Monday, May 20, 2024
25.7 C
Jayapura

Terdakwa Pengibar BK, Tahanan Politik

JAYAPURA-Emanuel Gobay, SH, MH, sebagai kuasa hukum dari terdakwa Melvin Yobe (29) dan kawan-kawannya, menilai kliennya ini sebagai tahanan politik, dalam kasus  pengibaran bendera bintang kejora di depan GOR Cenderawasih, Jayapura pada 2  Desember 2021 lalu. Hal ini karena pasal yang digunakan dalam kasus makar tersebut adalah pasal 106 (pasal makar).    

   Menurut Emanuel Gobay, pasal makar dalam konteks teori pidana itu masuk dalam delik delik politik., Sehingga menurut dia siapa pun orang yang dijerat dengan pasal makar, semuanya di sebut tahanan politik, karena dituduh melakukan delik politik.

  “Apabila ada pihak yang menganggap bahwa kasus ini bukan tahanan politik, maka kami minta untuk bersama sama ajukan ke MK untuk mencabut delik politik dalam pasal pasal makar tersebut, karena hal ini kami anggap menjadi akar dari penyelesaian masalah atas kasusnya Malvin dan Kawan kawannya”, tandas Emanuel Gobay, pada Selasa, (14/6) kemarin.

Baca Juga :  Presiden Jokowi Luncurkan 5G Mining Freeport Pertama di Asia Tenggara

  Apabila tidak ingin ada istilah tahanan politik pada kasus makar di Indonesia, maka menurut Emanuel Gobay,  delik politik pada pasal makar yang termuat pada kitab undang undang Hukum pidana harus dicabut.

  “Apa yang dilakukan oleh klien kami pada, 2 Desember tahun 2021 lalu hanya memperingati Hari sejarah politik orang Papua. Jadi bukan semata mata dengan sengaja mereka lakukan pengibaran bendera Bintang Kejora”, tegasnya.

   Di katakannya jika memahami isi dari UU No. 21 tahun 2001 tentang otonomi Khsuss (Otsus) atau yang diubah menjadi UU No. 2 tahun 2021,  menegaskan bahwa dasar menimbang lahirnya UU Otsus karena memperlajari pemahaman politik orang Papua yang kemudian orang Papua menuntut adanya pemenuhan hak hak secara bermartabat.

Baca Juga :  Relaksasi Tahap Tiga, Wewenang Diberikan kepada Bupati/Wali Kota

   Emanuel Gobay menjelaskan dalam konteks perlindungan Hak Asasi Manusia ada dua macam agenda yang perlu ditawarkan pertama harus adanya pembentukan komnas HAM dan pengadilan khusus penyelesaian kasus HAM yang ada di Papua. Selain itu dia tuntut kepada MK perlu adanya pembentukan Komisi pelindungan hak asasi manusia di Papua.

  “Tujuan dari pada penuntutan terhadap pembentukan pengadilan HAM di Papua agar semua kasus HAM yang ada di Papua dapat diselesaikan di Pengadilan Khusus Hak Asasi Manusia sehingga tidak adanya istilah penahan politik”, pungkasnya. (CR-267/tri)

JAYAPURA-Emanuel Gobay, SH, MH, sebagai kuasa hukum dari terdakwa Melvin Yobe (29) dan kawan-kawannya, menilai kliennya ini sebagai tahanan politik, dalam kasus  pengibaran bendera bintang kejora di depan GOR Cenderawasih, Jayapura pada 2  Desember 2021 lalu. Hal ini karena pasal yang digunakan dalam kasus makar tersebut adalah pasal 106 (pasal makar).    

   Menurut Emanuel Gobay, pasal makar dalam konteks teori pidana itu masuk dalam delik delik politik., Sehingga menurut dia siapa pun orang yang dijerat dengan pasal makar, semuanya di sebut tahanan politik, karena dituduh melakukan delik politik.

  “Apabila ada pihak yang menganggap bahwa kasus ini bukan tahanan politik, maka kami minta untuk bersama sama ajukan ke MK untuk mencabut delik politik dalam pasal pasal makar tersebut, karena hal ini kami anggap menjadi akar dari penyelesaian masalah atas kasusnya Malvin dan Kawan kawannya”, tandas Emanuel Gobay, pada Selasa, (14/6) kemarin.

Baca Juga :  OJK Gelas Sosialisasi Tindak Pidana Sektor Jasa Keuangan

  Apabila tidak ingin ada istilah tahanan politik pada kasus makar di Indonesia, maka menurut Emanuel Gobay,  delik politik pada pasal makar yang termuat pada kitab undang undang Hukum pidana harus dicabut.

  “Apa yang dilakukan oleh klien kami pada, 2 Desember tahun 2021 lalu hanya memperingati Hari sejarah politik orang Papua. Jadi bukan semata mata dengan sengaja mereka lakukan pengibaran bendera Bintang Kejora”, tegasnya.

   Di katakannya jika memahami isi dari UU No. 21 tahun 2001 tentang otonomi Khsuss (Otsus) atau yang diubah menjadi UU No. 2 tahun 2021,  menegaskan bahwa dasar menimbang lahirnya UU Otsus karena memperlajari pemahaman politik orang Papua yang kemudian orang Papua menuntut adanya pemenuhan hak hak secara bermartabat.

Baca Juga :  Warga Jangan Takut Berikan Kesaksian

   Emanuel Gobay menjelaskan dalam konteks perlindungan Hak Asasi Manusia ada dua macam agenda yang perlu ditawarkan pertama harus adanya pembentukan komnas HAM dan pengadilan khusus penyelesaian kasus HAM yang ada di Papua. Selain itu dia tuntut kepada MK perlu adanya pembentukan Komisi pelindungan hak asasi manusia di Papua.

  “Tujuan dari pada penuntutan terhadap pembentukan pengadilan HAM di Papua agar semua kasus HAM yang ada di Papua dapat diselesaikan di Pengadilan Khusus Hak Asasi Manusia sehingga tidak adanya istilah penahan politik”, pungkasnya. (CR-267/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya