Saturday, April 20, 2024
26.7 C
Jayapura

Buchtar: Jakarta Jangan Batasi dan Buat Laporan Sepihak!

Membahas Papua, Menkopolhukam Harus Turun Tangan

JAYAPURA-Rencana Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia mengadakan pertemuan dengan Komisioner Tinggi HAM PBB sekaligus memberikan laporan soal berbagai bentuk pelanggaran HAM versi sendiri, mendapat kecaman dari Buchtar Tabuni, Ketua West Papua Council.

Pria yang juga menjadi pendiri Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ini menyatakan bahwa pemerintah pusat jangan membatasi kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB untuk mendapatkan data dan informasi yang langsung dari akar rumput. Apalagi membuat laporan sepihak tanpa memberi kesempatan kepada para korban untuk berbicara.

“Itu aneh sekali dan terlalu bodoh. Sebab Jakarta atau pemerintah pusat ini mereka pelaku kemudian mereka mau buat laporannya sendiri. Ini lucu,” sindir Buchtar saat ditemui di Waena, Sabtu (13/2).

Ia meminta Jakarta harus berjiwa besar menyelesaikan persoalan status politik dan pelanggaran HAM di West Papua (Papua) menurut mekanisme Hukum dan HAM Internasional di forum PBB.  Sebab, korban pelanggaran HAM bukan hanya orang asli Papua tetapi juga orang non Papua.

Pelanggaran HAM di West Papua terjadi sebagai akibat dari tuntutan rakyat bangsa Papua yang meminta menentukan nasib sendiri, berpisah dari negara kesatuan Republik Indonesia. “Indonesia terus membungkam dan menyembunyikan fakta sejarah tentang status politik Papua yang belum terselesaikan dengan adil dan bermartabat. Tuntutan hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua terus saja menggema. Dan satu-satunya upaya Indonesia untuk membungkamnya adalah dengan cara kekerasan. Cara-cara kekerasan mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia,” tudingnya.

Ia membeberkan bahwa pelanggaran HAM di West Papua sebagai akibat dari akumulasi kekerasan NKRI terhadap rakyat bangsa Papua  yang menuntut hak politik kemerdekaan bangsa Papua pada 1 Desember 1961  hingga 1 Desember 2021.

Terbukti selama 61 tahun, NKRI tidak mempunyai itikad baik menyelesaian status politik bangsa Papua dan penyelesaian pelanggaran HAM. Malahan memaksakan paket politik Otsus dan pemekaran sebagai “win-win solution”.

Ia mewanti bahwa pelanggaran HAM NKRI di West Papua telah menjadi sorotan MSG, PIF, ACP dan dunia internasional mendesak Dewan HAM PBB berkunjung ke West Papua. “Saat ini sudah mencapai 84 negara anggota PBB mendesak PBB untuk berkunjung ke West Papua.  Indonesia sudah tidak dapat membendung desakan ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia harus mempertanggungjawabkannya,” beber Buchtar.

Pria yang beberapa kali keluar masuk tahanan dan pernah berstatus DPO ini menyampaikan bahwa saat ini Indonesia tengah mengupayakan beberapa hal untuk menunjukkan sikap peduli dengan HAM. Pertama dengan mendorong terbentuknya KKR dan Pengadilan HAM untuk penyelesaian status politik dan pelanggaran HAM di West Papua menurut mekanisme hukum NKRI. Ini sebagai strategi pertanggungjawaban NKRI di mata dunia, terutama bila kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB ke West benar-benar terjadi.

Baca Juga :  Mantan Gubernur Serukan Jangan Pilih Pemimpin yang Tak Paham Isu Lingkungan

Lalu kedua, sebagai upaya membolak-balikan fakta pelanggaran HAM di West Papua. Dimana Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia akan mengadakan pertemuan pada tanggal, 14 Februari 2022 dengan agenda penyusunan tanggapan pemerintah Republik Indonesia atas komunikasi SPMH (Special Procedures Mandate Holder)  Dewan HAM PBB terkait berbagai isu di Papua dan Papua Barat.

Ini dilakukan di ruang rapat Nakula, Gd A Lt 6. Kemenko Polhukam, Jl. Medan Merdeka Barat No. 15, Jakarta Pusat. Nah terkait poin 1 dan 2  di atas, Buchtar mengaku menyangsikan apa yang akan disampaikan. “Masa pelaku pelanggar HAM menyusun laporan pelanggaran HAM yang dilakukannya sendiri. Masa, pelaku pelanggaran HAM membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Pengadilan HAM untuk mengadili dirinya sendiri. Ini tidak masuk akal dan tidak dapat diterima. Rakyat Papua sampai saat ini tetap menolak proses penyelesaian status politik West Papua dan pelanggaran HAM di West Papua menurut mekanisme Hukum dan HAM Republik Indonesia,” sindir Buchtar.

Ketua PNWP dan Deklarator ULMWP ini menyampaikan bahwa  Indonesia seharusnya berjiwa besar untuk menyelesaikan persoalan status politik dan pelanggaran HAM di West Papua menurut mekanisme hukum dan HAM Internasional di forum PBB. Sebab, korban pelanggaran HAM terjadi kepada orang Papua dan orang non Papua. “Ada aktivis, ada warga sipil, ada TNI-Polri, ada juga mahasiswa dan banyak kalangan yang jadi korban,”cecarnya.

Beberapa poin yang diminta kepada pemerintah adalah pertama, segera membuka akses bagi kunjungan komisioner tinggi HAM PBB ke West Papua untuk bertemu langsung dengan para korban. Kedua rakyat Papua sudah dan sedang mempersiapkan penyambutan kedatangan Komisioner Tinggi HAM PBB ke West Papua, ketiga segera menghentikan upaya domestifikasi persoalan status politik West Papua dan pelanggaran HAM di West Papua.

“Untuk penyambutan saat kedatangan nanti kami pastikan semua aman. Tidak ada gerakan tambahan karena kami juga masih berkomunikasi dan menghormati sebagai tuan rumah,” tutupnya.

Sementara itu, belakangan ini media sosial dihebohkan dengan beredarnya surat undangan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan di sejumlah media sosial.

Juru Bicara Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Christian Warinussy menganggap undangan tersebut terlihat seperti sengaja difoto oleh oknum tertentu lalu diedarkan secara tidak resmi kepada publik.

Menurut Yan, tujuannya kurang lebih untuk mengetahui reaksi publik di Indonesia, khususnya di tanah Papua. Sebab belum lama ini ada juga isu di sejumlah media sosial bahwa pelapor khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) akan mengunjungi Ttnah Papua.

“Isu ini juga tidak berdasar sama sekali, serta tidak memiliki dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebab mekanisme dan prosedur untuk adanya kunjungan seorang pelapor khusus itu sangat ditentukan oleh ada tidaknya undangan dari negara dimana sang pelapor hendak datang,” kata Advokat dan Pembela HAM peraih penghargaan internasional bidang HAM tahun 2005 di Canada ini.

Baca Juga :  Hanya Ditutup Tiga Hari

Misalnya lanjut Yan, jika pelapor khususnya hendak ke Indonesia, karena ada laporan yang diterimanya, maka dia harus lebih dahulu meminta izin masuk ke negara tersebut melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB.  Kemudian PBB akan menyurati pemerintah negara yang bersangkutan, sepertinya halnya Indonesia.  Indonesia kemudian akan mengirim undangan kepada PBB untuk mengirimkan pelapor khususnya, barulah proses dimaksud dapat berjalan.

Hal ini kata Yan, seperti yang dialaminya dalam kapasitas sebagai Advokat dan Pembela HAM saat dikunjungi dan bertemu dengan pelapor khusus bidang pembela HAM, pelapor khusus bidang penghilangan paksa dan anti penyiksaan maupun bidang kesehatan beberapa tahun lalu di tanah Papua.

“Surat yang sedang beredar saat ini adalah sebuah mekanisme lain di Dewan HAM PBB, atas laporan yang diterima dari para pelapor khusus soal penyiksaan, dugaan penghilangan paksa, penggunaan kekerasan secara berlebihan dan pemindahan paksa di Papua. Laporan tersebut dimintai klarifikasi kepada pemerintah Indonesia. Oleh karena jawaban tersebut menjadi bagian dari tupoksi Kementerian Luar Negeri, dan karena diduga perlakuan di atas terjadi pada ranah operasi militer/keamanan di tanah Papua, maka perlu dimintai keterangan dan data atau fakta dari TNI dan Polri,” tuturnya.

 Itulah sebabnya menurut Yan, Menko Polhukam perlu turun tangan mengundang semua pihak dalam ranah koordinasi untuk membahas dan membantu Kemenlu RI mempersiapkan jawaban klarifikasi atas pertanyaan Dewan HAM PBB.

“Jadi sesungguhnya bukan merupakan sesuatu yang menghebohkan atau perlu dihebohkan oleh kita sekalian. Yang terpenting adalah kita senantiasa bekerja memberi laporan termasuk mengenai setiap peristiwa yang memiliki indikasi kuat terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida yang termasuk dalam kategori the most serious crimes dan merupakan kejahatan internasional,” paparnya.

Sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, dirinya  memberi apresiasi tinggi kepada Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang mau memberi waktunya untuk menjawab pertanyaan klarifikasi dari Dewan HAM PBB tersebut.

Mengharapkan juga Presiden dapat membuka diri untuk mengundang segera pelapor khusus PBB dalam bidang anti penyiksaan, pemindahan paksa penduduk, penggunaan kekerasan secara berlebihan untuk dapat mengunjungi tanah Papua dalam tahun ini.

“Kunjungan ini penting demi menyelesaikan persoalan dugaan pelanggaran HAM berat yang senantiasa terjadi selama lebih dari 50 tahun semenjak operasi militer dan pilihan pendekatan keamanan digunakan oleh negara Indonesia,” tambahnya.

Yan juga mengiimbau seluruh rakyat Papua untuk tidak terpancing atau terprovokasi oleh beredarnya surat undangan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan di sejumlah media sosial sejak dua hari terakhir ini. (ade/oel/fia/nat)

Membahas Papua, Menkopolhukam Harus Turun Tangan

JAYAPURA-Rencana Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia mengadakan pertemuan dengan Komisioner Tinggi HAM PBB sekaligus memberikan laporan soal berbagai bentuk pelanggaran HAM versi sendiri, mendapat kecaman dari Buchtar Tabuni, Ketua West Papua Council.

Pria yang juga menjadi pendiri Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ini menyatakan bahwa pemerintah pusat jangan membatasi kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB untuk mendapatkan data dan informasi yang langsung dari akar rumput. Apalagi membuat laporan sepihak tanpa memberi kesempatan kepada para korban untuk berbicara.

“Itu aneh sekali dan terlalu bodoh. Sebab Jakarta atau pemerintah pusat ini mereka pelaku kemudian mereka mau buat laporannya sendiri. Ini lucu,” sindir Buchtar saat ditemui di Waena, Sabtu (13/2).

Ia meminta Jakarta harus berjiwa besar menyelesaikan persoalan status politik dan pelanggaran HAM di West Papua (Papua) menurut mekanisme Hukum dan HAM Internasional di forum PBB.  Sebab, korban pelanggaran HAM bukan hanya orang asli Papua tetapi juga orang non Papua.

Pelanggaran HAM di West Papua terjadi sebagai akibat dari tuntutan rakyat bangsa Papua yang meminta menentukan nasib sendiri, berpisah dari negara kesatuan Republik Indonesia. “Indonesia terus membungkam dan menyembunyikan fakta sejarah tentang status politik Papua yang belum terselesaikan dengan adil dan bermartabat. Tuntutan hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua terus saja menggema. Dan satu-satunya upaya Indonesia untuk membungkamnya adalah dengan cara kekerasan. Cara-cara kekerasan mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia,” tudingnya.

Ia membeberkan bahwa pelanggaran HAM di West Papua sebagai akibat dari akumulasi kekerasan NKRI terhadap rakyat bangsa Papua  yang menuntut hak politik kemerdekaan bangsa Papua pada 1 Desember 1961  hingga 1 Desember 2021.

Terbukti selama 61 tahun, NKRI tidak mempunyai itikad baik menyelesaian status politik bangsa Papua dan penyelesaian pelanggaran HAM. Malahan memaksakan paket politik Otsus dan pemekaran sebagai “win-win solution”.

Ia mewanti bahwa pelanggaran HAM NKRI di West Papua telah menjadi sorotan MSG, PIF, ACP dan dunia internasional mendesak Dewan HAM PBB berkunjung ke West Papua. “Saat ini sudah mencapai 84 negara anggota PBB mendesak PBB untuk berkunjung ke West Papua.  Indonesia sudah tidak dapat membendung desakan ini. Mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia harus mempertanggungjawabkannya,” beber Buchtar.

Pria yang beberapa kali keluar masuk tahanan dan pernah berstatus DPO ini menyampaikan bahwa saat ini Indonesia tengah mengupayakan beberapa hal untuk menunjukkan sikap peduli dengan HAM. Pertama dengan mendorong terbentuknya KKR dan Pengadilan HAM untuk penyelesaian status politik dan pelanggaran HAM di West Papua menurut mekanisme hukum NKRI. Ini sebagai strategi pertanggungjawaban NKRI di mata dunia, terutama bila kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB ke West benar-benar terjadi.

Baca Juga :  Tanggap Darurat Berakhir, Pemerintah Keluarkan SK Transisi Darurat

Lalu kedua, sebagai upaya membolak-balikan fakta pelanggaran HAM di West Papua. Dimana Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia akan mengadakan pertemuan pada tanggal, 14 Februari 2022 dengan agenda penyusunan tanggapan pemerintah Republik Indonesia atas komunikasi SPMH (Special Procedures Mandate Holder)  Dewan HAM PBB terkait berbagai isu di Papua dan Papua Barat.

Ini dilakukan di ruang rapat Nakula, Gd A Lt 6. Kemenko Polhukam, Jl. Medan Merdeka Barat No. 15, Jakarta Pusat. Nah terkait poin 1 dan 2  di atas, Buchtar mengaku menyangsikan apa yang akan disampaikan. “Masa pelaku pelanggar HAM menyusun laporan pelanggaran HAM yang dilakukannya sendiri. Masa, pelaku pelanggaran HAM membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Pengadilan HAM untuk mengadili dirinya sendiri. Ini tidak masuk akal dan tidak dapat diterima. Rakyat Papua sampai saat ini tetap menolak proses penyelesaian status politik West Papua dan pelanggaran HAM di West Papua menurut mekanisme Hukum dan HAM Republik Indonesia,” sindir Buchtar.

Ketua PNWP dan Deklarator ULMWP ini menyampaikan bahwa  Indonesia seharusnya berjiwa besar untuk menyelesaikan persoalan status politik dan pelanggaran HAM di West Papua menurut mekanisme hukum dan HAM Internasional di forum PBB. Sebab, korban pelanggaran HAM terjadi kepada orang Papua dan orang non Papua. “Ada aktivis, ada warga sipil, ada TNI-Polri, ada juga mahasiswa dan banyak kalangan yang jadi korban,”cecarnya.

Beberapa poin yang diminta kepada pemerintah adalah pertama, segera membuka akses bagi kunjungan komisioner tinggi HAM PBB ke West Papua untuk bertemu langsung dengan para korban. Kedua rakyat Papua sudah dan sedang mempersiapkan penyambutan kedatangan Komisioner Tinggi HAM PBB ke West Papua, ketiga segera menghentikan upaya domestifikasi persoalan status politik West Papua dan pelanggaran HAM di West Papua.

“Untuk penyambutan saat kedatangan nanti kami pastikan semua aman. Tidak ada gerakan tambahan karena kami juga masih berkomunikasi dan menghormati sebagai tuan rumah,” tutupnya.

Sementara itu, belakangan ini media sosial dihebohkan dengan beredarnya surat undangan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan di sejumlah media sosial.

Juru Bicara Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Christian Warinussy menganggap undangan tersebut terlihat seperti sengaja difoto oleh oknum tertentu lalu diedarkan secara tidak resmi kepada publik.

Menurut Yan, tujuannya kurang lebih untuk mengetahui reaksi publik di Indonesia, khususnya di tanah Papua. Sebab belum lama ini ada juga isu di sejumlah media sosial bahwa pelapor khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) akan mengunjungi Ttnah Papua.

“Isu ini juga tidak berdasar sama sekali, serta tidak memiliki dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebab mekanisme dan prosedur untuk adanya kunjungan seorang pelapor khusus itu sangat ditentukan oleh ada tidaknya undangan dari negara dimana sang pelapor hendak datang,” kata Advokat dan Pembela HAM peraih penghargaan internasional bidang HAM tahun 2005 di Canada ini.

Baca Juga :  Aktor Utama Kasus Mutilasi Masih Buron

Misalnya lanjut Yan, jika pelapor khususnya hendak ke Indonesia, karena ada laporan yang diterimanya, maka dia harus lebih dahulu meminta izin masuk ke negara tersebut melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB.  Kemudian PBB akan menyurati pemerintah negara yang bersangkutan, sepertinya halnya Indonesia.  Indonesia kemudian akan mengirim undangan kepada PBB untuk mengirimkan pelapor khususnya, barulah proses dimaksud dapat berjalan.

Hal ini kata Yan, seperti yang dialaminya dalam kapasitas sebagai Advokat dan Pembela HAM saat dikunjungi dan bertemu dengan pelapor khusus bidang pembela HAM, pelapor khusus bidang penghilangan paksa dan anti penyiksaan maupun bidang kesehatan beberapa tahun lalu di tanah Papua.

“Surat yang sedang beredar saat ini adalah sebuah mekanisme lain di Dewan HAM PBB, atas laporan yang diterima dari para pelapor khusus soal penyiksaan, dugaan penghilangan paksa, penggunaan kekerasan secara berlebihan dan pemindahan paksa di Papua. Laporan tersebut dimintai klarifikasi kepada pemerintah Indonesia. Oleh karena jawaban tersebut menjadi bagian dari tupoksi Kementerian Luar Negeri, dan karena diduga perlakuan di atas terjadi pada ranah operasi militer/keamanan di tanah Papua, maka perlu dimintai keterangan dan data atau fakta dari TNI dan Polri,” tuturnya.

 Itulah sebabnya menurut Yan, Menko Polhukam perlu turun tangan mengundang semua pihak dalam ranah koordinasi untuk membahas dan membantu Kemenlu RI mempersiapkan jawaban klarifikasi atas pertanyaan Dewan HAM PBB.

“Jadi sesungguhnya bukan merupakan sesuatu yang menghebohkan atau perlu dihebohkan oleh kita sekalian. Yang terpenting adalah kita senantiasa bekerja memberi laporan termasuk mengenai setiap peristiwa yang memiliki indikasi kuat terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida yang termasuk dalam kategori the most serious crimes dan merupakan kejahatan internasional,” paparnya.

Sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, dirinya  memberi apresiasi tinggi kepada Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang mau memberi waktunya untuk menjawab pertanyaan klarifikasi dari Dewan HAM PBB tersebut.

Mengharapkan juga Presiden dapat membuka diri untuk mengundang segera pelapor khusus PBB dalam bidang anti penyiksaan, pemindahan paksa penduduk, penggunaan kekerasan secara berlebihan untuk dapat mengunjungi tanah Papua dalam tahun ini.

“Kunjungan ini penting demi menyelesaikan persoalan dugaan pelanggaran HAM berat yang senantiasa terjadi selama lebih dari 50 tahun semenjak operasi militer dan pilihan pendekatan keamanan digunakan oleh negara Indonesia,” tambahnya.

Yan juga mengiimbau seluruh rakyat Papua untuk tidak terpancing atau terprovokasi oleh beredarnya surat undangan dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan di sejumlah media sosial sejak dua hari terakhir ini. (ade/oel/fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya