Friday, April 26, 2024
25.7 C
Jayapura

Pemerintah Pusat Dinilai Pentingkan Pemekaran

JAYAPURA-Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembela HAM) Theo Hesegem menyebut pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan pelanggaran hukum di tanah Papua.

“Presiden RI menganggap korban-korban pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum yang berdampak jatuhnya korban masyarakat sipil, TNI-Polri dan TPNPB-OPM di tanah Papua dipandang tidak penting, karena dianggap sampah seperti yang diungkapkan Menkopolhukan Mahfud MD,” kata Theo kepada Cenderawasih Pos, Jumat (20/5).

Lanjut Theo menjelaskan, seharusnya Presiden sebagai kepala negara yang merupakan sebagai panglima tertinggi di negara ini punya kebijakan tersendiri terhadap penyelesaian konflik bersenjata yang berdampak terjadinya pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum yang berujung terjadi krisis kemanusiaan.

“Kita ketahui bahwa korban-korban di Papua, bukan hanya dialami oleh OAP tetapi juga non OAP ikut menjadi korban. Mereka adalah bagian dari warga masyarakat sipil yang memang harus kita bela dan selamatkan,” tuturnya.

Theo juga menyebut dirinya jarang dan tidak pernah melihat maupun membaca pernyataan seorang  Presiden yang menyampaikan keprihatinan terhadap korban-korban pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum di tanah Papua. Presiden selalu mengharapkan kepada Menkopolhukam, dan selalu mengirim pasukan yang terlatih dan profesional ke tanah Papua melalui Panglima TNI.

“Presiden tidak mampu menyelesaikan konflik bersenjata yang berdampak korban pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum di tanah Papua. Kemungkinan karena Menkopolhukam Mafud MD mengatakan di media bahwa korban-korban di tanah Papua diibaratkan sampah. Sehingga Presiden RI menganggap konflik kekerasan di Papua tidak perlu ditangani dengan serius secara permanen karena dianggap sampah,” ungkapnya.

Baca Juga :  95 Persen Warganya Peserta JKN, Pemprov Papua Raih Penghargaan UHC Award 2023

Menurut Theo, Presiden sebagai panglima tertinggi di Indonesia dan sebagai pengambil kebijakan bukan selalu mengirim pasukan ke tanah Papua. Sehingga pasukan tidak selalu mengalami korban permanen di tengah-tengah hutan di tanah Papua, tetapi harus memikirkan agar supaya konflik di tanah Papua bisa dapat diakhiri.

“Untuk mengakhiri kekerasan di tanah Papua, Presiden sebagai panglima tertinggi dan seluruh anggota DPR RI seharusnya mengevaluasi terkait konflik bersenjata dan korban yang sedang berjatuhan di tanah Papua. Termasuk pengiriman pasukan  dan keberadaan anggota TNI-Polri dan intelijen di tanah Papua,” kata Theo.

Evaluasi untuk mengakhiri kekerasan di tanah Papua menurut Theo sangat penting yang harus dipikirkan pemerintah pusat sebagai pengambil kebijakan. Karena dirinya melihat bahwa ada beberapa hal yang menjadi bahan evaluasi menurut pemahamannya.

Adapun yang dievaluasi seperti masyarakat sipil OAP dan warga non Papua yang kerap menjadi korban penembakan TNI-Polri dan TPNPB-OPM. Anggota TNI-Polri kerap menjadi korban penembakan oleh TPNPB di tanah Papua. Sebaliknya juga TPNPB-OPM menjadi korban dari senjata TNI-Polri.

Dikatakan, TPNPB-OPM mulai melakukan penyerangan di kota dan kabupaten di tanah Papua, adalah kegagalan kinerja anggota intelijen di tanah Papua. Masyarakat non Papua dan orang asli Papua yang berada di daerah konflik bersenjata, sedang diselimuti dengan rasa takut dan trauma yang panjang dan permanen.

Baca Juga :  Kontras Sebut Januari-Februari 6 Luka-luka, 4 Tewas

Masyarakat mengungsi ke mana-mana, dan kemudian meninggal di daerah pegungsian. Selain itu, masyarakat sipil mengalami kesulitan untuk mencari nafkah guna menghidupi keluarga dan berkebun secara bebas.

Theo juga menyebutkan, roda pemerintahan di setiap daerah konflik tidak berjalan dengan normal bahkan justru roda pemerintahannya lumpuh. Pelayanan rumah sakit dan aktivitas pendidikan tidak berjalan dengan normal.

“Pemerintah pusat saat ini lebih mementingkan pemekaran provinsi dari pada penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM yang menjadi isu global. Karena menurut pemerintah pusat, pemekaran adalah bagian yang penting untuk mensejahterakan orang asli Papua, dan hidup bahagia seperti daerah lain. Itulah pikiran yang dipikirkan selama ini oleh pemerintah pusat termasuk presiden dan wakil presiden serta jajarannya,” paparnya.

Seharusnya menurut Theo, untuk melakukan pemekaran, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal ini DPRP dan DPR RI, DPD RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Masyarakat (RDPM). Dalam kegiatan RDPM melibatkan semua komponen yang ada di Papua, termasuk teman-teman yang berbeda pandangan.

“Dinamika berbeda pandangan itu suatu hal yang biasa dan di negara mana saja hal itu terjadi. Hanya saja kembali kepada kemampuan pemerintah untuk  mengajak mengumpulkan masyarakat yang menolak maupun yang menerima, dalam kegiatan yang dimaksud,” pungkasnya. (fia/nat)

JAYAPURA-Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembela HAM) Theo Hesegem menyebut pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan pelanggaran hukum di tanah Papua.

“Presiden RI menganggap korban-korban pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum yang berdampak jatuhnya korban masyarakat sipil, TNI-Polri dan TPNPB-OPM di tanah Papua dipandang tidak penting, karena dianggap sampah seperti yang diungkapkan Menkopolhukan Mahfud MD,” kata Theo kepada Cenderawasih Pos, Jumat (20/5).

Lanjut Theo menjelaskan, seharusnya Presiden sebagai kepala negara yang merupakan sebagai panglima tertinggi di negara ini punya kebijakan tersendiri terhadap penyelesaian konflik bersenjata yang berdampak terjadinya pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum yang berujung terjadi krisis kemanusiaan.

“Kita ketahui bahwa korban-korban di Papua, bukan hanya dialami oleh OAP tetapi juga non OAP ikut menjadi korban. Mereka adalah bagian dari warga masyarakat sipil yang memang harus kita bela dan selamatkan,” tuturnya.

Theo juga menyebut dirinya jarang dan tidak pernah melihat maupun membaca pernyataan seorang  Presiden yang menyampaikan keprihatinan terhadap korban-korban pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum di tanah Papua. Presiden selalu mengharapkan kepada Menkopolhukam, dan selalu mengirim pasukan yang terlatih dan profesional ke tanah Papua melalui Panglima TNI.

“Presiden tidak mampu menyelesaikan konflik bersenjata yang berdampak korban pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum di tanah Papua. Kemungkinan karena Menkopolhukam Mafud MD mengatakan di media bahwa korban-korban di tanah Papua diibaratkan sampah. Sehingga Presiden RI menganggap konflik kekerasan di Papua tidak perlu ditangani dengan serius secara permanen karena dianggap sampah,” ungkapnya.

Baca Juga :  Forkorus Nilai Polri Belum Merubah Paradigma

Menurut Theo, Presiden sebagai panglima tertinggi di Indonesia dan sebagai pengambil kebijakan bukan selalu mengirim pasukan ke tanah Papua. Sehingga pasukan tidak selalu mengalami korban permanen di tengah-tengah hutan di tanah Papua, tetapi harus memikirkan agar supaya konflik di tanah Papua bisa dapat diakhiri.

“Untuk mengakhiri kekerasan di tanah Papua, Presiden sebagai panglima tertinggi dan seluruh anggota DPR RI seharusnya mengevaluasi terkait konflik bersenjata dan korban yang sedang berjatuhan di tanah Papua. Termasuk pengiriman pasukan  dan keberadaan anggota TNI-Polri dan intelijen di tanah Papua,” kata Theo.

Evaluasi untuk mengakhiri kekerasan di tanah Papua menurut Theo sangat penting yang harus dipikirkan pemerintah pusat sebagai pengambil kebijakan. Karena dirinya melihat bahwa ada beberapa hal yang menjadi bahan evaluasi menurut pemahamannya.

Adapun yang dievaluasi seperti masyarakat sipil OAP dan warga non Papua yang kerap menjadi korban penembakan TNI-Polri dan TPNPB-OPM. Anggota TNI-Polri kerap menjadi korban penembakan oleh TPNPB di tanah Papua. Sebaliknya juga TPNPB-OPM menjadi korban dari senjata TNI-Polri.

Dikatakan, TPNPB-OPM mulai melakukan penyerangan di kota dan kabupaten di tanah Papua, adalah kegagalan kinerja anggota intelijen di tanah Papua. Masyarakat non Papua dan orang asli Papua yang berada di daerah konflik bersenjata, sedang diselimuti dengan rasa takut dan trauma yang panjang dan permanen.

Baca Juga :  95 Persen Warganya Peserta JKN, Pemprov Papua Raih Penghargaan UHC Award 2023

Masyarakat mengungsi ke mana-mana, dan kemudian meninggal di daerah pegungsian. Selain itu, masyarakat sipil mengalami kesulitan untuk mencari nafkah guna menghidupi keluarga dan berkebun secara bebas.

Theo juga menyebutkan, roda pemerintahan di setiap daerah konflik tidak berjalan dengan normal bahkan justru roda pemerintahannya lumpuh. Pelayanan rumah sakit dan aktivitas pendidikan tidak berjalan dengan normal.

“Pemerintah pusat saat ini lebih mementingkan pemekaran provinsi dari pada penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM yang menjadi isu global. Karena menurut pemerintah pusat, pemekaran adalah bagian yang penting untuk mensejahterakan orang asli Papua, dan hidup bahagia seperti daerah lain. Itulah pikiran yang dipikirkan selama ini oleh pemerintah pusat termasuk presiden dan wakil presiden serta jajarannya,” paparnya.

Seharusnya menurut Theo, untuk melakukan pemekaran, pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal ini DPRP dan DPR RI, DPD RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Masyarakat (RDPM). Dalam kegiatan RDPM melibatkan semua komponen yang ada di Papua, termasuk teman-teman yang berbeda pandangan.

“Dinamika berbeda pandangan itu suatu hal yang biasa dan di negara mana saja hal itu terjadi. Hanya saja kembali kepada kemampuan pemerintah untuk  mengajak mengumpulkan masyarakat yang menolak maupun yang menerima, dalam kegiatan yang dimaksud,” pungkasnya. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya