Wednesday, April 24, 2024
24.7 C
Jayapura

Sejak Januari, 20 Kontak Tembak Terjadi di Intan Jaya

Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw didampingi Wakapolda Papua Brigjen Pol. Matius D. Fakhiri dan Kabid Humas Kombes Pol. AM Kamal saat melihat data kekerasan yang terjadi di Intan Jaya melalui handphone mereka di Mapolda Papua, Kamis (8/10). ( FOTO: Elfira/Cepos)

Gereja Minta Presiden Jokowi Penuhi Janjinya

JAYAPURA-Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpau menyampaikan, dalam catatan Polda Papua, tercatat sebanyak 20 kejadian kontak tembak di Intan Jaya terhitung sejak Januari hingga Oktober 2020.

Hal tersebut menandakan ada Kelompok Kriminal Bersenjata yang sudah  hadir di Intan Jaya baik di Sugapa, Itadipa dan beberapa distrik lainnya sejak Oktober hingga Desember tahun 2019 silam.

“Kami sedang mengkajinya, apa alasan mereka melakukan kekerasan. Apakah ada kesalahan yang dibuat oleh warga sipil sehingga mereka melakukan kekerasan terhadap korban yang tidak berdosa di Intan Jaya,” papar Kapolda Paulus Waterpauw didampingi Wakapolda Papua Brigjen Pol. Matius D. Fakhiri dan Kabid Humas Kombes Pol. AM Kamal di Mapolda Papua, Kamis (8/10)

Menurut Waterpauw, yang diketahui selama ini adalah adanya pembalasan bila ada permasalahan yang melatarbelakangi. Namun, yang terjadi dalam beberapa fakta, tukang ojek, pedagang, pegawai hingga terakhir hamba Tuhan menjadi korban dalam penembakan.

“Apakah karena ada tambang rakyat di Intan Jaya hingga mereka ingin menguasai sumber daya  alam yang ada di sana, sehingga mereka menunjukkan poweritas mereka. Karena tidak ada persoalan yang relevansinya dengan perbuatan kekerasan yang terjadi di Intan Jaya,” paparnya.

Dikatakan, masyarakat yang ada di Intan Jaya menjadi korban dari kelompok yang notabene  bukan dari warga Intan Jaya itu sendiri. Sebagaimana ada pembentukan kelompok yang diduga ikut menyemarakan kehadiran kelompok bersenjata di Intan Jaya.

“Dalam catatan kami, sejak Oktober hingga Desember 2019. Ada kelompok yang masuk ke Intan Jaya dari arah  timur yakni  kelompok dari Kabupaten Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Tolikara, Lany Jaya, Timika dan Kabupaten Nduga,” kata Kapolda.

Masuknya kelompok ini apakah dalam rangka memperebutkan sumber daya alam yang ada di Intan Jaya, sehingga mereka melakukan kekerasan untuk menyatakan kepada semua pihak tidak perlu hadir di Intan Jaya.

“Sebelumnya memang ada bahasa yang mengatakan mereka menolak kehadiran Koramil persiapan. Padahal tugas kita sebagai aparat keamanan di daerah rawan kita harus hadir sebagai perpanjangan tangan negara, untuk melindungi dan menjaga masyarakat yang ada di sana,” terangnya.

Kapolda menyesalkan kejadian yang berulang kali di Intan Jaya. Dirinya juga sudah melaporkan hal ini kepada Kapolri dan akan evaluasi secara ketat terhadap kehadiran pasukan Polri di Intan Jaya.

“Anggota kita akan dihadirkan di sana, sehingga ada upaya-upaya yang bisa melakukan penegakan hukum dengan baik,” ucapnya.

Dirinya meminta pemerintah daerah Intan Jaya untuk melakukan upaya keras membangun komunikasi aktif dengan  masyarakat. Sehingga masyarakat tidak dipengaruhi oleh para pihak tertentu untuk melakukan kekerasan.

“Pemerintah  harus mampu memberikan solusi kepada warganya, sehingga mengeliminir terjadinya kekerasan. Banyak contoh di Kabupaten lain di papua  yang dulunya setiap hari ada kekerasan, namun dengan pendekatan yang dilakukan oleh Pemda. Daerah tersebut menjadi aman dan tidak ada lagi gangguan keamanan. Dengan begitu, kita di papua tidak dikenal sebagai daerah hitam  yang setiap harinya  hanya bunyi kekerasan,”  pungkasnya.

Baca Juga :  Masalah HAM, Komnas HAM dan TNI-Polri Kerap Berbenturan

Sementara itu Komnas HAM melihat adanya kontak tembak demi kontak tembak tersebut ada satu pola baru yang bisa saja saling mencurigai atau salah sasaran.

Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengatakan, dari perspektif HAM. Kehadiran negara penting untuk mereduksi kekerasan demi kekerasan dan harus dirubah menjadi sebuah pendekatan dialgog atau komunikasi.

“TNI-Polri maupun kelompok sipil bersenjata harusnya menahan diri. Dalam kontes HAM kekerasan harus dikomunikasikan. Karena kekerasan tanpa dikomunikasikan akan menimbulkan kekerasan baru, menciderai kemanusiaan dan tidak mendapat simpati apa-apa,” ucap Frits kepada Cenderawasih Pos, Kamis (8/10).

Atas nama kemanusiaan, Komnas HAM mendesak negara untuk segera hadir dan berkomunikasi dengan semua stakeholder. Terutama masyarakat sipil yang terus menjadi korban dalam kontak tembak antara TNI-Polri dan kelompok bersenjata. “Atas nama kemanusian, kekerasan harus dihentikan apapun alasannya,” tegasnya.

Terkait dengan beberapa insiden yang terjadi di Intan Jaya dan Nduga, Frits mengaku telah berkomunikasi dengan lima jenderal di lingkungan Kogabwilhan III sebagai organisisasi baru yang berkedudukan di papua membawahi maluku, Maluku Utara, papua dan Papua Barat yang  anggotanya dari berbagai wilayah.

“Ini perlu penyelarasan dalam tubuh TNI, operasi yang dilakukan harus bisa dikendalikan oleh Pangdam. Sementara operasi kemanusiaan dan penegakan harus dibawah kendali kepolisian, jangan langsung diambil ahli oleh TNI. Karena kita tidak dalam situasi perang,” tegas Frits.

Menurut Frits, rentetan kontak tembak di Papua juga harus menjadi perhatian presiden untuk memberi arahan kepada panglima TNI, sehingga satuan baru bisa direposisi ulang agar tidak over komando di wilayah Pangdam XVII/Cenderawasih.

“Papua wilayah rawan konflik, bukan zona perang. Jadi kehadiran negara dalam rangka memberikan jaminan bahwa wilayah rawan konflik tetap ada dalam suasana damai dan kondusif,” kata Frits.

Dikatakan, operasi penegakan hukum di seluruh wilayah Papua harus sepenuhnya dibawah kendali Kapolda. TNI hanya satuan yang memberi dukungan yang tidak boleh ada di wilayah zona operasi, seluruh operasi harus ada dibawah kendali Kapolda.

“Kami mendesak Presiden Joko Widodo segera memanggil panglima TNI untuk penyelarasan satuan baru yang ada di Papua,” tegasnya.

Secara terpisah, West Papua Church Council (WPCC) atau Dewan Gereja Papua meminta pemerintah harus adil dan tidak membuat diskriminasi dalam penanganan kasus pelanggaran HAM dan masalah Politik di Aceh dan Papua.

Baca Juga :  PSU Berlangsung Aman dan Terkendali

“Harus penyelesaian seperti di Aceh. Kenapa dia bisa mendapat keadilan sementara di orang Papua tidak bisa. Ini merupakan diskriminasi rasial yang berjalan di siang bolong dan telanjang,” ungkap Presiden  Baptis  Papua, Socrates S. Yoman  didampingi Ketua Sinode Kingmi Papua, Pdt. Benny Giyai,  Ketua Sinode GKI  di Tanah Papua Pdt. Andrikus Mofu dan Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo  saat menggelar jumpa pers di kantor Sinode Kingmi Papua, Kamis (8/10).

Dirinya juga meminta Presiden Jokowi untuk menjawab janjinya yang akan berbicara dengan kelompok pro kemerdekaan. “Kami mendukung  penryataan Jokowi, tanggal 30 September tahun 2019 untuk bertemu dengan pihak pro kemerdekaan dalam hal ini ULMWP,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Dewan Gereja Papua juga TGPF Intan Jaya yang dibentuk oleh Menkopolhukam Mahfud MD. “Tim bentuk tim tidak akan selesai. Sudah jelas kami gereja menolak tim ini,” tegasnya.

Sementara Ketua Sinode GKI  di Tanah Papua Pdt. Andrikus Mofu melihat melihat tim ini tidak independen. Karena beranggotakan aparat keamanan, pemerintah serta satuan militer.

“Sehingga tidak akan mengungkapkan peristiwa tersebut secara utuh, adil dan transparan berdasarkan fakta yang dimiliki Dewan Gereja Papua, dimana penembakan telah dilakukan oleh satuan TNI,” tuturnya.

“Kalau kami lihat berdasarkan pengalaman dan fakta-fakta yang pernah terjadi, dibentuk tim pencari fakta sebagaimana hari ini dibentuk oleh Menkopolhukam, sekali lagi kami sangat ragu dan tidak yakin bahwa tim pencari fakta yang sedang bekerja ini akan menghasilkan sesuatu yang valid atau sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan,” sambungnya.

Menurutnya, pemerintah juga harus membuka ruang kepada pihak lain yang secara independen harus membentuk tim pencari fakta turun lapangan mengali persoalan ini.

“Pimpinan gereja melihat ada pembiaran tidak hanya dilakukan oleh institusi militer tetapi pembiaran oleh negara terhadap setiap masalah dan peristiwa yang terjadi di Papua. Kunjungan 13 kali presiden di Papua tidak punya niat menyelesaikan masalah kemanusiaan di Papua sama saja tidak ada niat Jokowi untuk menyelesaikan persoalan hidup orang Papua,” tegasnya.

Dirinya mengatakan empat gereja yang tergabung dalam Dewan Gereja Papua ini juga sekarang sudah menjadi anggota dari Dewan Gereja Pasific yaitu GKI di Tanah Papua, Kingmi Papua, GIDI dan Baptis Papua. Hal ini diharapkan tentunya dapat mengawal kepentingan pelayanan umat dan juga ikut mengumuli masalah-masalah yang dihadapi oleh umat secara bersama-sama.

Ketua Sinode Kingmi Papua, Pdt. Benny Giyai mengingatkan Presiden Jokowi yang merupakan Panglima tertinggi TNI dan sebagai presiden negara anggota Dewan HAM PBB untuk menepati janjinya kepada ketua komisi tinggi Dewan HAM PBB pada Februari 2018 di Jakarta untuk berkunjung ke tanah Papua. (fia/oel/nat)

Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpauw didampingi Wakapolda Papua Brigjen Pol. Matius D. Fakhiri dan Kabid Humas Kombes Pol. AM Kamal saat melihat data kekerasan yang terjadi di Intan Jaya melalui handphone mereka di Mapolda Papua, Kamis (8/10). ( FOTO: Elfira/Cepos)

Gereja Minta Presiden Jokowi Penuhi Janjinya

JAYAPURA-Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpau menyampaikan, dalam catatan Polda Papua, tercatat sebanyak 20 kejadian kontak tembak di Intan Jaya terhitung sejak Januari hingga Oktober 2020.

Hal tersebut menandakan ada Kelompok Kriminal Bersenjata yang sudah  hadir di Intan Jaya baik di Sugapa, Itadipa dan beberapa distrik lainnya sejak Oktober hingga Desember tahun 2019 silam.

“Kami sedang mengkajinya, apa alasan mereka melakukan kekerasan. Apakah ada kesalahan yang dibuat oleh warga sipil sehingga mereka melakukan kekerasan terhadap korban yang tidak berdosa di Intan Jaya,” papar Kapolda Paulus Waterpauw didampingi Wakapolda Papua Brigjen Pol. Matius D. Fakhiri dan Kabid Humas Kombes Pol. AM Kamal di Mapolda Papua, Kamis (8/10)

Menurut Waterpauw, yang diketahui selama ini adalah adanya pembalasan bila ada permasalahan yang melatarbelakangi. Namun, yang terjadi dalam beberapa fakta, tukang ojek, pedagang, pegawai hingga terakhir hamba Tuhan menjadi korban dalam penembakan.

“Apakah karena ada tambang rakyat di Intan Jaya hingga mereka ingin menguasai sumber daya  alam yang ada di sana, sehingga mereka menunjukkan poweritas mereka. Karena tidak ada persoalan yang relevansinya dengan perbuatan kekerasan yang terjadi di Intan Jaya,” paparnya.

Dikatakan, masyarakat yang ada di Intan Jaya menjadi korban dari kelompok yang notabene  bukan dari warga Intan Jaya itu sendiri. Sebagaimana ada pembentukan kelompok yang diduga ikut menyemarakan kehadiran kelompok bersenjata di Intan Jaya.

“Dalam catatan kami, sejak Oktober hingga Desember 2019. Ada kelompok yang masuk ke Intan Jaya dari arah  timur yakni  kelompok dari Kabupaten Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Tolikara, Lany Jaya, Timika dan Kabupaten Nduga,” kata Kapolda.

Masuknya kelompok ini apakah dalam rangka memperebutkan sumber daya alam yang ada di Intan Jaya, sehingga mereka melakukan kekerasan untuk menyatakan kepada semua pihak tidak perlu hadir di Intan Jaya.

“Sebelumnya memang ada bahasa yang mengatakan mereka menolak kehadiran Koramil persiapan. Padahal tugas kita sebagai aparat keamanan di daerah rawan kita harus hadir sebagai perpanjangan tangan negara, untuk melindungi dan menjaga masyarakat yang ada di sana,” terangnya.

Kapolda menyesalkan kejadian yang berulang kali di Intan Jaya. Dirinya juga sudah melaporkan hal ini kepada Kapolri dan akan evaluasi secara ketat terhadap kehadiran pasukan Polri di Intan Jaya.

“Anggota kita akan dihadirkan di sana, sehingga ada upaya-upaya yang bisa melakukan penegakan hukum dengan baik,” ucapnya.

Dirinya meminta pemerintah daerah Intan Jaya untuk melakukan upaya keras membangun komunikasi aktif dengan  masyarakat. Sehingga masyarakat tidak dipengaruhi oleh para pihak tertentu untuk melakukan kekerasan.

“Pemerintah  harus mampu memberikan solusi kepada warganya, sehingga mengeliminir terjadinya kekerasan. Banyak contoh di Kabupaten lain di papua  yang dulunya setiap hari ada kekerasan, namun dengan pendekatan yang dilakukan oleh Pemda. Daerah tersebut menjadi aman dan tidak ada lagi gangguan keamanan. Dengan begitu, kita di papua tidak dikenal sebagai daerah hitam  yang setiap harinya  hanya bunyi kekerasan,”  pungkasnya.

Baca Juga :  Masalah HAM, Komnas HAM dan TNI-Polri Kerap Berbenturan

Sementara itu Komnas HAM melihat adanya kontak tembak demi kontak tembak tersebut ada satu pola baru yang bisa saja saling mencurigai atau salah sasaran.

Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramandey mengatakan, dari perspektif HAM. Kehadiran negara penting untuk mereduksi kekerasan demi kekerasan dan harus dirubah menjadi sebuah pendekatan dialgog atau komunikasi.

“TNI-Polri maupun kelompok sipil bersenjata harusnya menahan diri. Dalam kontes HAM kekerasan harus dikomunikasikan. Karena kekerasan tanpa dikomunikasikan akan menimbulkan kekerasan baru, menciderai kemanusiaan dan tidak mendapat simpati apa-apa,” ucap Frits kepada Cenderawasih Pos, Kamis (8/10).

Atas nama kemanusiaan, Komnas HAM mendesak negara untuk segera hadir dan berkomunikasi dengan semua stakeholder. Terutama masyarakat sipil yang terus menjadi korban dalam kontak tembak antara TNI-Polri dan kelompok bersenjata. “Atas nama kemanusian, kekerasan harus dihentikan apapun alasannya,” tegasnya.

Terkait dengan beberapa insiden yang terjadi di Intan Jaya dan Nduga, Frits mengaku telah berkomunikasi dengan lima jenderal di lingkungan Kogabwilhan III sebagai organisisasi baru yang berkedudukan di papua membawahi maluku, Maluku Utara, papua dan Papua Barat yang  anggotanya dari berbagai wilayah.

“Ini perlu penyelarasan dalam tubuh TNI, operasi yang dilakukan harus bisa dikendalikan oleh Pangdam. Sementara operasi kemanusiaan dan penegakan harus dibawah kendali kepolisian, jangan langsung diambil ahli oleh TNI. Karena kita tidak dalam situasi perang,” tegas Frits.

Menurut Frits, rentetan kontak tembak di Papua juga harus menjadi perhatian presiden untuk memberi arahan kepada panglima TNI, sehingga satuan baru bisa direposisi ulang agar tidak over komando di wilayah Pangdam XVII/Cenderawasih.

“Papua wilayah rawan konflik, bukan zona perang. Jadi kehadiran negara dalam rangka memberikan jaminan bahwa wilayah rawan konflik tetap ada dalam suasana damai dan kondusif,” kata Frits.

Dikatakan, operasi penegakan hukum di seluruh wilayah Papua harus sepenuhnya dibawah kendali Kapolda. TNI hanya satuan yang memberi dukungan yang tidak boleh ada di wilayah zona operasi, seluruh operasi harus ada dibawah kendali Kapolda.

“Kami mendesak Presiden Joko Widodo segera memanggil panglima TNI untuk penyelarasan satuan baru yang ada di Papua,” tegasnya.

Secara terpisah, West Papua Church Council (WPCC) atau Dewan Gereja Papua meminta pemerintah harus adil dan tidak membuat diskriminasi dalam penanganan kasus pelanggaran HAM dan masalah Politik di Aceh dan Papua.

Baca Juga :  Prokes Masih Harus Dilakukan, Khususnya Daerah Level 3

“Harus penyelesaian seperti di Aceh. Kenapa dia bisa mendapat keadilan sementara di orang Papua tidak bisa. Ini merupakan diskriminasi rasial yang berjalan di siang bolong dan telanjang,” ungkap Presiden  Baptis  Papua, Socrates S. Yoman  didampingi Ketua Sinode Kingmi Papua, Pdt. Benny Giyai,  Ketua Sinode GKI  di Tanah Papua Pdt. Andrikus Mofu dan Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo  saat menggelar jumpa pers di kantor Sinode Kingmi Papua, Kamis (8/10).

Dirinya juga meminta Presiden Jokowi untuk menjawab janjinya yang akan berbicara dengan kelompok pro kemerdekaan. “Kami mendukung  penryataan Jokowi, tanggal 30 September tahun 2019 untuk bertemu dengan pihak pro kemerdekaan dalam hal ini ULMWP,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Dewan Gereja Papua juga TGPF Intan Jaya yang dibentuk oleh Menkopolhukam Mahfud MD. “Tim bentuk tim tidak akan selesai. Sudah jelas kami gereja menolak tim ini,” tegasnya.

Sementara Ketua Sinode GKI  di Tanah Papua Pdt. Andrikus Mofu melihat melihat tim ini tidak independen. Karena beranggotakan aparat keamanan, pemerintah serta satuan militer.

“Sehingga tidak akan mengungkapkan peristiwa tersebut secara utuh, adil dan transparan berdasarkan fakta yang dimiliki Dewan Gereja Papua, dimana penembakan telah dilakukan oleh satuan TNI,” tuturnya.

“Kalau kami lihat berdasarkan pengalaman dan fakta-fakta yang pernah terjadi, dibentuk tim pencari fakta sebagaimana hari ini dibentuk oleh Menkopolhukam, sekali lagi kami sangat ragu dan tidak yakin bahwa tim pencari fakta yang sedang bekerja ini akan menghasilkan sesuatu yang valid atau sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan,” sambungnya.

Menurutnya, pemerintah juga harus membuka ruang kepada pihak lain yang secara independen harus membentuk tim pencari fakta turun lapangan mengali persoalan ini.

“Pimpinan gereja melihat ada pembiaran tidak hanya dilakukan oleh institusi militer tetapi pembiaran oleh negara terhadap setiap masalah dan peristiwa yang terjadi di Papua. Kunjungan 13 kali presiden di Papua tidak punya niat menyelesaikan masalah kemanusiaan di Papua sama saja tidak ada niat Jokowi untuk menyelesaikan persoalan hidup orang Papua,” tegasnya.

Dirinya mengatakan empat gereja yang tergabung dalam Dewan Gereja Papua ini juga sekarang sudah menjadi anggota dari Dewan Gereja Pasific yaitu GKI di Tanah Papua, Kingmi Papua, GIDI dan Baptis Papua. Hal ini diharapkan tentunya dapat mengawal kepentingan pelayanan umat dan juga ikut mengumuli masalah-masalah yang dihadapi oleh umat secara bersama-sama.

Ketua Sinode Kingmi Papua, Pdt. Benny Giyai mengingatkan Presiden Jokowi yang merupakan Panglima tertinggi TNI dan sebagai presiden negara anggota Dewan HAM PBB untuk menepati janjinya kepada ketua komisi tinggi Dewan HAM PBB pada Februari 2018 di Jakarta untuk berkunjung ke tanah Papua. (fia/oel/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya