Friday, March 29, 2024
30.7 C
Jayapura

Diduga Memenuhi Unsur Pelanggaran HAM Berat

Frits Ramandey (FOTO: Elfira/Cepos)

Terkait Penembakan Dua Warga Sipil di Timika

JAYAPURA- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, aksi penembakan salah sasaran yang dilakukan oknum aparat Satgas Pamtas Mobile Gab YR 712 dan YR 900 terhadap dua warga sipil bernama Eben Bebari  (20) dan Rony Wandik (23) yang terjadi di MP 34 area PT. Freeport, Kuala Kencana, Kabupaten Mimika, Senin (13/4), patut diduga memenuhi unsur pelanggaran HAM Berat.

Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua dan Papua Barat, Frits Ramandey menyebut, insiden tewasnya dua warga sipil di Mimika diduga memenuhi unsur HAM Berat dikarenakan ada komando di sana.

“Menghilangkan hak hidup warga negara di luar  prosedur yang tetap adalah pelanggaran HAM, seharusnya penegakan hukum harus dilakukan berdasarkan ukuran dan tindakan yang terukur,” tegas Frits kepada Cenderawasih Pos, Rabu (15/4). 

Lanjut Frits, dikarenakan kejadian ini dalam rangka operasi sehingga ada perintah. Untuk itu, patut diduga memenuhi unsur pelanggaran HAM Berat karena anggota melakukan tindakan yang salah.

“Peristiwa Mamberamo dan Timika menjadi bahan gugatan publik atas nama penegakan HAM. Oleh sebab itu Komnas HAM meminta kepada panglima TNI dan Kepala Staf TNI AD untuk mengevaluasi seluruh satgas TNI yang ditempatkan  di wilayah papua,” paparnya.

Frits juga menyebut bahwa penembakan terhadap dua warga sipil di MP 34 mengingatkan TNI terhadap kasus yang terjadi di Distrik Fayit, Kabupaten Merauke yang hingga saat ini belum ada kejelasan dalam penenganan kasusnya.

“Ini menjadi evaluasi Komandan Panglima Angkatan Darat bahwa ternyata penempatan Satgas Pinangsiri menimbulkan masalah baru di Papua. Satgas tak boleh kerja ataupun bertindak sendiri-sendiri,” terangnya.

Dengan kejadian yang kerap dilakukan Satgas ini, Frits menyebut ini suatu bukti bahwa Satgas turut berkontribusi pada kekacauan dan keamanan di papua hingga melakukan pelanggaran HAM.

“Bagaimanapun kasus ini harus diproses, apalagi laporan yang diterima Komnas HAM dari keluarga korban bawa dua pemuda ini saat itu sedang mandi dan mencari ikan namun malah dikira kelompok bersenjata hingga aparat melakukan Tindakan yang keliru dengan menembak mereka,” tegasnya.

Sebelumnya, dua warga sipil menjadi korban tembak salah sasaran yang dilakukan aparat keamanan di Kabupaten Mimika tepatnya di MP 34  area PT. Freeport Indonesia Kuala Kencana, Kabupaten Mimika, Senin (13/4). Adapun dua korban tersebut bernama Eben Bebari  (20) dan Rony Wandik (23). 

Anggota DPR RI Dapil Papua Yan P Mandenas foto bersama dengan Panglima TNI, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto usai rapat kerja Komisi I DPR RI, Rabu (15/4). ( FOTO: ISTIMEWA)

Secara terpisah, anggota DPR RI Dapil Papua, Yan P Mandenas menyebutkan gelar kekuatan dilakukan diberbagai daerah di Indonesia dan salah satunya adalah provinsi Papua yang berada di timur Indonesia. 

Papua menurutnya menjadi salah satu daerah yang disebut memiliki ancaman nyata. Salah satunya adalah keberadaan organisasi pro kemerdekaan Papua yang menolak kehadiran TNI dan hal tersebut didukung oleh kelompok masyarakat lain yang pernah merasakan kekerasan langsung maupun tidak langsung yang terjadi di Papua.

Baca Juga :  Menteri BKPM Lepas Pengiriman Konsentrat Freeport

“Selama ini gelar pertahanan selalu dilakukan berdasarkan kondisi geografis Indonesia atau dalam kata lain ada arsitektur pertahanan militer yang disusun dalam postur pertahanan negara. Dalam dokumen postur pertahanan negara disiapkan dengan memperhatikan doktrin pertahanan negara dalam strategi pertahanan negara sesuai faktor geopolitik, geostrategi Indonesia dan karakteristik negara Indonesia yang berupa kepulauan,” jelasnya kepada Cenderawasih Pos, kemarin.  

Dalam gelar kekuatan yang dilakukan di Papua, militer menurutnya tentunya akan memperhatikan faktor geopolitik dan geostrategi Indonesia, sehingga penempatan Kodam, Batalyon, Kodim, Koramil, dan Pos pengamanan lainnya sudah seharusnya dilakukan sesuai strategi pertahanan negara. 

Hal ini menjadi penting agar anggota TNI yang ditempatkan di Papua dapat bekerja secara profesional dan tidak menjadi ancaman bagi masyarakat maupun lembaga lain seperti kepolisian dan satuan polisi penegak peraturan daerah serta pemerintah daerah sendiri.

Dalam menjalankan tugas sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan negara, TNI diakuinya kerap kali berkonflik dengan institusi kepolisian. Dua institusi negara yang bertugas menjaga pertahanan keamanan dan keamanan ketertiban ini sering berkonflik dengan berbagai alasan bahkan alasan sepele sekalipun.

“Konflik yang terjadi di Papua ini telah memperpanjang konflik antara TNI dan Polri. Dapat kita saksikan penampilan pejabat elit TNI dan Polri terlihat sangat akur dan tertawa bersama namun anggota level angkat rumput selalu adu otot bagai bara dalam sekam yang siap membakar kapan saja,” ujarnya.

“Konflik TNI dan Polri di Papua ini menjadi pantauan serius kami. Setelah melakukan monitoring dan temuan kami selama berkunjung ke Papua, yaitu kami melihat penampatan Satgas Yonif 755 dan penempatan pasukan TNI di Papua saat ini kurang singkron antara Pangkogabwilhan yang melaksanakan sebagian kewenangan Panglima TNI sehingga secara khusus untuk beberapa kasus yang terjadi di Papua Pangdam harus berkordinasi dengan Pangkogabwilhan lewat Mabes TNI. Ketika ada pelanggaran kode etik prajurit yang dilakukan saat bertugas di daerah, hal ini juga menimbulkan pengendalian pasukan non organik dan pasukan organik oleh dua komandan dalam satu wilayah teritorial antara Pangdam XVII/Cenderawasih dan Pangkogabwilhan dengan dua fungsi yang berbeda. Pangdam melaksankan pembinaan terirorial dan Pangkogabwilhan melaksanakan fungsi pertahanan negara dengan pendekatan militeristik. Akibatnya sering terjadi kontak senjata baik dengan masyarakat bahkan dengan anggota Polri yang bertugas di daerah,” sambungnya. 

Selain itu, beberapa kasus penembakan juga sering dilakukan oleh oknum anggota militer kepada masyarakat, seperti kasus terbaru di Mimika.

Baca Juga :  Identitas Korban Masih Misterius

Berdasarkan hal tersebut, maka ada beberapa hal yang akan direkomendasikan kepada Panglima TNI agar memperhatikan gelar kekuatan pertahanan di Papua dan profesionalisme anggota TNI dalam menjalankan tugas.

Rekomendasi tersebut menurut Mandenas antara lain, Panglima TNI perlu melakukan evaluasi langsung terhadap seluruh kekuatan

pertahanan yang ada di Papua dari tingkat Kodam hingga Pospam. Juga mengevaluasi  kinerja, perlu dilakukan secara berskala di Papua mengingat faktor geopolitik terhadap ancaman disintegrasi bangsa;

“Panglima TNI bersama Dinas Psikologi AD, AL, dan AU perlu melakukan tes psikologi dan kesiapan mental ulang bagi para prajurit yang akan ditugaskan di pedalaman Papua, mengingat banyak terjadi kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI.  Panglima TNI dianggap perlu untuk membuat peraturan panglima terkait pembatasan penugasan pasukan dari luar Papua. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat banyak penugasan yang dilakukan kodam atau batalyon lain di luar Papua dengan tujuan pengamanan tetapi malah menambah jumlah kekerasan militer di Papua,” ucapnya.

Ditambahkan, jika penugasan militer dari luar Papua tetap dilakukan maka harus ada pemeriksaan psikologi, kesiapan mental yang dilakukan dengan masa persiapan minimal tiga bulan pelatihan dipusat pelatihan terpadu. 

Mandenas juga meminta agar penempatan pasukan organik hanya dilakukan jika ada permintaan dari masyarakat atau pemerintah daerah.”Panglima TNI perlu membuat peraturan panglima terkait dengan misi perdamaian dalam negeri khusus Papua, TNI hadir untuk membawa damai seperti salah satu tugas TNI menciptakan perdamaian dunia sesuai politik luar negeri dan bisa diterapkan didalam negeri dalam peraturan panglima menciptakan perdamaian sesuai politik dalam negeri Indonesia,” tambahnya.

Mengenai berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum militer kepada masyarakat Papua, Mandenas meminta harus diadili secara terbuka agar tidak membentuk opini masyarakat anti kepada militer dan oknum anggota yang terlibat dalam setiap tindakan kekerasan dihukum sesuai Undang-undang yang berlaku.

“Panglima TNI bersama Kapolri menindak lanjuti konflik yang terjadi antar institusi TNI dan Polri di Papua agar tidak menjadi penghalang dalam menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Perlu adanya latihan bersama berkesinambungan antara TNI dan Polri untuk menambah kekompakan dalam menjalankan tugas negara,” tuturnya. 

“Kejadian penembakan terhadap dua warga Papua yang baru saja terjadi di Timika Papua harus menjadi perhatian Panglima TNI dalam penempatan pasukan non organik di Papua. Panglima TNI diharapkan memberikan kesempatan kepada putra/putri daerah Papua yang memiliki jenjang karir bagus dalam TNI untuk menjadi komandan batalyon, Komandan Kodim, dan komadan Koramil serta Pospam lainnya agar dapat mengontrol tindakan atau kegiatan yang dilakukan di tengah masyarakat,” pungkasnya.(fia/nat)

Frits Ramandey (FOTO: Elfira/Cepos)

Terkait Penembakan Dua Warga Sipil di Timika

JAYAPURA- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai, aksi penembakan salah sasaran yang dilakukan oknum aparat Satgas Pamtas Mobile Gab YR 712 dan YR 900 terhadap dua warga sipil bernama Eben Bebari  (20) dan Rony Wandik (23) yang terjadi di MP 34 area PT. Freeport, Kuala Kencana, Kabupaten Mimika, Senin (13/4), patut diduga memenuhi unsur pelanggaran HAM Berat.

Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua dan Papua Barat, Frits Ramandey menyebut, insiden tewasnya dua warga sipil di Mimika diduga memenuhi unsur HAM Berat dikarenakan ada komando di sana.

“Menghilangkan hak hidup warga negara di luar  prosedur yang tetap adalah pelanggaran HAM, seharusnya penegakan hukum harus dilakukan berdasarkan ukuran dan tindakan yang terukur,” tegas Frits kepada Cenderawasih Pos, Rabu (15/4). 

Lanjut Frits, dikarenakan kejadian ini dalam rangka operasi sehingga ada perintah. Untuk itu, patut diduga memenuhi unsur pelanggaran HAM Berat karena anggota melakukan tindakan yang salah.

“Peristiwa Mamberamo dan Timika menjadi bahan gugatan publik atas nama penegakan HAM. Oleh sebab itu Komnas HAM meminta kepada panglima TNI dan Kepala Staf TNI AD untuk mengevaluasi seluruh satgas TNI yang ditempatkan  di wilayah papua,” paparnya.

Frits juga menyebut bahwa penembakan terhadap dua warga sipil di MP 34 mengingatkan TNI terhadap kasus yang terjadi di Distrik Fayit, Kabupaten Merauke yang hingga saat ini belum ada kejelasan dalam penenganan kasusnya.

“Ini menjadi evaluasi Komandan Panglima Angkatan Darat bahwa ternyata penempatan Satgas Pinangsiri menimbulkan masalah baru di Papua. Satgas tak boleh kerja ataupun bertindak sendiri-sendiri,” terangnya.

Dengan kejadian yang kerap dilakukan Satgas ini, Frits menyebut ini suatu bukti bahwa Satgas turut berkontribusi pada kekacauan dan keamanan di papua hingga melakukan pelanggaran HAM.

“Bagaimanapun kasus ini harus diproses, apalagi laporan yang diterima Komnas HAM dari keluarga korban bawa dua pemuda ini saat itu sedang mandi dan mencari ikan namun malah dikira kelompok bersenjata hingga aparat melakukan Tindakan yang keliru dengan menembak mereka,” tegasnya.

Sebelumnya, dua warga sipil menjadi korban tembak salah sasaran yang dilakukan aparat keamanan di Kabupaten Mimika tepatnya di MP 34  area PT. Freeport Indonesia Kuala Kencana, Kabupaten Mimika, Senin (13/4). Adapun dua korban tersebut bernama Eben Bebari  (20) dan Rony Wandik (23). 

Anggota DPR RI Dapil Papua Yan P Mandenas foto bersama dengan Panglima TNI, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto usai rapat kerja Komisi I DPR RI, Rabu (15/4). ( FOTO: ISTIMEWA)

Secara terpisah, anggota DPR RI Dapil Papua, Yan P Mandenas menyebutkan gelar kekuatan dilakukan diberbagai daerah di Indonesia dan salah satunya adalah provinsi Papua yang berada di timur Indonesia. 

Papua menurutnya menjadi salah satu daerah yang disebut memiliki ancaman nyata. Salah satunya adalah keberadaan organisasi pro kemerdekaan Papua yang menolak kehadiran TNI dan hal tersebut didukung oleh kelompok masyarakat lain yang pernah merasakan kekerasan langsung maupun tidak langsung yang terjadi di Papua.

Baca Juga :  Poksus Minta DPRP Segera Gelar Bamus Bahas Insiden Pegubin

“Selama ini gelar pertahanan selalu dilakukan berdasarkan kondisi geografis Indonesia atau dalam kata lain ada arsitektur pertahanan militer yang disusun dalam postur pertahanan negara. Dalam dokumen postur pertahanan negara disiapkan dengan memperhatikan doktrin pertahanan negara dalam strategi pertahanan negara sesuai faktor geopolitik, geostrategi Indonesia dan karakteristik negara Indonesia yang berupa kepulauan,” jelasnya kepada Cenderawasih Pos, kemarin.  

Dalam gelar kekuatan yang dilakukan di Papua, militer menurutnya tentunya akan memperhatikan faktor geopolitik dan geostrategi Indonesia, sehingga penempatan Kodam, Batalyon, Kodim, Koramil, dan Pos pengamanan lainnya sudah seharusnya dilakukan sesuai strategi pertahanan negara. 

Hal ini menjadi penting agar anggota TNI yang ditempatkan di Papua dapat bekerja secara profesional dan tidak menjadi ancaman bagi masyarakat maupun lembaga lain seperti kepolisian dan satuan polisi penegak peraturan daerah serta pemerintah daerah sendiri.

Dalam menjalankan tugas sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan negara, TNI diakuinya kerap kali berkonflik dengan institusi kepolisian. Dua institusi negara yang bertugas menjaga pertahanan keamanan dan keamanan ketertiban ini sering berkonflik dengan berbagai alasan bahkan alasan sepele sekalipun.

“Konflik yang terjadi di Papua ini telah memperpanjang konflik antara TNI dan Polri. Dapat kita saksikan penampilan pejabat elit TNI dan Polri terlihat sangat akur dan tertawa bersama namun anggota level angkat rumput selalu adu otot bagai bara dalam sekam yang siap membakar kapan saja,” ujarnya.

“Konflik TNI dan Polri di Papua ini menjadi pantauan serius kami. Setelah melakukan monitoring dan temuan kami selama berkunjung ke Papua, yaitu kami melihat penampatan Satgas Yonif 755 dan penempatan pasukan TNI di Papua saat ini kurang singkron antara Pangkogabwilhan yang melaksanakan sebagian kewenangan Panglima TNI sehingga secara khusus untuk beberapa kasus yang terjadi di Papua Pangdam harus berkordinasi dengan Pangkogabwilhan lewat Mabes TNI. Ketika ada pelanggaran kode etik prajurit yang dilakukan saat bertugas di daerah, hal ini juga menimbulkan pengendalian pasukan non organik dan pasukan organik oleh dua komandan dalam satu wilayah teritorial antara Pangdam XVII/Cenderawasih dan Pangkogabwilhan dengan dua fungsi yang berbeda. Pangdam melaksankan pembinaan terirorial dan Pangkogabwilhan melaksanakan fungsi pertahanan negara dengan pendekatan militeristik. Akibatnya sering terjadi kontak senjata baik dengan masyarakat bahkan dengan anggota Polri yang bertugas di daerah,” sambungnya. 

Selain itu, beberapa kasus penembakan juga sering dilakukan oleh oknum anggota militer kepada masyarakat, seperti kasus terbaru di Mimika.

Baca Juga :  Penyaluran Dana Kampung di Mamberamo Tengah Dilakukan Terbuka

Berdasarkan hal tersebut, maka ada beberapa hal yang akan direkomendasikan kepada Panglima TNI agar memperhatikan gelar kekuatan pertahanan di Papua dan profesionalisme anggota TNI dalam menjalankan tugas.

Rekomendasi tersebut menurut Mandenas antara lain, Panglima TNI perlu melakukan evaluasi langsung terhadap seluruh kekuatan

pertahanan yang ada di Papua dari tingkat Kodam hingga Pospam. Juga mengevaluasi  kinerja, perlu dilakukan secara berskala di Papua mengingat faktor geopolitik terhadap ancaman disintegrasi bangsa;

“Panglima TNI bersama Dinas Psikologi AD, AL, dan AU perlu melakukan tes psikologi dan kesiapan mental ulang bagi para prajurit yang akan ditugaskan di pedalaman Papua, mengingat banyak terjadi kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI.  Panglima TNI dianggap perlu untuk membuat peraturan panglima terkait pembatasan penugasan pasukan dari luar Papua. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat banyak penugasan yang dilakukan kodam atau batalyon lain di luar Papua dengan tujuan pengamanan tetapi malah menambah jumlah kekerasan militer di Papua,” ucapnya.

Ditambahkan, jika penugasan militer dari luar Papua tetap dilakukan maka harus ada pemeriksaan psikologi, kesiapan mental yang dilakukan dengan masa persiapan minimal tiga bulan pelatihan dipusat pelatihan terpadu. 

Mandenas juga meminta agar penempatan pasukan organik hanya dilakukan jika ada permintaan dari masyarakat atau pemerintah daerah.”Panglima TNI perlu membuat peraturan panglima terkait dengan misi perdamaian dalam negeri khusus Papua, TNI hadir untuk membawa damai seperti salah satu tugas TNI menciptakan perdamaian dunia sesuai politik luar negeri dan bisa diterapkan didalam negeri dalam peraturan panglima menciptakan perdamaian sesuai politik dalam negeri Indonesia,” tambahnya.

Mengenai berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum militer kepada masyarakat Papua, Mandenas meminta harus diadili secara terbuka agar tidak membentuk opini masyarakat anti kepada militer dan oknum anggota yang terlibat dalam setiap tindakan kekerasan dihukum sesuai Undang-undang yang berlaku.

“Panglima TNI bersama Kapolri menindak lanjuti konflik yang terjadi antar institusi TNI dan Polri di Papua agar tidak menjadi penghalang dalam menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Perlu adanya latihan bersama berkesinambungan antara TNI dan Polri untuk menambah kekompakan dalam menjalankan tugas negara,” tuturnya. 

“Kejadian penembakan terhadap dua warga Papua yang baru saja terjadi di Timika Papua harus menjadi perhatian Panglima TNI dalam penempatan pasukan non organik di Papua. Panglima TNI diharapkan memberikan kesempatan kepada putra/putri daerah Papua yang memiliki jenjang karir bagus dalam TNI untuk menjadi komandan batalyon, Komandan Kodim, dan komadan Koramil serta Pospam lainnya agar dapat mengontrol tindakan atau kegiatan yang dilakukan di tengah masyarakat,” pungkasnya.(fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya