuk wilayah pegunungan bintang sendiri, Frits mengaku belum pernah melakukan pertemuan atau komunikasi.

Lanjut Frits, sebagai lembaga indenpenden. Komnas punya komitmen untuk berkomunikasi dengan pihak lain termasuk dengan kelompok ini.

“Komnas punya kepentingan untuk mendengarkan dari mereka, saya berharap bisa berkomunikasi dengan kelompok sipil bersenjata yang ada di Pegubing. Kepentingan Komnas adalah untuk melakukan ferivikasi dan mendengar penyampaian mereka,” tuturnya.

Frits menegaskan, pertemuan Komnas dengan kelompok ini bukan berarti mendukung kelompok ini. Tapi bagaimana Komnas HAM melaksanakan fungsi mediasi dengan harapan konflik tidak berkepanjangan. (fia)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya