Sunday, April 28, 2024
29.7 C
Jayapura

Kapolda Papua Tegaskan Ada Perbuatan Melawan Hukum

KETERANGAN PERS: Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw didampingi Wakapolda Papua dan para Kapolres yang baru dilantik saat memberikan keterangan persnya di Mapolda Papua, Jumat (12/6) ( FOTO: Elfira/Cepos)

*Tokoh Agama se-Papua Minta Presiden Jokowi Bebaskan Buchtar Cs Tanpa Syarat 

JAYAPURA-Mengamati perkembangan di lapangan, mulai dari adanya petisi hingga aksi yang dibuat beberapa tokoh maupun aktivis mahasiswa. Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw meminta, para mahasiswa serta seluruh tokoh masyarakat agar benar-benar memahami rentetan permasalahan yang melilit tujuh terdakwa dibalik kerusuhan Jayapura pada Agustus 2019 lalu.

Kapolda menyampaikan, 7  terdakwa kasus dugaan makar yang sekarang diproses sidang hingga menjelang putusan di Pengadilan Negeri Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur.

“Persoalan yang didengung-dengungkan rasisme yang menyentuh perasaan, ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pihak. Itu sudah kita tangani, malah kita tangkap. Karena hukum positif negara seperti itu,” ucap Kapolda Paulus Waterpauw kepada wartawan usai melantik 5 Kapolres di Mapolda Papua, Jumat (12/6).

Menurutnya, 7 orang yang diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan yakni Buchtar Tabuni, Agus Kossay, Steven Itlay, Alexander Gobay, Fery Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin sebagai sosok tokoh yang dikategorikan sebagai pengendali dalam rangka membantu mendorong mendukung kekerasan itu terjadi.

“Perbuatan mereka ini otomatis dan saya akan paparkan secara gamblang tentang unsur-unsur perbuatan mereka, tentang siapa mereka. Bagaimana bendera merah putih di kantor gubernur diturunkan lalu diganti dengan bintang kejora. Serta masih banyak lainnya, nanti saya buka semuanya biar mereka tahu,” paparnya.

Kapolda juga menegaskan bahwa para pihak tidak menduga pihaknya melakukan suatu langkah dengan seenaknya. “Kita berbicara hukum dan kami punya sarana untuk itu,” tegasnya.

Ia mengajak masyarakat agar menghargai proses hukum yang berjalan. Apa pun hasilnya nanti, itulah yang menjadi keputusan terbaik oleh hakim terhadap ketujuh terdakwa.

“Saya berharap kepada para tokoh untuk kita berbicara. Klarifikasi dan hargai tugas kami. Kita hargai proses hukum. Apa pun hasilnya nanti itu adalah keputusan hakim. Jangan membuat opini yang acak. Kami ini yang memproses di lapangan,” bebernya.

“Terhadap 7 terdakwa ini akan pada ujungnya. Dimana ada keputusan hakim yang harus dihormati. Kalaupun seandainya kami tidak benar dalam melakukan sebuah proses dan hakim mengatakan polisi tidak benar.  Ya sudah, nanti salah satu sanksinya apa yang mau diputuskan oleh hakim,” sambungnya.

Adapun tujuh terdakwa yang disidangkan di Kalimantan Timur merupakan mahasiswa dan aktivis. Mereka ditangkap dan diadili pasca sejumlah demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. 

Dalam persidangan yang digelar PN Balikpapan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut ketujuh terdakwa dengan hukuman penjara antara lima tahun hingga 17 tahun. Dimana Buchtar Tabuni dituntut hukuman17 tahun penjara, Steven Itlay dan Agus Kossay masing-masing dituntut 15 tahun penjara. Alexander Gobay dan Fery Kombo masing-masing dituntut 10 tahun penjara. Sedangkan Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok dituntut hukuman lima tahun penjara. 

Sementara itu, permintaan agar 7 terdakwa kasus dugaan makar dibebaskan masih tetap muncul. Salah satunya dari pemimpin lintas agama se-Provinsi Papua yang meminta Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk membebaskan 7 terdakwa Buchtar Cs tanpa syarat.

Hal ini dikatakan para tokoh agama dalam menyerukan pernyataan moral  terhadap proses hukum 7 terdakwa dugaan makar yang saat ini menjalani proses hukum di PN Balikpapan. 

JUMPA PERS: Tokoh agama se-Provinsi Papua saat menggelar jumpa pers di Kantor Sekretariat FKUB Provinsi Papua, di APO, Distrik Japut, Jumat (12/6). (Noel/Cepos)

Hadir dalam pernyataan sikap tersebut di antaranya  Ketua Umum PGGP Papua Pendeta Lipiyus Biniluk M.Th, Ketua Badan Pekerja Am Sinode GKI di Tanah Papua, Pendeta Andrikus Mofu M.Th, Presiden GIDI Dorman Wandikbo, Presiden Gereja Baptis Papua, Pendeta Dr. Socrates Sofyan Yoman, Ketua Sinode Gereja Kingmi, Pendeta Dr  Benny Giay, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja se Kota Jayapura (PGGS). Yan Pieth Wambrauw M.Th, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Pdt. Hiskia Rollo S.Th., MM., Ketua MUI Papua K.H Saiful Islam Al Payage, Wakil Ketua Persatuan Umat Buddha Indonesia Papua, Ponco Sampoerna Winata dan tokoh agama lainnya. 

Dalam pernyataan yang dibacakan Ketua MUI Papua K.H Saiful Islam Al Payage, pemimpin lintas agama se-Provinsi Papua menyebutkan bahwa Presiden Jokowi mempunyai hati dan kerja nyata untuk Papua. Namun sayangnya, pembangunan infrastruktur tersebut hanya membuka isolasi antar daerah tetapi hati dan kehidupan masyarakat asli Papua belum tersentuh.

Baca Juga :  Belum Juga Disidangkan,  Tuntut Keadilan Negara

Pemimpin lintas agama se-Papua juga memberikan apresiasi kepada Presiden Jokowi atas kebijaksanaannya sehingga Otsus telah berjalan dan sebentar lagi akan berakhir. Namun Otsus yang sebentar lagi akan berakhir ini, masih menyisakan berbagai problem yang di dalamnya termasuk persoalan hukum. 

“Persoalan ini tentu meninggalkan luka dan kekecewaan di batin orang Papua. Saat ini, berbagai persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah terjadi di tanah Papua ternyata tidak pernah dapat terselesaikan. Sebagai contoh, kasus Wasior, Wamena, Paniai, Nduga dan Surabaya belum mendapatkan kejelasan dan keadilan secara hukum,” tuturnya. 

Dikatakan, selama ini dalam persidangan di pengadilan, berbagai keputusan hukum tidak berpihak kepada keadilan dan kebenaran. Fakta-fakta hukum yang terbukti di pengadilan tidak dihormati dan keputusan hakim lebih banyak berpihak kepada kebijakan pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki modal. 

“Fakta di lapangan, kasus ujaran kebencian dan tindakan rasis yang justru terjadi di luar tanah Papua yang ditujukan kepada para mahasiswa Papua. Namun faktanya pelaku ujaran rasis dihukum sangat rendah sedangkan mereka yang menolak perlakuan rasis justru dihukum berat. Hal seperti ini dikhawatirkan akan menghasilkan gejolak yang lebih besar di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, sebagal pimpinan lintas agama kami menyatakann menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan dengan tegas menolak berbagai bentuk ketidakadilan dan rasisme,” tegasnya. 

Menurut, manusia dalam eksistensinya di hadapan Tuhan dan konstitusi Negara Republik Indonesia memiliki kedudukan yang setara dalam hak, kewajiban, harkat dan martabat. ”Semua umat manusia memiliki nilai yang sama sebagai makhluk ciptakan Tuhan yang setara, mulia dan tidak ada perbedaan,” katanya.

Dikatakan, berawal dari kasus rasisme di Surabaya yang dilakukan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Yogyakarta dan Semarang pada tanggal 15-17 Agustus 2019, telah memicu aksi protes anti rasisme oleh masyarakat Papua dan berbagai kelompok yang bersolidaritas di seluruh tanah Papua dan di seluruh Indonesia sejak tanggal 19 Agustus hingga awal September 2019.

“Persoalan rasisme yang terjadi terhadap mahasiswa Papua telah menciderai kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga negara harus serius dalam menyelesaikan persoalan rasisme ini. Menurut pengamatan kami sebagai pemimpin umat beragama yang harus berdiri secara objektif, independent dan dalam kapasitas menyuarakan keadilan dan
kebenaran bahwa ketujuh terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan perlakuan rasis. Tetapi dalam dakwaan dan tuntutan di persidangan sangatlah jauh berbeda dengan data dan fakta di lapangan. Mereka korban rasisme tetapi justru dituduh melakukan gerakan makar. Mereka murni melakukan demonstrasi karena menolak rasis,” tambahnya. 

Tokoh agama di Papua mengamati bahwa proses hukum terhadap ketujuh terdakwa di Pengadilan Negeri Balikpapan – Kalimantan Timur tidak prosedural.
Mulai dari penangkapan yang sewenang-wenang, yang terjadi sejak proses penangkapan dan pemeriksaan yang tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah. Serta pemindahan para terdakwa yang dilakukan di luar Papua dimana tidak sesuai dengan tempat terjadinya peristiwa dan tanpa memberitahukan kepada keluarga serta penasihat hukumnya.

Pemindahan ini jelas membuat jarak antara tempat kejadian perkara sehingga keluarga terdakwa juga semakin jauh. Ini berdampak bagi tidak terdapatnya akses bagi keluarga terdakwa lainnya dan seluruh rakyat Papua untuk melihat persidangan secara terbuka. 

Walaupun secara hukum persidangan harus dilakukan secara terbuka, 7 terdakwa dalam proses hukum ini juga bertambah sulit dengan situasi pandemi Covid-19 sehingga membuat persidangan dilakukan secara online terhitung mulal awal bulan April 2020. “Persidangan secara online ini membuat proses pembuktian tidak dapat dilakukan secara optimal dan objektif. Mulai dari sinyal terganggu, waktu yang tidak tepat,” katanya.

Selain itu, masyarakat umum yang tidak dapat mengakses persidangan secara terbuka. Hal ini tentu
melanggar asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah serta terbuka untuk umum.

“Kami melihat bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap para terdakwa sangat tidak masuk akal karena jauh dari fakta persidangan. Saksi yang menjelaskan fakta-fakta sebagaimana tuduhan makar, melainkan saksi yang melakukan pengamanan terhadap aksi demo anti rasisme
tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019. Sedangkan saksi dari Kesbangpol sama sekali tidak mengetahui terdakwa dan dugaan perkara yang dilakukan. Termasuk tidak mengetahui organisasi mereka terdaftar di Kesbangpol atau tidak. Karena pendaftaran di Kesbangpol bukan merupakan kewajiban tetapi sukarela,” ucapnya. 

Baca Juga :  Langgar Pembatasan Aktivitas, Tempat Usaha Disegel

Disamping itu, tiga ahli yang diajukan Jaksa Penuntut Umum yakni ahli bahasa, ahli psikologi dan ahli hukum tata negara, keterangannya tidak mempunyai korelasi dugaan perbuatan makar yang didakwakan kepada terdakwa. “Jaksa Penuntut Umum juga tidak menghadirkan ahli pidana untuk mendukung pembuktiannya terhadap dakwaan tersebut,” katanya.  

Lanjutnya, dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum hanya memutar video demo anti rasisme dan sama sekali tidak menunjukkan barang bukti yang mendukung pembuktiannya bahwa terdakwa melakukan makar. Terdakwa melalui penasihat hukum dalam persidangan telah mengajukan 5 saksi fakta dan lima ahli yang terdiri dari ahli hukum tta negara, ahli pidana dan ahli filsafat hukum. 

“Ahli politik dan resolusi konflik dan ahli rasisme. Dari pengamatan kami berdasarkan bukti surat dan barang bukti serta keterangan saksi fakta bahwa terdakwa Ferry Kombo, Alex Gobay, Hengky Hilapok, Irwanus Uropmabin dan Agus Kossay bukan melakukan makar tetapi ikut dalam aksi demo anti rasisme di Jayapura. Ini sebagal reaksi atas tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 2019.  Sedangkan Buchtar Tabuni dan Steven Itlay sama sekali tidak terlibat dalam demo anti rasisme, maupun pertemuan kaitan dengan gerakan Papua Merdeka,” tegasnya.

Ahli juga menjelaskan bahwa demo menentang rasisme adalah merupakan kebebasan berekspresi yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi Sipol, UUD 1945, UU HAM dan UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 

Untuk itu agama sebagai wadah untuk menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan di negara ini meminta agar negara hadir dan berperan serius untuk menyelesaikan masalah rasisme serta menegakkan hukum secara adil dan bermartabat

“Apabila suara keagamaan tidak disampaikan, kami khawatir sekali bangsa ini kedepan gejolak sehingga sangat berbahaya. Karena memicu disintegrasi bangsa serta hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap negara. Terhadap realitas dan kondisti tersebut, kami para pemimpin umat beragam se-Papua meminta Presiden Republik Indonesia untuk serius menyelesaikan masalah
rasisme di Papua. Kami meiyampaikan hal ini guna membantu pemerintah agar terjadi stabilitas politik dan keamanan jangka panjang secara khusus di Papua dan Indonesia,” katanya.

“Kami meminta agar proses hukum terhadap ketujuh terdakwa yang sedang menjalani
persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan dilakukan secara lebih adil. Kasus berawal dari rasisme di Surabaya dan bukan makar. Negara harus bisa membedakan antara gerakan makar dan reaksi terhadap rasisme. Di tengah situasi pandemi Covid-19 dan situasi politik kedepan, maka tujuh terdakwa dapat dibebaskan tanpa syarat karena mereka korban rasis,” pungkasnya.

 Desakan memvonis bebaskan 7 terdakwa kasus dugaan makar juga datang dari Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Se-Indonesia (AMPTPI). Dimana AMPTPI mendesak majelis hakim memvonis bebas 7 tapol Papua di PN Balikpapan.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMPTPI, Januarius Lagowan mengatakan, 7 tapol Papua merupakan korban rasisme dan mereka bukan pelaku rasisme. Oleh karena itu, pihaknya mendesak agar para 7 tapol Papua yang saat ini menjalani persidangan di PN Balikpapan Kalimantan Timur untuk segera divonis bebas oleh hakim.

“Kami mendesak hakim segera memvonis bebas 7 tapol Papua tanpa syarat, karena mereka adalah korban rasisme,” tegasnya melalui siaran pers yang diterima Cenderawasih Pos, Jumat (12/6).

Lagowan mengatakan, pihaknya dari AMPTI mendesak kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Papua, DPR Papua, dan MRP, untuk bersama-sama menolak segala bentuk tindakan rasisme yang terjadi di seluruh Indonesia, khususnya di bumi cenderawasih.

Jika pernyataan ini tidak diakomodir dan tidak diindahkan, maka pihaknya akan mengkonsolidasikan rakyat Papua di seluruh tanah Papua untuk aksi rasisme jilid III di tanah Papua bahkan di seluruh Indoneisa. (fia/oel/bet/nat)

KETERANGAN PERS: Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw didampingi Wakapolda Papua dan para Kapolres yang baru dilantik saat memberikan keterangan persnya di Mapolda Papua, Jumat (12/6) ( FOTO: Elfira/Cepos)

*Tokoh Agama se-Papua Minta Presiden Jokowi Bebaskan Buchtar Cs Tanpa Syarat 

JAYAPURA-Mengamati perkembangan di lapangan, mulai dari adanya petisi hingga aksi yang dibuat beberapa tokoh maupun aktivis mahasiswa. Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw meminta, para mahasiswa serta seluruh tokoh masyarakat agar benar-benar memahami rentetan permasalahan yang melilit tujuh terdakwa dibalik kerusuhan Jayapura pada Agustus 2019 lalu.

Kapolda menyampaikan, 7  terdakwa kasus dugaan makar yang sekarang diproses sidang hingga menjelang putusan di Pengadilan Negeri Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur.

“Persoalan yang didengung-dengungkan rasisme yang menyentuh perasaan, ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pihak. Itu sudah kita tangani, malah kita tangkap. Karena hukum positif negara seperti itu,” ucap Kapolda Paulus Waterpauw kepada wartawan usai melantik 5 Kapolres di Mapolda Papua, Jumat (12/6).

Menurutnya, 7 orang yang diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan yakni Buchtar Tabuni, Agus Kossay, Steven Itlay, Alexander Gobay, Fery Kombo, Hengky Hilapok, dan Irwanus Uropmabin sebagai sosok tokoh yang dikategorikan sebagai pengendali dalam rangka membantu mendorong mendukung kekerasan itu terjadi.

“Perbuatan mereka ini otomatis dan saya akan paparkan secara gamblang tentang unsur-unsur perbuatan mereka, tentang siapa mereka. Bagaimana bendera merah putih di kantor gubernur diturunkan lalu diganti dengan bintang kejora. Serta masih banyak lainnya, nanti saya buka semuanya biar mereka tahu,” paparnya.

Kapolda juga menegaskan bahwa para pihak tidak menduga pihaknya melakukan suatu langkah dengan seenaknya. “Kita berbicara hukum dan kami punya sarana untuk itu,” tegasnya.

Ia mengajak masyarakat agar menghargai proses hukum yang berjalan. Apa pun hasilnya nanti, itulah yang menjadi keputusan terbaik oleh hakim terhadap ketujuh terdakwa.

“Saya berharap kepada para tokoh untuk kita berbicara. Klarifikasi dan hargai tugas kami. Kita hargai proses hukum. Apa pun hasilnya nanti itu adalah keputusan hakim. Jangan membuat opini yang acak. Kami ini yang memproses di lapangan,” bebernya.

“Terhadap 7 terdakwa ini akan pada ujungnya. Dimana ada keputusan hakim yang harus dihormati. Kalaupun seandainya kami tidak benar dalam melakukan sebuah proses dan hakim mengatakan polisi tidak benar.  Ya sudah, nanti salah satu sanksinya apa yang mau diputuskan oleh hakim,” sambungnya.

Adapun tujuh terdakwa yang disidangkan di Kalimantan Timur merupakan mahasiswa dan aktivis. Mereka ditangkap dan diadili pasca sejumlah demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. 

Dalam persidangan yang digelar PN Balikpapan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut ketujuh terdakwa dengan hukuman penjara antara lima tahun hingga 17 tahun. Dimana Buchtar Tabuni dituntut hukuman17 tahun penjara, Steven Itlay dan Agus Kossay masing-masing dituntut 15 tahun penjara. Alexander Gobay dan Fery Kombo masing-masing dituntut 10 tahun penjara. Sedangkan Irwanus Uropmabin dan Hengky Hilapok dituntut hukuman lima tahun penjara. 

Sementara itu, permintaan agar 7 terdakwa kasus dugaan makar dibebaskan masih tetap muncul. Salah satunya dari pemimpin lintas agama se-Provinsi Papua yang meminta Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk membebaskan 7 terdakwa Buchtar Cs tanpa syarat.

Hal ini dikatakan para tokoh agama dalam menyerukan pernyataan moral  terhadap proses hukum 7 terdakwa dugaan makar yang saat ini menjalani proses hukum di PN Balikpapan. 

JUMPA PERS: Tokoh agama se-Provinsi Papua saat menggelar jumpa pers di Kantor Sekretariat FKUB Provinsi Papua, di APO, Distrik Japut, Jumat (12/6). (Noel/Cepos)

Hadir dalam pernyataan sikap tersebut di antaranya  Ketua Umum PGGP Papua Pendeta Lipiyus Biniluk M.Th, Ketua Badan Pekerja Am Sinode GKI di Tanah Papua, Pendeta Andrikus Mofu M.Th, Presiden GIDI Dorman Wandikbo, Presiden Gereja Baptis Papua, Pendeta Dr. Socrates Sofyan Yoman, Ketua Sinode Gereja Kingmi, Pendeta Dr  Benny Giay, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja se Kota Jayapura (PGGS). Yan Pieth Wambrauw M.Th, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Pdt. Hiskia Rollo S.Th., MM., Ketua MUI Papua K.H Saiful Islam Al Payage, Wakil Ketua Persatuan Umat Buddha Indonesia Papua, Ponco Sampoerna Winata dan tokoh agama lainnya. 

Dalam pernyataan yang dibacakan Ketua MUI Papua K.H Saiful Islam Al Payage, pemimpin lintas agama se-Provinsi Papua menyebutkan bahwa Presiden Jokowi mempunyai hati dan kerja nyata untuk Papua. Namun sayangnya, pembangunan infrastruktur tersebut hanya membuka isolasi antar daerah tetapi hati dan kehidupan masyarakat asli Papua belum tersentuh.

Baca Juga :  Pelaku Utama Pemerkosaan Dibekuk

Pemimpin lintas agama se-Papua juga memberikan apresiasi kepada Presiden Jokowi atas kebijaksanaannya sehingga Otsus telah berjalan dan sebentar lagi akan berakhir. Namun Otsus yang sebentar lagi akan berakhir ini, masih menyisakan berbagai problem yang di dalamnya termasuk persoalan hukum. 

“Persoalan ini tentu meninggalkan luka dan kekecewaan di batin orang Papua. Saat ini, berbagai persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah terjadi di tanah Papua ternyata tidak pernah dapat terselesaikan. Sebagai contoh, kasus Wasior, Wamena, Paniai, Nduga dan Surabaya belum mendapatkan kejelasan dan keadilan secara hukum,” tuturnya. 

Dikatakan, selama ini dalam persidangan di pengadilan, berbagai keputusan hukum tidak berpihak kepada keadilan dan kebenaran. Fakta-fakta hukum yang terbukti di pengadilan tidak dihormati dan keputusan hakim lebih banyak berpihak kepada kebijakan pemerintah dan pihak-pihak yang memiliki modal. 

“Fakta di lapangan, kasus ujaran kebencian dan tindakan rasis yang justru terjadi di luar tanah Papua yang ditujukan kepada para mahasiswa Papua. Namun faktanya pelaku ujaran rasis dihukum sangat rendah sedangkan mereka yang menolak perlakuan rasis justru dihukum berat. Hal seperti ini dikhawatirkan akan menghasilkan gejolak yang lebih besar di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, sebagal pimpinan lintas agama kami menyatakann menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan dengan tegas menolak berbagai bentuk ketidakadilan dan rasisme,” tegasnya. 

Menurut, manusia dalam eksistensinya di hadapan Tuhan dan konstitusi Negara Republik Indonesia memiliki kedudukan yang setara dalam hak, kewajiban, harkat dan martabat. ”Semua umat manusia memiliki nilai yang sama sebagai makhluk ciptakan Tuhan yang setara, mulia dan tidak ada perbedaan,” katanya.

Dikatakan, berawal dari kasus rasisme di Surabaya yang dilakukan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, Yogyakarta dan Semarang pada tanggal 15-17 Agustus 2019, telah memicu aksi protes anti rasisme oleh masyarakat Papua dan berbagai kelompok yang bersolidaritas di seluruh tanah Papua dan di seluruh Indonesia sejak tanggal 19 Agustus hingga awal September 2019.

“Persoalan rasisme yang terjadi terhadap mahasiswa Papua telah menciderai kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga negara harus serius dalam menyelesaikan persoalan rasisme ini. Menurut pengamatan kami sebagai pemimpin umat beragama yang harus berdiri secara objektif, independent dan dalam kapasitas menyuarakan keadilan dan
kebenaran bahwa ketujuh terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan perlakuan rasis. Tetapi dalam dakwaan dan tuntutan di persidangan sangatlah jauh berbeda dengan data dan fakta di lapangan. Mereka korban rasisme tetapi justru dituduh melakukan gerakan makar. Mereka murni melakukan demonstrasi karena menolak rasis,” tambahnya. 

Tokoh agama di Papua mengamati bahwa proses hukum terhadap ketujuh terdakwa di Pengadilan Negeri Balikpapan – Kalimantan Timur tidak prosedural.
Mulai dari penangkapan yang sewenang-wenang, yang terjadi sejak proses penangkapan dan pemeriksaan yang tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah. Serta pemindahan para terdakwa yang dilakukan di luar Papua dimana tidak sesuai dengan tempat terjadinya peristiwa dan tanpa memberitahukan kepada keluarga serta penasihat hukumnya.

Pemindahan ini jelas membuat jarak antara tempat kejadian perkara sehingga keluarga terdakwa juga semakin jauh. Ini berdampak bagi tidak terdapatnya akses bagi keluarga terdakwa lainnya dan seluruh rakyat Papua untuk melihat persidangan secara terbuka. 

Walaupun secara hukum persidangan harus dilakukan secara terbuka, 7 terdakwa dalam proses hukum ini juga bertambah sulit dengan situasi pandemi Covid-19 sehingga membuat persidangan dilakukan secara online terhitung mulal awal bulan April 2020. “Persidangan secara online ini membuat proses pembuktian tidak dapat dilakukan secara optimal dan objektif. Mulai dari sinyal terganggu, waktu yang tidak tepat,” katanya.

Selain itu, masyarakat umum yang tidak dapat mengakses persidangan secara terbuka. Hal ini tentu
melanggar asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya murah serta terbuka untuk umum.

“Kami melihat bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap para terdakwa sangat tidak masuk akal karena jauh dari fakta persidangan. Saksi yang menjelaskan fakta-fakta sebagaimana tuduhan makar, melainkan saksi yang melakukan pengamanan terhadap aksi demo anti rasisme
tanggal 19 Agustus 2019 dan 29 Agustus 2019. Sedangkan saksi dari Kesbangpol sama sekali tidak mengetahui terdakwa dan dugaan perkara yang dilakukan. Termasuk tidak mengetahui organisasi mereka terdaftar di Kesbangpol atau tidak. Karena pendaftaran di Kesbangpol bukan merupakan kewajiban tetapi sukarela,” ucapnya. 

Baca Juga :  Langgar Pembatasan Aktivitas, Tempat Usaha Disegel

Disamping itu, tiga ahli yang diajukan Jaksa Penuntut Umum yakni ahli bahasa, ahli psikologi dan ahli hukum tata negara, keterangannya tidak mempunyai korelasi dugaan perbuatan makar yang didakwakan kepada terdakwa. “Jaksa Penuntut Umum juga tidak menghadirkan ahli pidana untuk mendukung pembuktiannya terhadap dakwaan tersebut,” katanya.  

Lanjutnya, dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum hanya memutar video demo anti rasisme dan sama sekali tidak menunjukkan barang bukti yang mendukung pembuktiannya bahwa terdakwa melakukan makar. Terdakwa melalui penasihat hukum dalam persidangan telah mengajukan 5 saksi fakta dan lima ahli yang terdiri dari ahli hukum tta negara, ahli pidana dan ahli filsafat hukum. 

“Ahli politik dan resolusi konflik dan ahli rasisme. Dari pengamatan kami berdasarkan bukti surat dan barang bukti serta keterangan saksi fakta bahwa terdakwa Ferry Kombo, Alex Gobay, Hengky Hilapok, Irwanus Uropmabin dan Agus Kossay bukan melakukan makar tetapi ikut dalam aksi demo anti rasisme di Jayapura. Ini sebagal reaksi atas tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 2019.  Sedangkan Buchtar Tabuni dan Steven Itlay sama sekali tidak terlibat dalam demo anti rasisme, maupun pertemuan kaitan dengan gerakan Papua Merdeka,” tegasnya.

Ahli juga menjelaskan bahwa demo menentang rasisme adalah merupakan kebebasan berekspresi yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi Sipol, UUD 1945, UU HAM dan UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 

Untuk itu agama sebagai wadah untuk menegakkan kebenaran dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan di negara ini meminta agar negara hadir dan berperan serius untuk menyelesaikan masalah rasisme serta menegakkan hukum secara adil dan bermartabat

“Apabila suara keagamaan tidak disampaikan, kami khawatir sekali bangsa ini kedepan gejolak sehingga sangat berbahaya. Karena memicu disintegrasi bangsa serta hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap negara. Terhadap realitas dan kondisti tersebut, kami para pemimpin umat beragam se-Papua meminta Presiden Republik Indonesia untuk serius menyelesaikan masalah
rasisme di Papua. Kami meiyampaikan hal ini guna membantu pemerintah agar terjadi stabilitas politik dan keamanan jangka panjang secara khusus di Papua dan Indonesia,” katanya.

“Kami meminta agar proses hukum terhadap ketujuh terdakwa yang sedang menjalani
persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan dilakukan secara lebih adil. Kasus berawal dari rasisme di Surabaya dan bukan makar. Negara harus bisa membedakan antara gerakan makar dan reaksi terhadap rasisme. Di tengah situasi pandemi Covid-19 dan situasi politik kedepan, maka tujuh terdakwa dapat dibebaskan tanpa syarat karena mereka korban rasis,” pungkasnya.

 Desakan memvonis bebaskan 7 terdakwa kasus dugaan makar juga datang dari Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Se-Indonesia (AMPTPI). Dimana AMPTPI mendesak majelis hakim memvonis bebas 7 tapol Papua di PN Balikpapan.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMPTPI, Januarius Lagowan mengatakan, 7 tapol Papua merupakan korban rasisme dan mereka bukan pelaku rasisme. Oleh karena itu, pihaknya mendesak agar para 7 tapol Papua yang saat ini menjalani persidangan di PN Balikpapan Kalimantan Timur untuk segera divonis bebas oleh hakim.

“Kami mendesak hakim segera memvonis bebas 7 tapol Papua tanpa syarat, karena mereka adalah korban rasisme,” tegasnya melalui siaran pers yang diterima Cenderawasih Pos, Jumat (12/6).

Lagowan mengatakan, pihaknya dari AMPTI mendesak kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Papua, DPR Papua, dan MRP, untuk bersama-sama menolak segala bentuk tindakan rasisme yang terjadi di seluruh Indonesia, khususnya di bumi cenderawasih.

Jika pernyataan ini tidak diakomodir dan tidak diindahkan, maka pihaknya akan mengkonsolidasikan rakyat Papua di seluruh tanah Papua untuk aksi rasisme jilid III di tanah Papua bahkan di seluruh Indoneisa. (fia/oel/bet/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya