Karena itu kata Frits Densus 88 perlu segera mengungkapkan kasus tersebut. Pasalnya jika ini tak segera diungkap maka akan memunculkan kesan jika aparat tidak mampu menangani kasus teror di tengah kota dan akhirnya membiarkan kekerasan terus terjadi. Apalagi dikatakan kasus yang dialami Jubi maupun awak media Jubi bukan kali ini saja melainkan sudah beberapa kali dan belum satupun yang berhasil diungkap.
Sebaliknya apabila ini berhasil diungkap maka akan menumbuhkan trust bagi masyarakat dan menganggap aparat masih bisa diandalkan untuk mengungkap kasus – kasus teror. “Kejadian ini sudah satu bulan, Densus 88 kita adalah satu-satunya unit kepolisian yang berpengalaman untuk mengungkap dan menangani kasus semacam dan kami berharap ini betul bisa diungkapkan,” tambahnya.
Frits khawatir jika tidak diungkap maka akan ada legitimasi orang untuk kembali melakukan hal yang sama di tempat lain dan itu menambah panjang catatan buruk kegagalan mengungkap kasus. Tindakan seperti ini kata Frits adalah sebuah ancaman terhadap hak atas rasa aman bagi jurnalis yang juga bekerja untuk kemanusiaan. “Jika jurnalis terus diteror maka hak kemanusiaan untuk mendapatkan informasi publik akan terganggu,” jelasnya.
Meski terus mewanti, Frits masih meyakini jika kasus molotof Jubi ini bisa diungkapkan. Hal itu ia sampaikan setelah mendengar pertanyaan dari Kapolresta Jayapura kota, Kombes Victor D Mackbon yang turut hadir dalam diskusi tersebut. Dalam keterangan singkatnya kapolresta Jayapura mengaku tiap hari pihaknya terus menyelidiki kasus tersebut dan hingga saat ini Polresta terus berupaya untuk mencari pelakunya.
“Kami setiap hari mengupdate mengelar perkara ini,” singkat Kapolres.
Kepala Komnas HAM itu berharap Kapolda Papua berkoordinasi dengan Pangdam XVII Cenderawasih untuk segera selesaikan kasus ini. Sementara Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jayapura, Lucky Ireeuw di hadapan Kapolresta, menyampaikan harapan besarnya terhadap pihak kepolisian untuk mengungkapkan kasus tersebut.
“Harapan besar kami terhadap kepolisian, untuk segera mengungkapkan kasus tersebut, supaya media dan jurnalis bisa merasa terlindungi dan merasa ada jaminan,” pungkasnya. Lucky menjelaskan bahwa pengungkapan kasus teror bom di kantor Media Jubi menjadi barometer apakah polisi mampu memberikan perlindungan sekaligus jaminan bagi keselamatan jurnalis dan media di Papua.
Pasalnya kasus ini terjadi di tengah kota yang didukung oleh saksi dan bukti rekaman CCTV yang cukup, sehingga tentu tidak sulit dibanding jika terjadi di luar kota yang minim alat bukti dan saksi. Apalagi dari pelibatan Densus 88 dalam membongkar kasus ini. “Jika tidak diungkap, tentu ini menjadi preseden yang buruk bagi kerja aparat kepolisian dalam memberikan perlidungan bagi pers dan media, tetapi juga pekerja HAM, dan publik di Papua,”
Media sangat berharap aparat kepolisian segera mengungkap kasus ini, menangkap pelaku dan mengetahu alasan atau motif dibalik kejadian ini. “Teror yang menimbulkan ketakutan di kalangan jurnalis membuat jurnalis dan media tidak kritis lagi dan jelas-jelas ini untuk membungkam media. Jika hal itu yang diingikan pelaku, tentu akan merugikan hak public mengetau informasi, mengekang dan menciderai nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia di Papua,” paparnya.