Saturday, April 20, 2024
26.7 C
Jayapura

Tahu Jika Bulu Jantan Rontok Bisa Membuat “Bad Mood” si Betina

Mengenal Sosok Calvin Waisimon, Sosok Remaja Pemandu Wisata Bird Watching di Rhepang Muaif

Calvin Waisimon ( FOTO: Gamel/Cepos)

Hutan Papua kaya akan sumber daya alam maupun keanekaragaman hayati. Sebuah warisan yang patut dijaga. Begitu juga dengan burung Cenderawasih yang terus terancam. Calvin Waisimon, sosok remaja yang kini berjuang bersama sang ayah menjaganya.

Laporan: Abdel Gamel Naser, Jayapura

RINDANGNYA pepohonan yang masih diselimuti kabut halus itu mendadak terhapus dan seketika ada tubuh ramping yang keluar perlahan menembus uap pagi. Tak disangka jika sepagi itu ada anak remaja yang berkeliling hutan dengan perlengkapan seadanya.

Ia hanya memikul sebuah tas punggung mungil dan membalut kakinya dengan sepatu out door berwarna coklat yang menutupi mata kaki serta penutupi kepalanya dengan topi rimba berwarna hitam dengan bordiran smile.

Pertemuan ini juga tak direncanakan sebelumnya dimana pada Sabtu (11/7) lalu, Cenderawasih Pos mengikuti sebuah trip yang digarap Rumah Bakau Jayapura mendatangi Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura untuk melihat burung cenderawasih di lokasi Isyo Hills Rhepang Muaif. Lokasi ini dikelola oleh Alex Waisimon, salah satu tour guide lokal yang kenyang dengan berbagai pengalaman sektor wisata.

Untuk mendatangi lokasi ini dari Jayapura membutuhkan waktu sekitar 2 jam menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Di lokasi ini bisa menyaksikan langsung 5 jenis burung Cenderawasih.

Lokasi Isyo Hills juga tak sulit, karena berada persis di pinggir jalan utama. Di sini juga sudah tersedia home stay sehingga pengunjung tidak perlu bingung bagaimana tidur, bagaimana mandi maupun bagaimana makan.

Kembali ke cerita awal tadi dimana Cenderawasih Pos terpisah dari rombongan utama yang telah bergerak jam 5 pagi menuju lokasi bird watching tempat dimana jenis Cenderawasih Paradiseae apoda minor bertengger. Untuk bisa melihat burung Cenderawasih memang harus dilakukan pagi hari mengingat pengunjung harus mengendap dan berada lebih dulu di  spot yang ditentukan sebelum burung yang dijuluki burung surga ini tiba.

Karenanya perjalanan harus dimulai pagi buta. Nah Cenderawasih Pos yang terpisah dari rombongan akhirnya berjalan sendiri menembus gelap subuh masuk ke hutan. Dengan bermodal jejak kaki yang ditinggalkan, akhirnya Cenderawasih Pos tiba di lokasi menara pemantau Cenderawasih Mati Kawat atau Seleucidis melanoleucus.  Hanya ternyata rombongan pertama tadi tidak mampir di sini melainkan menuju spot lainnya.

Disaat mendekati pos menara inilah tiba – tiba sosok remaja bertubuh ramping tersebut muncul di balik pepohonan dan berjalan mendekat sehingga cukup mengagetkan. Iapun terhenti dan memulai menyapa.

Saat pertemuan ini kondisi dalam hutan sedikit gelap namun dengan teleskop di tangan akhirnya Cenderawasih Pos yakin bahwa ia adalah pemandu wisata. Ia menyebut namanya adalah Calvin Waisimon dan ternyata betul, ia anak dari Alex Waisimon yang  tengah mendalami pengalaman menjadi pemandu wisata.

Calvin dilahirkan di Bali pada 19 Juli 2004 dan baru kembali ke Papua pada tahun 2017 lalu dan saat ini bertatus sebagai pelajar di SMA Yapis Nimbokrang.

Ia anak ketiga dari pasangal Alex Waisimon dan Marta Mursiami.  Dari ketiganya, hanya Calvin yang cowok. “Saya yang minta pulang ke Papua dan itu sejak 2017. Saya ingin kembali dan melihat apa yang dilakukan ayah saya,” jelas Calvin memulai obrolan.

Baca Juga :  Kontak Tembak dengan KKB, Satu Anggota Brimob Gugur

Ia saat itu tengah menemani sekelompok pengunjung yang  juga ingin melihat Cenderawasih. Ia berpikir perlu membantu sang ayah dan meneruskan pekerjaan ayahnya karena menjadi satu satunya anak cowok.

Calvin sendiri sudah mulai masuk hutan sejak tahun 2017, sekembalinya ia dari Bali. Dengan usia yang masih 16 tahun seharusnya ia mengisi waktu bersama teman – temannya, mengenal apa itu game PUBG, apa itu free fire, apa itu mobile legend termasuk apa itu aplikasi tik tok. Usia yang masih sangat muda ini seharusnya Calvin lebih banyak berkumpul menyetel kendaraan kemudian nongkrong di sebuah cafe untuk mendapatkan wifi gratis dari sebuah jus alpukat maupun segelas minuman cappucino.

Namun  hal di atas nampaknya jauh dari sosoknya. Dimana Calvin lebih memilih masuk ke hutan, belajar mengenal alam, belajar memahami isi hutan  maupun belajar mengenai mana tempat yang biasa ditongkrongin Cenderawasih sambil sesekali menepuk nyamuk yang mendarat di kedua betisnya. Ia menyebut selama 2 tahun lebih belajar menjadi pemandu wisata amatir. Ia kini sudah bisa dilepas oleh sang ayah untuk berjalan sendiri. Tak lagi didampingi.

Ia bahkan mengetahui jenis – jenis Cenderawasih yang ada di hutan miliknya. “Untuk lokasi Isyo Hills ada 7 spot yang bisa dipakai melihat Cenderawasih dan di sini ada lima jenis Cenderawasih diantaranya  Cenderawasih Mati Kawat, Cenderawasih Minor, Cenderawasih King,  Cenderawasih Bille maupun Cenderawasih Paruh Sabit. Ia sendiri sudah  harus masuk ke dalam hutan mulai pukul -05.00 WIT  dan pada pukul 06.30 WIT  ia sudah harus keluar dari hutan untuk persiapan ke sekolah.

“Paling cepat jam 4 subuh kalau mau masuk hutan dan saya belajar jam berapa cenderawasih datang, dia ngapain saja, jenisnya seperti apa dan suaranya bagaimana. Itu semua saya pelajari dan saat ini sebagian besar sudah saya ketahui,” bebernya.

Ia bahkan mengetahui soal Cenderawasih Mati Kawat yang lagi sulit dilihat dari menara akibat ada dahan pohon palm yang menutupi. “Ia kami harus bergeser karena sementara sulit melihat dari menara. Dahan pohon itu harus dikuliti agar cepat kering. Tidak bisa langsung tebang dan buang karena nanti Cenderawasihnya merasa terganggu. Dahan itu harus mengering sendirinya dan jatuh sehingga burung tidak kaget tiba – tiba ada perubahan dekat tempat mainnya,” bebernya.

Ia juga memahami soal beberapa jenis Cenderawasih yang enggan bermain di tempat biasanya jika di lokasi tersebut ada burung lain yang sudah bermain lebih dulu. “Jenis mati kawat ini tempat mainnya di situ saja, di batang kayu tua yang mulai lapuk. Tapi kalau pagi sudah ada burung lain yang main biasanya dia malas muncul. Dia tunggu sampai burung tersebut pergi baru dia datang,” tambah Calvin.

Meski mulai memahami beberapa jenis namun Calvin mengaku masih membutuhkan waktu untuk menguasai semua.  “Saya masih harus belajar banyak dari papi (panggilan Calvin pada ayahnya, Alex Waisimon). Papi yang mengajarkan semua  dan memang ada beberapa burung yang bulu maupun suaranya mirip – mirip. Ini harus di dengar baik biar tidak salah,” ujarnya merincikan.

“Saat ini jantan mati kawat kesulitan didekati betina karena bulunya lagi rontok. Kalau bulunya rontok itu sulit memikat  betina dan betinanya kadang tidak mood kalau sudah tahu jantannya tidak gagah,” sambungnya.

Baca Juga :  Tegas, Polda Berhentikan Tiga Perwiranya

Dari kesibukannya ini Calvin sendiri tak mau terlalu ambil pusing dengan dunia luar terutama yang berkaitan dengan kehidupan masa remaja. Baginya tanggung jawab yang dijalani saat ini  membutuhkan perhatian besar. Calvin merasa harus ikut bertanggungjawab atas apa yang Tuhan beri yakni hutan. Ia mempercayai jika ia menjaga hutan maka hutan akan menjaganya.  “Itu yang papi selalu tanamkan pada saya dan mau tidak mau saya harus siap,” tegasnya.

Dari jasa yang dilakukannya ini Calvin mendapat bayaran melalui ayahnya. Untuk sekali trip misalnya jika dilakukan dengan rombongan terkadang dibayar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. Jumlah ini menjadi lebih besar ketika yang diantar adalah orang asing yang sedang melakukan penelitian.

Alex Waisimon sendiri menganggap bahwa Calvin adalah generasi setelahnya yang harus dipersiapkan dan saat ini sang anak mulai belajar. “Ia (Calvin) yang akan kembangkan lebih jauh. Semua  pengetahuan tidak gratis, ia harus belajar dari usianya sekarang bukan nanti dan saya kira dia mampu, dia sudah bisa membawa tamu sendiri,” puji Alex.

Pahlawan  keanekaragaman hayati  dari Papua ini ingin membentuk sang anak tampil beda. Menjadi contoh bagi keluarga, teman maupun lingkungan. Calvin sendiri dikatakan setiap hari harus masuk pagi buta ke hutan karena ia harus mendangar sendiri suara burung dan Alex memprediksi 3 tahun lagi sang anak sudah bisa menguasai semua.

Alex sengaja memberikan ia kebebasan, tidak mengekang untuk mengatur jadwalnya sendiri. Berapa jam ia harus bekerja dan berapa jam ia harus belajar. Calvin memang tidak menjelaskan apa yang menjadi cita –citanya namun sang ayah mewakili bahwa sang anak ini ingin menjadi menjadi designer.

“Kadang kala ada waktunya ia memegang kamera, membuat video dan pelan – pelan ia akan pelajari semuanya,” ucap Alex.

Dari upah memandu wisata ini Calvin sudah bisa membeli motor sendiri termasuk sapi. “Itu dia yang putuskan mau beli apa karena itu hasil keringatnya jadi kemarin ia sudah bisa membeli motor dan sapi,” tambahnya.

Alex sendiri mengaku puas apabila melihat alam masih dalam utuh dan ekosistem masih terjaga. Ia meyakini masa depan masyarakat kampung akan terancam apabila hutan diganggu. “Orang Papua jangan masa bodoh, ini kekayaan bangsa dan karena Cenderawasihlah tempat ini bisa dikenal. Saya juga dikenal sampai diundang oleh presiden karena Cenderawasih. Tidak ada alasan untuk terus berburu,” saran pria plontos ini.

Ia mengajarkan bahwa hutan bisa memberi makan tanpa harus ada yang ditebang, ada yang ditembak dan ada yang dijual. Cukup merawat dan menjaga karena dengan sendirinya alam akan memberikan semua. Ia juga meminta masyarakat bisa melihat bijak dan cerdas.

Ketika gajah mati, orang utan mati, harimau mati banyak sekali yang memberi perhatian. Menunjukkan keprihatinan bahkan membuat tagar. Tapi ketika cenderawasih mati, ditembak, diburu, diselundupkan, tak ada yang bersuara biar seorang padahal Cenderawasih adalah kebanggaan Papua.

“Kenapa harimau, gajah mati semua heboh tapi ketika Cenderawasih masih tidak ada yang bicara. Dianggap biasa – biasa dan sepi sepi saja. Kenapa yang di luar semua bisa ribut sedangkan yang di Papua didiamkan saja,” pungkasnya. (*)

Mengenal Sosok Calvin Waisimon, Sosok Remaja Pemandu Wisata Bird Watching di Rhepang Muaif

Calvin Waisimon ( FOTO: Gamel/Cepos)

Hutan Papua kaya akan sumber daya alam maupun keanekaragaman hayati. Sebuah warisan yang patut dijaga. Begitu juga dengan burung Cenderawasih yang terus terancam. Calvin Waisimon, sosok remaja yang kini berjuang bersama sang ayah menjaganya.

Laporan: Abdel Gamel Naser, Jayapura

RINDANGNYA pepohonan yang masih diselimuti kabut halus itu mendadak terhapus dan seketika ada tubuh ramping yang keluar perlahan menembus uap pagi. Tak disangka jika sepagi itu ada anak remaja yang berkeliling hutan dengan perlengkapan seadanya.

Ia hanya memikul sebuah tas punggung mungil dan membalut kakinya dengan sepatu out door berwarna coklat yang menutupi mata kaki serta penutupi kepalanya dengan topi rimba berwarna hitam dengan bordiran smile.

Pertemuan ini juga tak direncanakan sebelumnya dimana pada Sabtu (11/7) lalu, Cenderawasih Pos mengikuti sebuah trip yang digarap Rumah Bakau Jayapura mendatangi Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura untuk melihat burung cenderawasih di lokasi Isyo Hills Rhepang Muaif. Lokasi ini dikelola oleh Alex Waisimon, salah satu tour guide lokal yang kenyang dengan berbagai pengalaman sektor wisata.

Untuk mendatangi lokasi ini dari Jayapura membutuhkan waktu sekitar 2 jam menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Di lokasi ini bisa menyaksikan langsung 5 jenis burung Cenderawasih.

Lokasi Isyo Hills juga tak sulit, karena berada persis di pinggir jalan utama. Di sini juga sudah tersedia home stay sehingga pengunjung tidak perlu bingung bagaimana tidur, bagaimana mandi maupun bagaimana makan.

Kembali ke cerita awal tadi dimana Cenderawasih Pos terpisah dari rombongan utama yang telah bergerak jam 5 pagi menuju lokasi bird watching tempat dimana jenis Cenderawasih Paradiseae apoda minor bertengger. Untuk bisa melihat burung Cenderawasih memang harus dilakukan pagi hari mengingat pengunjung harus mengendap dan berada lebih dulu di  spot yang ditentukan sebelum burung yang dijuluki burung surga ini tiba.

Karenanya perjalanan harus dimulai pagi buta. Nah Cenderawasih Pos yang terpisah dari rombongan akhirnya berjalan sendiri menembus gelap subuh masuk ke hutan. Dengan bermodal jejak kaki yang ditinggalkan, akhirnya Cenderawasih Pos tiba di lokasi menara pemantau Cenderawasih Mati Kawat atau Seleucidis melanoleucus.  Hanya ternyata rombongan pertama tadi tidak mampir di sini melainkan menuju spot lainnya.

Disaat mendekati pos menara inilah tiba – tiba sosok remaja bertubuh ramping tersebut muncul di balik pepohonan dan berjalan mendekat sehingga cukup mengagetkan. Iapun terhenti dan memulai menyapa.

Saat pertemuan ini kondisi dalam hutan sedikit gelap namun dengan teleskop di tangan akhirnya Cenderawasih Pos yakin bahwa ia adalah pemandu wisata. Ia menyebut namanya adalah Calvin Waisimon dan ternyata betul, ia anak dari Alex Waisimon yang  tengah mendalami pengalaman menjadi pemandu wisata.

Calvin dilahirkan di Bali pada 19 Juli 2004 dan baru kembali ke Papua pada tahun 2017 lalu dan saat ini bertatus sebagai pelajar di SMA Yapis Nimbokrang.

Ia anak ketiga dari pasangal Alex Waisimon dan Marta Mursiami.  Dari ketiganya, hanya Calvin yang cowok. “Saya yang minta pulang ke Papua dan itu sejak 2017. Saya ingin kembali dan melihat apa yang dilakukan ayah saya,” jelas Calvin memulai obrolan.

Baca Juga :  34 Kali Gempa Susulan Guncang Mamberamo

Ia saat itu tengah menemani sekelompok pengunjung yang  juga ingin melihat Cenderawasih. Ia berpikir perlu membantu sang ayah dan meneruskan pekerjaan ayahnya karena menjadi satu satunya anak cowok.

Calvin sendiri sudah mulai masuk hutan sejak tahun 2017, sekembalinya ia dari Bali. Dengan usia yang masih 16 tahun seharusnya ia mengisi waktu bersama teman – temannya, mengenal apa itu game PUBG, apa itu free fire, apa itu mobile legend termasuk apa itu aplikasi tik tok. Usia yang masih sangat muda ini seharusnya Calvin lebih banyak berkumpul menyetel kendaraan kemudian nongkrong di sebuah cafe untuk mendapatkan wifi gratis dari sebuah jus alpukat maupun segelas minuman cappucino.

Namun  hal di atas nampaknya jauh dari sosoknya. Dimana Calvin lebih memilih masuk ke hutan, belajar mengenal alam, belajar memahami isi hutan  maupun belajar mengenai mana tempat yang biasa ditongkrongin Cenderawasih sambil sesekali menepuk nyamuk yang mendarat di kedua betisnya. Ia menyebut selama 2 tahun lebih belajar menjadi pemandu wisata amatir. Ia kini sudah bisa dilepas oleh sang ayah untuk berjalan sendiri. Tak lagi didampingi.

Ia bahkan mengetahui jenis – jenis Cenderawasih yang ada di hutan miliknya. “Untuk lokasi Isyo Hills ada 7 spot yang bisa dipakai melihat Cenderawasih dan di sini ada lima jenis Cenderawasih diantaranya  Cenderawasih Mati Kawat, Cenderawasih Minor, Cenderawasih King,  Cenderawasih Bille maupun Cenderawasih Paruh Sabit. Ia sendiri sudah  harus masuk ke dalam hutan mulai pukul -05.00 WIT  dan pada pukul 06.30 WIT  ia sudah harus keluar dari hutan untuk persiapan ke sekolah.

“Paling cepat jam 4 subuh kalau mau masuk hutan dan saya belajar jam berapa cenderawasih datang, dia ngapain saja, jenisnya seperti apa dan suaranya bagaimana. Itu semua saya pelajari dan saat ini sebagian besar sudah saya ketahui,” bebernya.

Ia bahkan mengetahui soal Cenderawasih Mati Kawat yang lagi sulit dilihat dari menara akibat ada dahan pohon palm yang menutupi. “Ia kami harus bergeser karena sementara sulit melihat dari menara. Dahan pohon itu harus dikuliti agar cepat kering. Tidak bisa langsung tebang dan buang karena nanti Cenderawasihnya merasa terganggu. Dahan itu harus mengering sendirinya dan jatuh sehingga burung tidak kaget tiba – tiba ada perubahan dekat tempat mainnya,” bebernya.

Ia juga memahami soal beberapa jenis Cenderawasih yang enggan bermain di tempat biasanya jika di lokasi tersebut ada burung lain yang sudah bermain lebih dulu. “Jenis mati kawat ini tempat mainnya di situ saja, di batang kayu tua yang mulai lapuk. Tapi kalau pagi sudah ada burung lain yang main biasanya dia malas muncul. Dia tunggu sampai burung tersebut pergi baru dia datang,” tambah Calvin.

Meski mulai memahami beberapa jenis namun Calvin mengaku masih membutuhkan waktu untuk menguasai semua.  “Saya masih harus belajar banyak dari papi (panggilan Calvin pada ayahnya, Alex Waisimon). Papi yang mengajarkan semua  dan memang ada beberapa burung yang bulu maupun suaranya mirip – mirip. Ini harus di dengar baik biar tidak salah,” ujarnya merincikan.

“Saat ini jantan mati kawat kesulitan didekati betina karena bulunya lagi rontok. Kalau bulunya rontok itu sulit memikat  betina dan betinanya kadang tidak mood kalau sudah tahu jantannya tidak gagah,” sambungnya.

Baca Juga :  Resepsi Nikah Harus Ada Izin dari Satgas Covid 19

Dari kesibukannya ini Calvin sendiri tak mau terlalu ambil pusing dengan dunia luar terutama yang berkaitan dengan kehidupan masa remaja. Baginya tanggung jawab yang dijalani saat ini  membutuhkan perhatian besar. Calvin merasa harus ikut bertanggungjawab atas apa yang Tuhan beri yakni hutan. Ia mempercayai jika ia menjaga hutan maka hutan akan menjaganya.  “Itu yang papi selalu tanamkan pada saya dan mau tidak mau saya harus siap,” tegasnya.

Dari jasa yang dilakukannya ini Calvin mendapat bayaran melalui ayahnya. Untuk sekali trip misalnya jika dilakukan dengan rombongan terkadang dibayar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. Jumlah ini menjadi lebih besar ketika yang diantar adalah orang asing yang sedang melakukan penelitian.

Alex Waisimon sendiri menganggap bahwa Calvin adalah generasi setelahnya yang harus dipersiapkan dan saat ini sang anak mulai belajar. “Ia (Calvin) yang akan kembangkan lebih jauh. Semua  pengetahuan tidak gratis, ia harus belajar dari usianya sekarang bukan nanti dan saya kira dia mampu, dia sudah bisa membawa tamu sendiri,” puji Alex.

Pahlawan  keanekaragaman hayati  dari Papua ini ingin membentuk sang anak tampil beda. Menjadi contoh bagi keluarga, teman maupun lingkungan. Calvin sendiri dikatakan setiap hari harus masuk pagi buta ke hutan karena ia harus mendangar sendiri suara burung dan Alex memprediksi 3 tahun lagi sang anak sudah bisa menguasai semua.

Alex sengaja memberikan ia kebebasan, tidak mengekang untuk mengatur jadwalnya sendiri. Berapa jam ia harus bekerja dan berapa jam ia harus belajar. Calvin memang tidak menjelaskan apa yang menjadi cita –citanya namun sang ayah mewakili bahwa sang anak ini ingin menjadi menjadi designer.

“Kadang kala ada waktunya ia memegang kamera, membuat video dan pelan – pelan ia akan pelajari semuanya,” ucap Alex.

Dari upah memandu wisata ini Calvin sudah bisa membeli motor sendiri termasuk sapi. “Itu dia yang putuskan mau beli apa karena itu hasil keringatnya jadi kemarin ia sudah bisa membeli motor dan sapi,” tambahnya.

Alex sendiri mengaku puas apabila melihat alam masih dalam utuh dan ekosistem masih terjaga. Ia meyakini masa depan masyarakat kampung akan terancam apabila hutan diganggu. “Orang Papua jangan masa bodoh, ini kekayaan bangsa dan karena Cenderawasihlah tempat ini bisa dikenal. Saya juga dikenal sampai diundang oleh presiden karena Cenderawasih. Tidak ada alasan untuk terus berburu,” saran pria plontos ini.

Ia mengajarkan bahwa hutan bisa memberi makan tanpa harus ada yang ditebang, ada yang ditembak dan ada yang dijual. Cukup merawat dan menjaga karena dengan sendirinya alam akan memberikan semua. Ia juga meminta masyarakat bisa melihat bijak dan cerdas.

Ketika gajah mati, orang utan mati, harimau mati banyak sekali yang memberi perhatian. Menunjukkan keprihatinan bahkan membuat tagar. Tapi ketika cenderawasih mati, ditembak, diburu, diselundupkan, tak ada yang bersuara biar seorang padahal Cenderawasih adalah kebanggaan Papua.

“Kenapa harimau, gajah mati semua heboh tapi ketika Cenderawasih masih tidak ada yang bicara. Dianggap biasa – biasa dan sepi sepi saja. Kenapa yang di luar semua bisa ribut sedangkan yang di Papua didiamkan saja,” pungkasnya. (*)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya