Sunday, April 28, 2024
30.7 C
Jayapura

Berantas Korupsi di Papua, KPK Jangan Tebang Pilih!

JAYAPURA-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah melakukan penyidikan kasus dugaan gratifikasi alias suap di Kabupaten Mamberamo Tengah (Mamteng).

Dari informasi yang beredar di media massa dan media sosial, penyidik KPK telah menetapkan Bupati RHP sebagai tersangka. Bahkan baru-baru ini ramai beredar di media sosial Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dikeluarkan KPK.

Terkait pemberantasan korupsi di tanah Papua, salah satu tokoh agama di Papua, Pdt. Catto Y Mauri meminta KPK tidak melakukan tebang pilih dalam menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia khususnya di tanah Papua.

“KPK juga jangan menjadi Komisi Pengamanan Kepentingan pribadi atau kelompok. KPK juga jangan melakukan pembunuhan karakter terhadap figur-figur pemimpin Papua,” tegas Pdt. Catto Y Mauri saat memberikan keterangan pers, Senin (18/7) kemarin.

Terkait penanganan kasus dugaan korupsi di Papua, Pdt. Catto Y Mauri bersama 15 anggota perwakilan tim tokoh agama di tanah Papua telah menemui ketua KPK Firli Bahuri, di gedung KPK di Jakarta, Rabu (13/7) lalu.

Dalam pertemuan tersebut, perwakilan tokoh agama menurutnya, juga menyampaikan kepada ketua KPK agar KPK tidak melakukan praktek-praktek kriminalisasi menjelang Pilkada. Termasuk tidak melakukan politisasi/penghadangan terhadap para pemimpin Papua yang mengkritisi program-program pusat tanpa diklarifikasi dengan pejabat yang bersangkutan.

“Kami sangat mendukung dan memberi apresiasi serta penghargaan yang tinggi kepada KPK RI, atas kinerjanya yang sangat luar biasa dalam usaha memerangi dan memberantas korupsi di tanah Papua. Namun kami minta agar KPK RI tetap dalam visi misi awalnya dalam pemberantasan korupsi,” tegas Pdt. Catto Mauri selaku Ketua Tim Tokoh Agama Papua yang menemui ketua KPK di Jakarta.

Pdt Catto Mauri mengungkapkan dengan tetap menghormati asas praduga tak bersalah, atas tuduhan gratifikasi dan suap kepada Bupati RHP karena sudah menjadi konsumsi publik di Papua, namun yang mereka menyesalkan pelaksanaan Otsus jilid 1 pada 20 tahun pertama di Papua bukan tidak mungkin ada penyalahgunaan keuangan, tapi tidak diusut oleh KPK RI. Untuk itu, pihaknya berharap KPK tidak tebang pilih dalam mengusut tuntas kasus korupsi di Papua.

Hal lain yang menjadi pertanyaan mengenai kasus dugaan gratifikasi di Kabupaten Mamteng yang justru muncul atau mencuat 15 menit menjelang RHP menerima SK Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Papua. Bahkan secara masif dan terstruktur KPK RI melalui media sosial menyatakan tersangka bagi RHP.

Hal ini menurutnya  mengakibatkan SK tersebut dipaksakan diserahkan kepada lawan RHP dalam bursa pemilihan calon ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Papua. Padahal dalam Musda DPD Partai Demokrat yang digelar beberapa waktu yang lalu, RHP meraih 19 suara.

Baca Juga :  Kominfo: Media Harus Menjadi Literasi Bagi Pembaca

Hal lain yang menjadi pertanyaan menurut Pdt. Mauri yaitu kasus dugaan gratifikasi ini muncul setelah dua hari sebelumnya Bupati RHP menerima aspirasi warga Kabupaten Mamberamo Tengah yang menolak pemekaran tiag Daerah Otonom Baru (DOB) di Provinsi Papua.

Anehnya lagi, setelah menerima aspirasi warganya di Kobakma ibukota Kabupaten Mamberamo Tengah, KPK langsung melakukan penggeledahan di rumah pribadi RHP.

“KPK adalah Komisi Pemberantasan Korupsi bukan Komisi Pengamanan Kepentingan kelompok tertentu,” sesalnya.

Pdt. Mauri juga mempertanyakan alasan KPK yang tidak mengusut kasus dugaan gratifikasi atau suap yang disangkakan kepada Bupati RHP pada tahun 2013-2015. “KPK RI justru tunggu sampai yang bersangkutan siap maju Pilkada 2024 sebagai kandidat lalu dicekal dengan status tersangka. Kami rasa ini bagian dari pembunuhan karakter orang asli Papua,” ucapnya.

Oleh sebab itu, Pdt. Mauri mengimbau kepada KPK RI agar tidak melakukan praktek kriminalisasi kepada kandidat tertentu yang menyebabkan masyarakat bertanya-tanya siapa yang dicekal, kemudian siapa yang disiapkan jalannya menuju Pilkada.

“Hal ini kami sampaikan karena, setelah RHP menyampaikan penolakan warganya terhadap pelaksanaan DOB, dua hari setelah itu KPK melakukan penggeledahan di rumahnya, Padahal belum ada klarifikasi latar belakang pernyataan tersebut dibuat,” tuturnya.

Pdt. Mauri menyampaikan, pernyataan sikap tim tokoh agama Papua ini telah mereka sampaikan secara langsung kepada ketua KPK pada saat mengklarifikasi kasus dugaan gratifikasi di Kabupaten Mamberamo Tengah di gedung KPK di Jakarta, Rabu (13/7) lalu.

Sementara itu, terkait penyidikan yang dilakukan KPK RI terkait kasus dugaan gratifikasi atau suap di Kabupaten Mamteng, Pemprov Papua melalui Asisten I Bidang Pemerintahan Provinsi Papua, Doren Wakerkwa, SH., menyebutkan RHP masih menjadi bupati aktif saat ini.

“Inikan masalah dugaan korupsi dan ada KPK, dimana kasus ini sementara berproses. Mungkin pihak Pemerintah Indonesia bisa menghubungi pihak Papua Nugini untuk mengetahui posisi keberadaan yang bersangkutan,” ungkap Doren kepada wartawan, Senin (18/7).

Doren menyampaikan, administrasi pemerintahan sesuai UU RI Nomor 23 tahun 2004, Pemrov sendiri  harus berkoordinasi dengan pemeritah pusat, namun yang pasti pemerintah pusat sudah tahu terkait persoalan yang menjerat Bupati Mamberamo Tengah. “Berarti ada surat yang akan disampaikan pusat kepada kita untuk kita bisa mengambil langkah-langkah tindak lanjut,” terangnya.

Dikatakan Doren, terkait kasus ini Pemerintah Provinsi Papua masih menunggu arahan dari pusat. Sebab, hingga saat ini RHP merupakan Bupati Mamteng aktif.

“Kecuali bupati yang meninggal dunia dan lainnya, kita bisa mengajukan pergantian di pusat, tetapi kalau kejadian seperti ini dianggap menjadi orang hilang berarti menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,” ungkapnya.

Baca Juga :  Soal Beasiswa, Pemkot Juga Angkat Tangan

Lanjut Doren, kendati bupatinya sedang berhadapan dengan proses hukum, namun roda pemerintahan di Kabupaten Mamberamo Tengah tetap berjalan. Sebab masih ada wakil bupati maupun sekda yang ada di daerah tersebut.

“Pemerintahan harus tetap berjalan di Mamberamo Tengah. Untuk masalah lain menjadi urusan yang berwajib mencari di mana posisi yang bersangkutan berada,” kata Doren.

Adapun proses penyidikan terhadap Bupati Mamberamo Tengah, RHP masih berlanjut. Dalam proses penyidikan ini dikatakan RHP masih menghindar dan tidak kooperatif, bahkan informasinya yang bersangkutan kini tidak berada di Papua.

Sementara di Polda Papua, Bidang Propam Polda Papua juga mengamankan tiga oknum  anggota Polisi yang menjadi ajudan ataupun pengawal pribadi (Walpri)  dari RHP. Ketiganya sedang diperiksa dan dipastikan akan dilakukan penahanan terlebih dahulu.

Ketiganya adalah Aipda AI, Bripka JW dan Bripka EW. Ketiganya disinyalir ikut terlibat dalam menghambat proses penyidikan yang dilakukan KPK termasuk memfasilitasi kaburnya RHP. Dimana RHP yang sebelumnya lebih banyak bertahan di Mamberamo Tengah kabarnya sudah berada di Jayapura.

“Propam Polda Papua kini mengamankan tiga personel Polda Papua yaitu Aipda AI, Bripka JW dan satu orang lagi yang baru dibawa dari Kombakma yakni Bripka EW. Bripka EW dikawal langsung Kasi Propam,” kata Kabid Propam Polda Papua, Kombes Pol Gustav Urbinas kepada wartawan, Sabtu (16/7).

AI sendiri sedang dimintai keterangan  untuk kepentingan penyidikan KPK karena melekat langsung dengan RHP dan ketiganya diamankan untuk memperlancar proses penyidikan KPK. “Secara internal kami perlu memeriksa 3 personel terkait pertama penugasan menjadi ajudan maupun pengawal pribadi dari RHP yang ditetapkan sebagai tersangka. Lalu dinas mereka  sebagai ajudan dan walpri tadi sebab ada indikasi mereka membantu RHP yang kurang kooperatif terhadap penyidikan yang dilakukan KPK. Artinya anggota Polri tidak perlu terlibat dalam perkara yang dihadapi seorang tersangka makanya dilakukan penarikan dulu,” tegas Gustav.

Lalu sesuai perintah Kapolda yakni mengecek surat tugas dari ketiga personel ini. “AI dan JW sudah diperiksa dan  kini ajudan RHP Bripka EW. Ketiganya kami tempatkan di tempat khusus ditahan di provost dan dikaji pelanggaran kode etik profesi Polri. Mereka akan ditahan maksimal 30 hari selama kepentingan memeriksa atau membantu penegakan hukum yang dibutuhkan KPK,” imbuh Gustav.

“Yang jelas tiga orang ini diamankan karena cukup menghambat proses penyidikan KPK. Perintah pimpinan adalah ditarik dan kami akan cek lagi apakah masih ada anggota yang lain yang akan diperiksa,” tutup Gustav. (rel/fia/ade/nat)

JAYAPURA-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah melakukan penyidikan kasus dugaan gratifikasi alias suap di Kabupaten Mamberamo Tengah (Mamteng).

Dari informasi yang beredar di media massa dan media sosial, penyidik KPK telah menetapkan Bupati RHP sebagai tersangka. Bahkan baru-baru ini ramai beredar di media sosial Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dikeluarkan KPK.

Terkait pemberantasan korupsi di tanah Papua, salah satu tokoh agama di Papua, Pdt. Catto Y Mauri meminta KPK tidak melakukan tebang pilih dalam menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia khususnya di tanah Papua.

“KPK juga jangan menjadi Komisi Pengamanan Kepentingan pribadi atau kelompok. KPK juga jangan melakukan pembunuhan karakter terhadap figur-figur pemimpin Papua,” tegas Pdt. Catto Y Mauri saat memberikan keterangan pers, Senin (18/7) kemarin.

Terkait penanganan kasus dugaan korupsi di Papua, Pdt. Catto Y Mauri bersama 15 anggota perwakilan tim tokoh agama di tanah Papua telah menemui ketua KPK Firli Bahuri, di gedung KPK di Jakarta, Rabu (13/7) lalu.

Dalam pertemuan tersebut, perwakilan tokoh agama menurutnya, juga menyampaikan kepada ketua KPK agar KPK tidak melakukan praktek-praktek kriminalisasi menjelang Pilkada. Termasuk tidak melakukan politisasi/penghadangan terhadap para pemimpin Papua yang mengkritisi program-program pusat tanpa diklarifikasi dengan pejabat yang bersangkutan.

“Kami sangat mendukung dan memberi apresiasi serta penghargaan yang tinggi kepada KPK RI, atas kinerjanya yang sangat luar biasa dalam usaha memerangi dan memberantas korupsi di tanah Papua. Namun kami minta agar KPK RI tetap dalam visi misi awalnya dalam pemberantasan korupsi,” tegas Pdt. Catto Mauri selaku Ketua Tim Tokoh Agama Papua yang menemui ketua KPK di Jakarta.

Pdt Catto Mauri mengungkapkan dengan tetap menghormati asas praduga tak bersalah, atas tuduhan gratifikasi dan suap kepada Bupati RHP karena sudah menjadi konsumsi publik di Papua, namun yang mereka menyesalkan pelaksanaan Otsus jilid 1 pada 20 tahun pertama di Papua bukan tidak mungkin ada penyalahgunaan keuangan, tapi tidak diusut oleh KPK RI. Untuk itu, pihaknya berharap KPK tidak tebang pilih dalam mengusut tuntas kasus korupsi di Papua.

Hal lain yang menjadi pertanyaan mengenai kasus dugaan gratifikasi di Kabupaten Mamteng yang justru muncul atau mencuat 15 menit menjelang RHP menerima SK Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Papua. Bahkan secara masif dan terstruktur KPK RI melalui media sosial menyatakan tersangka bagi RHP.

Hal ini menurutnya  mengakibatkan SK tersebut dipaksakan diserahkan kepada lawan RHP dalam bursa pemilihan calon ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Papua. Padahal dalam Musda DPD Partai Demokrat yang digelar beberapa waktu yang lalu, RHP meraih 19 suara.

Baca Juga :  Masih Ada 200-an Mobil Dinas yang Dikuasai Mantan Pejabat

Hal lain yang menjadi pertanyaan menurut Pdt. Mauri yaitu kasus dugaan gratifikasi ini muncul setelah dua hari sebelumnya Bupati RHP menerima aspirasi warga Kabupaten Mamberamo Tengah yang menolak pemekaran tiag Daerah Otonom Baru (DOB) di Provinsi Papua.

Anehnya lagi, setelah menerima aspirasi warganya di Kobakma ibukota Kabupaten Mamberamo Tengah, KPK langsung melakukan penggeledahan di rumah pribadi RHP.

“KPK adalah Komisi Pemberantasan Korupsi bukan Komisi Pengamanan Kepentingan kelompok tertentu,” sesalnya.

Pdt. Mauri juga mempertanyakan alasan KPK yang tidak mengusut kasus dugaan gratifikasi atau suap yang disangkakan kepada Bupati RHP pada tahun 2013-2015. “KPK RI justru tunggu sampai yang bersangkutan siap maju Pilkada 2024 sebagai kandidat lalu dicekal dengan status tersangka. Kami rasa ini bagian dari pembunuhan karakter orang asli Papua,” ucapnya.

Oleh sebab itu, Pdt. Mauri mengimbau kepada KPK RI agar tidak melakukan praktek kriminalisasi kepada kandidat tertentu yang menyebabkan masyarakat bertanya-tanya siapa yang dicekal, kemudian siapa yang disiapkan jalannya menuju Pilkada.

“Hal ini kami sampaikan karena, setelah RHP menyampaikan penolakan warganya terhadap pelaksanaan DOB, dua hari setelah itu KPK melakukan penggeledahan di rumahnya, Padahal belum ada klarifikasi latar belakang pernyataan tersebut dibuat,” tuturnya.

Pdt. Mauri menyampaikan, pernyataan sikap tim tokoh agama Papua ini telah mereka sampaikan secara langsung kepada ketua KPK pada saat mengklarifikasi kasus dugaan gratifikasi di Kabupaten Mamberamo Tengah di gedung KPK di Jakarta, Rabu (13/7) lalu.

Sementara itu, terkait penyidikan yang dilakukan KPK RI terkait kasus dugaan gratifikasi atau suap di Kabupaten Mamteng, Pemprov Papua melalui Asisten I Bidang Pemerintahan Provinsi Papua, Doren Wakerkwa, SH., menyebutkan RHP masih menjadi bupati aktif saat ini.

“Inikan masalah dugaan korupsi dan ada KPK, dimana kasus ini sementara berproses. Mungkin pihak Pemerintah Indonesia bisa menghubungi pihak Papua Nugini untuk mengetahui posisi keberadaan yang bersangkutan,” ungkap Doren kepada wartawan, Senin (18/7).

Doren menyampaikan, administrasi pemerintahan sesuai UU RI Nomor 23 tahun 2004, Pemrov sendiri  harus berkoordinasi dengan pemeritah pusat, namun yang pasti pemerintah pusat sudah tahu terkait persoalan yang menjerat Bupati Mamberamo Tengah. “Berarti ada surat yang akan disampaikan pusat kepada kita untuk kita bisa mengambil langkah-langkah tindak lanjut,” terangnya.

Dikatakan Doren, terkait kasus ini Pemerintah Provinsi Papua masih menunggu arahan dari pusat. Sebab, hingga saat ini RHP merupakan Bupati Mamteng aktif.

“Kecuali bupati yang meninggal dunia dan lainnya, kita bisa mengajukan pergantian di pusat, tetapi kalau kejadian seperti ini dianggap menjadi orang hilang berarti menjadi tanggung jawab pemerintah pusat,” ungkapnya.

Baca Juga :  Lantik 4 Ketua DPW PAN, Zulhas Sebut Papua Harus Diberi Kepercayaan

Lanjut Doren, kendati bupatinya sedang berhadapan dengan proses hukum, namun roda pemerintahan di Kabupaten Mamberamo Tengah tetap berjalan. Sebab masih ada wakil bupati maupun sekda yang ada di daerah tersebut.

“Pemerintahan harus tetap berjalan di Mamberamo Tengah. Untuk masalah lain menjadi urusan yang berwajib mencari di mana posisi yang bersangkutan berada,” kata Doren.

Adapun proses penyidikan terhadap Bupati Mamberamo Tengah, RHP masih berlanjut. Dalam proses penyidikan ini dikatakan RHP masih menghindar dan tidak kooperatif, bahkan informasinya yang bersangkutan kini tidak berada di Papua.

Sementara di Polda Papua, Bidang Propam Polda Papua juga mengamankan tiga oknum  anggota Polisi yang menjadi ajudan ataupun pengawal pribadi (Walpri)  dari RHP. Ketiganya sedang diperiksa dan dipastikan akan dilakukan penahanan terlebih dahulu.

Ketiganya adalah Aipda AI, Bripka JW dan Bripka EW. Ketiganya disinyalir ikut terlibat dalam menghambat proses penyidikan yang dilakukan KPK termasuk memfasilitasi kaburnya RHP. Dimana RHP yang sebelumnya lebih banyak bertahan di Mamberamo Tengah kabarnya sudah berada di Jayapura.

“Propam Polda Papua kini mengamankan tiga personel Polda Papua yaitu Aipda AI, Bripka JW dan satu orang lagi yang baru dibawa dari Kombakma yakni Bripka EW. Bripka EW dikawal langsung Kasi Propam,” kata Kabid Propam Polda Papua, Kombes Pol Gustav Urbinas kepada wartawan, Sabtu (16/7).

AI sendiri sedang dimintai keterangan  untuk kepentingan penyidikan KPK karena melekat langsung dengan RHP dan ketiganya diamankan untuk memperlancar proses penyidikan KPK. “Secara internal kami perlu memeriksa 3 personel terkait pertama penugasan menjadi ajudan maupun pengawal pribadi dari RHP yang ditetapkan sebagai tersangka. Lalu dinas mereka  sebagai ajudan dan walpri tadi sebab ada indikasi mereka membantu RHP yang kurang kooperatif terhadap penyidikan yang dilakukan KPK. Artinya anggota Polri tidak perlu terlibat dalam perkara yang dihadapi seorang tersangka makanya dilakukan penarikan dulu,” tegas Gustav.

Lalu sesuai perintah Kapolda yakni mengecek surat tugas dari ketiga personel ini. “AI dan JW sudah diperiksa dan  kini ajudan RHP Bripka EW. Ketiganya kami tempatkan di tempat khusus ditahan di provost dan dikaji pelanggaran kode etik profesi Polri. Mereka akan ditahan maksimal 30 hari selama kepentingan memeriksa atau membantu penegakan hukum yang dibutuhkan KPK,” imbuh Gustav.

“Yang jelas tiga orang ini diamankan karena cukup menghambat proses penyidikan KPK. Perintah pimpinan adalah ditarik dan kami akan cek lagi apakah masih ada anggota yang lain yang akan diperiksa,” tutup Gustav. (rel/fia/ade/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya