Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Ngajar Pakai Penerjemah, Buka 3 Kelas dengan 50 Siswa

Andi Rumrar, Buka Pendidikan Pertama di Suku Wano Kampung Mokondoma, Distrik Lumo, Kabupaten Puncak Jaya

Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Hal inilah yang mendorong Andi Rumrar, untuk membuka peradaban pendidikan suku Wano. Seperti apa perjuangannya mengajar anak-anak di Kampung Mokondoma?

Andi Rumrar saat mengajar anak-anak suku Wano di Kampung Mokondoma, Distrik Lumo, Kabupaten Puncak Jaya, belum lama ini.(Foto:Andi Rumrar for Cepos)

Laporan: Roberthus Yewen, Jayapura

“Senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia adalah pendidikan”. Demikian sepenggal kata dari pemimpin revolusioner, sekaligus Presiden Pertama Afrika Selatan, Nelson Mandela pantas disemayatkan bahwa pendidikan merupakan kunci dari segala hal, terutama membuka peradaban di tanah Papua.
Andi Rumrar merupakan salah satu sosok guru yang sejak awal bersama rekannya Paska Mirino membuka peradaban pendidikan pertama di Suku Wano, Kampung Mokondoma atau Kampung Kodudumo, Distrik Lumo, Kabupaten Puncak Jaya.
Melalui Yayasan Pendidikan Harapan Papua, Andi sapaan akrabnya pada bulan Juli 2019, mulai membuka sekolah pertama kali di sana di Kampung Mokondoma. Sekolah ini diberi nama Lentera Harapan Papua. Sebelumnya tidak ada satupun sekolah di Mokondoma.
Perjalanan ke kampung ini hanya bisa ditempuh menggunakan transportasi udara (pesawat) dan tidak ada jalan darat. Pesawat tergolong susah. Bisa tiga bulan sampai enam bulan sekali baru pesawat ke Mokondoma.
Pesawat yang bisa ke Mokondoma hanya helikopter dan pesawat jenis kecil milik MAAF dan pesawat YAJASI. Tak semua pilot bisa sampai di sini. Hanya sekira tiga sampai empat orang pilot yang bisa terbang dan mendarat di Bandara Kondudumo.
Lapangan pesawat di Mokondoma sendiri berada di atas ketinggian sekitar 7.000 kaki di atas permukaan laut. Sementara itu, ada gunung yang menjulang tinggi di sebelah lapangan, sehingga membuat pesawat susah masuk dan mendarat.
“Ini merupakan sekolah pertama di suku itu dan untuk menjangkau beberapa suku-suku di sekitarnya. Bahkan ada orang tua yang rela jalan satu minggu untuk sekolahkan anaknya di sekolah yang kami dirikan,” kata guru yang dinobatkan dan disapa setiap hari oleh suku Wano sebagai Pak Guru Wano.
Sebelum membuka sekolah di Mokondoma, guru lulusan Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta tahun 2017 ini mengajar selama dua tahun di pedalaman Papua. Tepatnya di Sekolah Lentera Harapan Mamit yang berada di Kabupaten Tolikara.
Meskipun sebelumnya sudah ada misionaris yang menerjemahkan Alkitab di Mokondoma, tetapi dirinya tak bisa menyentuh ranah pendidikan dan sekolah. Padahal anak-anak ini butuh pendidikan, sehingga misionaris meminta kepada yayasan untuk sekolah bisa dibuka.
Sebagai kampung yang terisolir, warga di sekitar Mokondoma masih sulit. Bahkan sulit sekali berkomunikasi sehari-hari dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, untuk bisa mengajar anak-anak di sekolah Andi harus menggunakan penerjemah.
Hal ini menjadi beban tersendiri, untuk bisa mengajar di Mokondoma. Apalagi ini merupakan sekolah pertama dan melihat anak-anak Papua mempunyai harapan, untuk bisa menempuh pendidikan seperti layaknya di daerah perkotaan.
Untuk bisa mengajar, Andi harus bisa mulai penyesuaian diri dengan cara, mengajari anak-anak menggunakan bahasa Indonesia. Tak heran, jika penyesuaian ini dilakukannya selama kurang lebih enam bulan lamanya.
Adapun yang sehari-hari membantu Andi, untuk menerjemahkan dalam bahasa Indonesia ketika mengajar di kelas, yaitu Jeni dan Liku. Keduanya sudah masif berbahasa Indonesia, sehingga sehari-hari ikut mendampingi sebagai penerjemah.
Meskipun demikian, pemuda kelahiran 13 Juli 1995 ini tak pernah kendor dalam memberikan pendidikan yang terbaik dan berkualitas kepada para siswa-siswi yang ada di Mokodoma, layaknya pendidikan di daerah perkotaan.
Dari kelas yang diajarkan ini, ada 3 orang yang duduk di bangku kelas II Sekolah Dasar (SD) yang sudah bisa berbahasa Indonesia. Dari 3 orang ini ada 1 orang yang benar-benar fasih berbahasa Indonesia, sehingga saat ini menjadi penerjemah di kelas.
“Mereka berhak mendapatkan pendidikan yang layak, berkualitas dan pendidikan yang terbaik. Karena ini hak mereka untuk mendapatkannya,” tegasnya.
Sekolah Pelita Harapan Mokodoma ini, memiliki kurang lebih 50 siswa. Para siswa ini berasal dari Mokondoma dan kampung-kampung yang berada di sekitarnya. Bahkan, ada juga yang datang dari kampung-kampung terjauh untuk bisa bersekolah di Mokondoma.
Selama satu tahun lebih ini, dari 50 siswa ini dibagi dalam tiga kelas, yaitu kelas TK sebanyak 19 orang anak, kelas I SD sebanyak 19 orang anak, dan kelas II SD sebanyak 12 orang anak. Untuk Sementara para siswa ini belajar sampai kelas II.
Di tiga kelas ini, Andi tidak mengajar sendiri. Andi dibantu oleh dua orang guru yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT).
Andi sebagai kepala sekolah di Mokondoma. Proses belajar mengajar di sekolah dilakukan seperti biasanya.
Pembelajaran dilakukan mulai dari hari Senin sampai dengan hari Jumat, sehingga para siswa akan diajarkan mulai dari kelas TK, kelas I SD dan kelas II SD. Mereka diajarkan tentang mengenal huruf, mengenal angka dan mata pelajaran extra kulikuler yang mengembangkan kepribadian para siswa.
“Tong ajarkan dong pertama kali kenal huruf. Itu semua pohon-pohon dong ukir dengan huruf-huruf. Belum ada buku,” ucap Pak Guru yang berasal dari Kampung Sor, Distrik Yawosi, Biak Utara ini.
Ada cerita unik dari salah satu siswa yang terpaksa harus menyambung pensil. Hal ini dilakukan lantaran pensil yang digunakan sudah pendek. Untuk terlihat pensil tetap panjang, maka siswa tersebut kemudian menyambungnya menggunakan kayu dan mengikatnya.
Pensil yang digunakan para siswa ini memang harus dihemat secara baik. Mereka bahkan, harus menggunakan pensil secara hemat. Pensil yang diberikan kepada setiap siswa akan digunakan selama beberapa bulan kedepan.
Menariknya, pensil yang diberikan ini akan digunakan untuk 3-7 bulan kedepan. Hal ini karena penerbangan ke Mokondoma yang terbatas. Untuk menghemat dan bisa menulis, maka salah satu orang siswa bernama Tim menyambungnya, sehingga tetap terlihat panjang.
Pensil ini dibeli oleh Andi sekitar 7 bulan yang lalu. Sebelum diberikan, Andi menyampaikan kepada para siswa bahwa mereka semua tinggal di hutan yang jauh sekali dari perkotaan. Tidak ada jalan darat dan pesawat yang datang bisa 3 sampai 6 bulan sekali, jika barang terkumpul bisa mencapai 600 Kg.
“Tolong jaga pensil yang pak guru berikan. Gunakan setiap pemberian dengan baik. Hari ini Andi minta mereka untuk keluarkan pensil dan buku. Tim kemudian mengeluarkan pensil yang telah diikat dengan lapisan kayu-kayu kecil agar tetap panjang dan bisa digunakan.
Ini merupakan pembelajaran dan skil yang tidak dimiliki oleh para siswa pada umumnya di daerah perkotaan. Para siswa di daerah perkotaan kebanyakan menggunakan pensil belum pendek sudah menggantikannya dengan yang baru.
Namun, hal ini berbeda dengan para siswa yang berada di Sekolah Pelita Harapan di Mokondoma yang selalu bersyukur dan mempergunakan setiap pemberian, seperti pensil yang diberikan ini dengan sebaik-baiknya.
Papua sudah banyak orang yang sangat-sangat pintar, namun Papua membutuhkan generasi yang harus selalu merasa cukup seperti para siswa yang berada di Mokondoma.
“Saya akan simpan pensil ini, untuk mengingat perjuangan kalian di suku ini,” ucapnya sambil menunjukkan video pembuatan pensil yang dilakukan oleh salah satu siswa tersebut.
Meskipun sekolah yang dibuka oleh Andi ini berada dibawah naungan Yayasan Pelita Harapan Papua, namun setidaknya setiap pendidikan yang ada di tanah ini harus mendapatkan sentuhan dari pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten setempat.
Sejak bulan Juli tahun 2019 yang lalu sekolah di Mokondoma dibuka sampai saat ini, belum ada satupun sentuhan dan bantuan dari pemerintah daerah, untuk menjangkau sekolah-sekolah di daerah-daerah terpencil. Salah satunya adalah sekolah yang kini diajarkan oleh Andi selama 1 tahun lebih ini.
“Saya berharap, pemerintah daerah, melalui dinas terkait bisa memberikan perhatian terhadap sekolah di Mokondoma yang sudah setahun lebih kita buka ini,” harap anak pertama dari empat bersaudara ini. ***

Baca Juga :  Waket ULMWP Jadi Tersangka

Andi Rumrar, Buka Pendidikan Pertama di Suku Wano Kampung Mokondoma, Distrik Lumo, Kabupaten Puncak Jaya

Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Hal inilah yang mendorong Andi Rumrar, untuk membuka peradaban pendidikan suku Wano. Seperti apa perjuangannya mengajar anak-anak di Kampung Mokondoma?

Andi Rumrar saat mengajar anak-anak suku Wano di Kampung Mokondoma, Distrik Lumo, Kabupaten Puncak Jaya, belum lama ini.(Foto:Andi Rumrar for Cepos)

Laporan: Roberthus Yewen, Jayapura

“Senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia adalah pendidikan”. Demikian sepenggal kata dari pemimpin revolusioner, sekaligus Presiden Pertama Afrika Selatan, Nelson Mandela pantas disemayatkan bahwa pendidikan merupakan kunci dari segala hal, terutama membuka peradaban di tanah Papua.
Andi Rumrar merupakan salah satu sosok guru yang sejak awal bersama rekannya Paska Mirino membuka peradaban pendidikan pertama di Suku Wano, Kampung Mokondoma atau Kampung Kodudumo, Distrik Lumo, Kabupaten Puncak Jaya.
Melalui Yayasan Pendidikan Harapan Papua, Andi sapaan akrabnya pada bulan Juli 2019, mulai membuka sekolah pertama kali di sana di Kampung Mokondoma. Sekolah ini diberi nama Lentera Harapan Papua. Sebelumnya tidak ada satupun sekolah di Mokondoma.
Perjalanan ke kampung ini hanya bisa ditempuh menggunakan transportasi udara (pesawat) dan tidak ada jalan darat. Pesawat tergolong susah. Bisa tiga bulan sampai enam bulan sekali baru pesawat ke Mokondoma.
Pesawat yang bisa ke Mokondoma hanya helikopter dan pesawat jenis kecil milik MAAF dan pesawat YAJASI. Tak semua pilot bisa sampai di sini. Hanya sekira tiga sampai empat orang pilot yang bisa terbang dan mendarat di Bandara Kondudumo.
Lapangan pesawat di Mokondoma sendiri berada di atas ketinggian sekitar 7.000 kaki di atas permukaan laut. Sementara itu, ada gunung yang menjulang tinggi di sebelah lapangan, sehingga membuat pesawat susah masuk dan mendarat.
“Ini merupakan sekolah pertama di suku itu dan untuk menjangkau beberapa suku-suku di sekitarnya. Bahkan ada orang tua yang rela jalan satu minggu untuk sekolahkan anaknya di sekolah yang kami dirikan,” kata guru yang dinobatkan dan disapa setiap hari oleh suku Wano sebagai Pak Guru Wano.
Sebelum membuka sekolah di Mokondoma, guru lulusan Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta tahun 2017 ini mengajar selama dua tahun di pedalaman Papua. Tepatnya di Sekolah Lentera Harapan Mamit yang berada di Kabupaten Tolikara.
Meskipun sebelumnya sudah ada misionaris yang menerjemahkan Alkitab di Mokondoma, tetapi dirinya tak bisa menyentuh ranah pendidikan dan sekolah. Padahal anak-anak ini butuh pendidikan, sehingga misionaris meminta kepada yayasan untuk sekolah bisa dibuka.
Sebagai kampung yang terisolir, warga di sekitar Mokondoma masih sulit. Bahkan sulit sekali berkomunikasi sehari-hari dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, untuk bisa mengajar anak-anak di sekolah Andi harus menggunakan penerjemah.
Hal ini menjadi beban tersendiri, untuk bisa mengajar di Mokondoma. Apalagi ini merupakan sekolah pertama dan melihat anak-anak Papua mempunyai harapan, untuk bisa menempuh pendidikan seperti layaknya di daerah perkotaan.
Untuk bisa mengajar, Andi harus bisa mulai penyesuaian diri dengan cara, mengajari anak-anak menggunakan bahasa Indonesia. Tak heran, jika penyesuaian ini dilakukannya selama kurang lebih enam bulan lamanya.
Adapun yang sehari-hari membantu Andi, untuk menerjemahkan dalam bahasa Indonesia ketika mengajar di kelas, yaitu Jeni dan Liku. Keduanya sudah masif berbahasa Indonesia, sehingga sehari-hari ikut mendampingi sebagai penerjemah.
Meskipun demikian, pemuda kelahiran 13 Juli 1995 ini tak pernah kendor dalam memberikan pendidikan yang terbaik dan berkualitas kepada para siswa-siswi yang ada di Mokodoma, layaknya pendidikan di daerah perkotaan.
Dari kelas yang diajarkan ini, ada 3 orang yang duduk di bangku kelas II Sekolah Dasar (SD) yang sudah bisa berbahasa Indonesia. Dari 3 orang ini ada 1 orang yang benar-benar fasih berbahasa Indonesia, sehingga saat ini menjadi penerjemah di kelas.
“Mereka berhak mendapatkan pendidikan yang layak, berkualitas dan pendidikan yang terbaik. Karena ini hak mereka untuk mendapatkannya,” tegasnya.
Sekolah Pelita Harapan Mokodoma ini, memiliki kurang lebih 50 siswa. Para siswa ini berasal dari Mokondoma dan kampung-kampung yang berada di sekitarnya. Bahkan, ada juga yang datang dari kampung-kampung terjauh untuk bisa bersekolah di Mokondoma.
Selama satu tahun lebih ini, dari 50 siswa ini dibagi dalam tiga kelas, yaitu kelas TK sebanyak 19 orang anak, kelas I SD sebanyak 19 orang anak, dan kelas II SD sebanyak 12 orang anak. Untuk Sementara para siswa ini belajar sampai kelas II.
Di tiga kelas ini, Andi tidak mengajar sendiri. Andi dibantu oleh dua orang guru yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT).
Andi sebagai kepala sekolah di Mokondoma. Proses belajar mengajar di sekolah dilakukan seperti biasanya.
Pembelajaran dilakukan mulai dari hari Senin sampai dengan hari Jumat, sehingga para siswa akan diajarkan mulai dari kelas TK, kelas I SD dan kelas II SD. Mereka diajarkan tentang mengenal huruf, mengenal angka dan mata pelajaran extra kulikuler yang mengembangkan kepribadian para siswa.
“Tong ajarkan dong pertama kali kenal huruf. Itu semua pohon-pohon dong ukir dengan huruf-huruf. Belum ada buku,” ucap Pak Guru yang berasal dari Kampung Sor, Distrik Yawosi, Biak Utara ini.
Ada cerita unik dari salah satu siswa yang terpaksa harus menyambung pensil. Hal ini dilakukan lantaran pensil yang digunakan sudah pendek. Untuk terlihat pensil tetap panjang, maka siswa tersebut kemudian menyambungnya menggunakan kayu dan mengikatnya.
Pensil yang digunakan para siswa ini memang harus dihemat secara baik. Mereka bahkan, harus menggunakan pensil secara hemat. Pensil yang diberikan kepada setiap siswa akan digunakan selama beberapa bulan kedepan.
Menariknya, pensil yang diberikan ini akan digunakan untuk 3-7 bulan kedepan. Hal ini karena penerbangan ke Mokondoma yang terbatas. Untuk menghemat dan bisa menulis, maka salah satu orang siswa bernama Tim menyambungnya, sehingga tetap terlihat panjang.
Pensil ini dibeli oleh Andi sekitar 7 bulan yang lalu. Sebelum diberikan, Andi menyampaikan kepada para siswa bahwa mereka semua tinggal di hutan yang jauh sekali dari perkotaan. Tidak ada jalan darat dan pesawat yang datang bisa 3 sampai 6 bulan sekali, jika barang terkumpul bisa mencapai 600 Kg.
“Tolong jaga pensil yang pak guru berikan. Gunakan setiap pemberian dengan baik. Hari ini Andi minta mereka untuk keluarkan pensil dan buku. Tim kemudian mengeluarkan pensil yang telah diikat dengan lapisan kayu-kayu kecil agar tetap panjang dan bisa digunakan.
Ini merupakan pembelajaran dan skil yang tidak dimiliki oleh para siswa pada umumnya di daerah perkotaan. Para siswa di daerah perkotaan kebanyakan menggunakan pensil belum pendek sudah menggantikannya dengan yang baru.
Namun, hal ini berbeda dengan para siswa yang berada di Sekolah Pelita Harapan di Mokondoma yang selalu bersyukur dan mempergunakan setiap pemberian, seperti pensil yang diberikan ini dengan sebaik-baiknya.
Papua sudah banyak orang yang sangat-sangat pintar, namun Papua membutuhkan generasi yang harus selalu merasa cukup seperti para siswa yang berada di Mokondoma.
“Saya akan simpan pensil ini, untuk mengingat perjuangan kalian di suku ini,” ucapnya sambil menunjukkan video pembuatan pensil yang dilakukan oleh salah satu siswa tersebut.
Meskipun sekolah yang dibuka oleh Andi ini berada dibawah naungan Yayasan Pelita Harapan Papua, namun setidaknya setiap pendidikan yang ada di tanah ini harus mendapatkan sentuhan dari pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten setempat.
Sejak bulan Juli tahun 2019 yang lalu sekolah di Mokondoma dibuka sampai saat ini, belum ada satupun sentuhan dan bantuan dari pemerintah daerah, untuk menjangkau sekolah-sekolah di daerah-daerah terpencil. Salah satunya adalah sekolah yang kini diajarkan oleh Andi selama 1 tahun lebih ini.
“Saya berharap, pemerintah daerah, melalui dinas terkait bisa memberikan perhatian terhadap sekolah di Mokondoma yang sudah setahun lebih kita buka ini,” harap anak pertama dari empat bersaudara ini. ***

Baca Juga :  KPU Simulasi Desain Baru Surat Suara

Berita Terbaru

Artikel Lainnya