JAYAPURA-Meski pada tahun 2020 Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB), Forkorus Yoboisembut, S.Pd telah mengeluarkan pernyataan untuk pamit mohon diri keluar dari Indonesia untuk melanjutkan komunikasi dengan beberapa negara usai dua suratnya kepada dua presiden yakni Presiden SBY dan Presiden Jokowi tidak ditanggapi, namun nampaknya NFRPB masih memberi satu kesempatan lagi kepada pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden Joko Widodo bersama Kabinet Indonesia Maju untuk membuka diri membahas pelaksanaan perundingan pengakuan dan peralihan kekuasaan kedaulatan penuh dari NKRI kepada NFRPB.
Hal ini disampaikan Forkorus dalam siaran persnya yang disampaikan Ketua Dewan Nasional Papua Barat (DNPB), Onesimus Banundi kepada wartawan di Abepura, Kamis (10/2). “Kami lebih fokus kepada apa yang disampaikan Presiden NFRPB, Forkorus Yoboisembut yang meminta Presiden Joko Widodo dan Kabinet Indonesia Maju membuka diri membahas soal perundingan,” kata Onesimus kemarin.
Ia menyatakan bahwa soal perundingan ini, pemerintah Indonesia tidak perlu bingung terkait syarat-syarat perundingan. Sebab pihaknya sudah mempersiapkan kerangkanya, tinggal apakah ada niat baik untuk dilakukan atau tidak,”ujar Onesimus.
Sesungguhnya menurut Onesimus, soal rencana perundingan ini sudah pernah disampaikan lewat pertemuan dengan Menteri Pertahanan ketika masih dijabat oleh Jenderal Ryamizard Ryacudu pada 10 April 2015 di Kantor Menhan di Jakarta.
Dalam pertemuan tersebut disepakati tindaklanjut pada Juni 2015 di Bali atau Jakarta. Hanya saja ketika delegasi Komite Independen Papua (KIP) dan Komite Nasional Papua (KNP) kembali dari Jakarta pada 14 April 2015 ternyata semua ditangkap dan ditahan selama 18 hari meski kemudian dibebaskan. Karenanya dari peluncuran buku kewarganegaraan NFRPB menuju perundingan dan pengakuan serta peralihan kekuasaan dan kedaulatan ini, Forkorus menyatakan sekali lagi bahwa Presiden Jokowi perlu memikirkan keselamatan sekitar 6 juta orang.
Ia juga meminta agar para akademisi, intelektual muda termasuk pejabat di Papua untuk bersatu mendukung upaya NFRPB. Mengingat diyakini bahwa proses yang dilakukan untuk menjadi negara berdaulat sudah benar dan terus menemukan titik terang.
Ia dan beberapa orang tua di dalam pemerintahan NFRPB hanya mengantarkan hingga mendapat pengakuan. Forkorus juga memberi pendapat bahwa organisasi perjuangan Papua merdeka lainnya semisal ULMWP, WPNCL, KNPB dan lainnya diyakini tidak bisa lagi berbuat banyak karena tidak bisa diterima oleh organisasi seperti PIF, MSG dan ACP karena bukan merupakan negara berdaulat.
“Jadi organisasi di luar sana seperti MSG maupun PIF dan ACP tidak bisa memberi dukungan kepada organisasi seperti ULMWP, WPNCL dan KNPB karena mereka bukan Negara, melainkan hanya kelompok organisasi. Sementara NFRPB ini adalah sebuah negara yang sedang menuju negara berdaulat,” klaimnya.
NFRPB kata pria yang tak menolak disebut anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) ini merasa penting untuk membahas soal kewarganegaraan mengingat ketika mendapatkan kedaulatan nantinya persoalan kependudukan ini menjadi masalah serius. Syarat perundingan sudah kami siapkan mulai dari pokok bahasan dimana kami tetap menjalin hubungan bilateral dan kedua negara ini memastikan menjamin keamanan bagi warga di tanah Papua dan kedua negara wajib mengatur perpindahan ASN di Papua maupun yang ingin pindah.
Ini termasuk menjunjung tinggi nilai toleransi dan saling menghargai sebagai dua bangsa yang masing – masing sudah merdeka dan berdaulat penuh. “Namun yang urgent adalah membahas soal penduduk. Kami pikir pemerintah Indonesia jangan takut untuk berunding sebab NFRPB juga telah mendeklarasikan sebagai sebuah negara. Ini sama seperti Indonesia dan Belanda yang memproklamirkan diri sebagai negara merdeka dan akhirnya Belanda angkat kaki,” bebernya.
Forkorus juga berharap perguruan tinggi, Uncen bisa membahas soal buku yang dibuat NFRPB. Sebab di Universitas Indonesia belum lama ini pernah membahas. “Kalau UI saja membahas soal NFRPB mengapa Uncen tidak mau melakukan hal yang sama,” imbuhnya.
Pihak NFRPB memberi kesempatan terakhir untuk dilakukan perundingan mengingat kata Onesimus beberapa negara kawasan sudah siap membahas soal NFRPB. Namun disini ia belum mau menyebut negara mana yang dimaksud. “Yang jelas perundingan ya bukan dialog sebab kalau dialog itu negara dengan kelompok yang ada di dalamnya sedangkan kami sudah mendeklarasikan pada Kongres Rakyat Papua 3 tahun 2011 lalu sedangkan untuk negara luar belum bisa kami buka yang jelas negara di kawasan dan kami sudah sangat siap untuk go internasional,” imbuhnya.
Diakui Onesimus, hal-hal yang menjadi perhatian dalam perundingan secara aman, damai dan bermartabat. Antara lain NKRI dan NFRPB tetap menjalin hubungan bilateral, NKRI dan NFRPB menjamin keamanan dan keselamatan bagi seluruh rakyat Indonesia di Papua ataupun rakyat Papua di wilayah Indonesia. NKRI dan NFRPB mengatur perpindahan administrasi Negara dan administrasi Aparatur Sipil Negara (ASN).
NKRI dan NFRPB mengatur perpindahan masyarakat sipil bagi siapa saja, Orang Papua ataupu Indonesia memiliki hak untuk menetap sebagai warga negara dimana saja di Indonesia atau di Papua.
Selaian itu hal lainnya adalah NKRI dan NFRPB bekerja sama dan saling bantu membantu dalam bidang Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi dan Pengembangan Teknologi, dan yang terakhir NKRI dan NFRPB menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi saling mengakui dan menghargai sebagai dua bangsa dan negara yang masing-masing sudah merdeka dan berdaulat penuh yang memiliki tanggung jawab ikut melaksanakan ketertiban, perdamaian dan keamanan internasional.
Onesimus meminta pemerintah Indonesia mempelajari maksud yang disampaikan NFRPB selama ini dan tidak menutup diri. “Pelajari dulu sebab langkah kami sudah tepat dan kami tinggal menunggu waktu dan sebenarnya kami tidak perlu bersurat lagi tapi kami masih memberi kesempatan terakhir,” tutupnya. (ade/nat)