JAYAPURA – Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR Papua menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kepolisian Daerah atau Polda Papua, Komando Daerah Militer atau Kodam XVII/Cenderawasih, dan Koalisi Advokasi Keadilan dan Keselamatan Jurnalis di Tanah Papua, Jumat (16/5).
RDP membahas kasus pelemparan bom molotov ke Kantor Redaksi Jubi, Waena, 16 Oktober 2024 lalu. Dalam RDP itu, dua nama disebut sebagai terduga pelaku, yakni Sersan Satu atau Sertu D dan Prajurit Kepala atau Praka AW. Kuasa hukum Jubi, Simon Pattiradjawane mengatakan jika kasus tersebut ditingkat ke penyidikan, berarti secara konstruksi bukti dan saksi sudah cukup.
Menurutnya, dalam kasus ini penyidik Polda Papua telah mengumpulkan sejumlah alat bukti dan memeriksa sembilan saksi, dan dua aksi kunci merujuk pada siapa terduga pelaku. “Karena ketika kasus ini dinyatakan lengkap dari sisi penyidikan dan dilimpahkan, kami tahu kasus itu sudah cukup bukti. Namun kami dengar berkasnya dikembalikan karena kasus tidak cukup bukti,” kata Simon Pattiradjawane dalam rilisnya, Sabtu (17/5).
“Ini berarti ada ahli dan bukti suratnya. Barang bukti berupa CCTV dan dua kendaraan operasional Jubi. Penyidik telah melakukan analisis lewat keterangan saksi-saksi dan barang bukti kemudian melakukan gelar perkara yang intinya menemukan terduga Sertu D dan Praka AW,” ujar Simon.
Atas dasar penyidikan tersebut karena terduga berstatus anggota aktif militer maka penyidik Polda melimpahkan proses hukum selanjutnya ke Kodam XVII/ Cenderawasih. Tidak dilimpahkan ke kejaksaan. Sebab untuk proses peradilan adalah ranah peradilan militer bukan sipil.
Tim kuasa hukum Jubi berpendapat, seharusnya ada sinergitas antara penyidik Polda Papua dan Polisi Militer Kodam atau Pomdam XVII Cenderawasih. Sebab, penyidik Polda Papua telah melakukan pemeriksaan sesuai standar KUHAP, namun Kodam XVII Cenderawasih justru menyampaikan tak cukup bukti.
“Jika terduga pelaku mengarah ke anggota TNI, seharusnya TNI mendalami dan lebih proaktif membuktikan keterlibatan anggotanya, serta mengumumkan pelakunya. Kasus ini terjadi di dalam kota, dekat dengan pos TNI atau markas TNI, Polsek, Polresta dan Polda Papua. Kalau tidak diungkap bagaimana jika ada teror bom serupa? Polisi dan TNI tidak dapat tampil melindungi rakyatnya,” kata tim kuasa hukum Jubi.
Poin penting yang mesti diperhatikan oleh TNI dan polisi kata Simon adalah perlunya perlindungan saksi-saksi termasuk, saksi kunci agar dapat memberi keterangan tanpa rasa takut. Ia melihat saksi kunci memilih keluar dari Jayapura setelah memberikan keterangan karena khawatir.