Untuk kelancaran proses transfer dan penanganan pasien maka perlu adanya komunikasi antara faskes asal dan penerima, hal ini untuk memberi kepastian terutama bagi pasien agar pasien dirujuk ke faskes tersebut harus segera tertangani (jika kondisi pasien dalam keadaan gawat darurat = harus segera ditolong jika tidak maka berisiko mengancam nyawa pasien), kondisi gawat darurat ini juga berlaku untuk pasien yang datang sendiri.
“Terkadang komunikasi yang tidak clear antara faskes asal dan faskes tujuan menjadi awal kekacauan penanganan pasien. Komunikasi yang buruk adalah faktor tertinggi asal mula lahirnya suatu keluhan maupun sengketa antara pasien atau keluarga dengan pihak faskes,” tambahnya. Hal ini dikatakan bisa direduksi melalui kepastian bahwa faskes perujuk siap untuk mengantar pasien dan faskes yang dituju siap menerima pasien baik kesiapan tenaga medis dan kesehatan lain, alat medis, obat-obatan serta ruangan yang diperlukan.
Lalu ketidaksanggupan faskes yang dituju tentunya dapat menjadi pertimbangan untuk tidak merujuk pasien ke faskes tersebut. Kedua, kondisi pasien yang akan dirujuk harus dapat dipastikan aman dan stabil selama proses transfer. Kondisi pasien, jarak, kesiapan peralatan atau alat bantu darurat, tenaga kesehatan pendamping dan mobil ambulans harus benar – benar siap dan aman. Penundaan proses transfer pasien dapat ditunda apabila kondisi pasien tidak stabil, ketidaksiapan tenaga medis pendamping, keterbatasan obat dan alat medis ataupun kendala pada mobil ambulans termasuk sopirnya.
Petugas medis pendamping pasien harus mampu melakukan bantuan segera selama dalam proses transfer apabila kondisi pasien mengancam jiwa pasien. Hal ini ditunjang dengan adanya kompetensi tenaga medis pendamping, sesuai dengan peraturan standar operasional prosedur ( SOP ) yang berlaku, dalam memberikan pertolongan darurat baik dasar maupun lanjut. “Kompetensi ini juga berlaku bagi faskes penerima pasien,” tambah Sege.
Ketiga, Edukasi petugas faskes asal dan penerima terkait kondisi pasien, situasi terburuk yang dapat terjadi selama proses transfer dan situasi faskes penerima harus dipahami oleh pasien atau keluarga dan didokumentasikan dalam suatu lembar catatan. Pertimbangan etika moril dan budaya dapat menjadi dasar edukasi tersebut. Keempat, empati atau kepedulian petugas adalah pilar yang cukup penting guna membangun rasa nyaman pasien atau keluarga.
“Saya melihat kepedulian petugas yang tulus dapat memberikan rasa tenang ditengah situasi kepanikan yang dialami oleh pasien dan keluarga. Empati cukup dengan sebuah senyum yang tulus adalah obat mujarab,” paparnya. “Dari keempat hal diatas, mari kita renungkan bersama, mana yang perlu kita dalami, rasakan dan lakukan. Tentunya keempat hal diatas dapat kita bingkai dengan pigura yang indah dan kokoh berbahan doa kepada Allah Yang Maha Kuasa,” tutup Marthen Sege.