Thursday, April 25, 2024
31.7 C
Jayapura

Mahasiswa Papua Titip Abu Untuk DPR RI

DEMO: Aksi pembakaran salinan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang dilakukan pemuda dan mahasiswa di Jayapura menolak pengesahan undang – undang tersebut oleh DPR RI, Kamis (8/10). Abu dari pembakaran salinan regulasi ini kemudian dititipkan untuk dibawa ke DPR RI. ( FOTO: Gamel/Cepos)

Aksi Demo Tolak Omnibus Law Berjalan Aman

JAYAPURA – Penolakan atas pengesahan Undang-Undang  Cipta Kerja atau Omnibus law masif terjadi di semua daerah tak terkecuali di Papua.

Untuk Kota Jayapura sendiri aksi protes menolak undang – undang ini  dilakukan di Taman Imbi  dengan melibatkan sejumlah organisasi pemuda dan mahasiswa. Ending dari aksi ini adalah pembacaan pernyataan sikap plus pembakaran Undang-Undang Omnibus Law di tengah pendemo.

Ini digambarkan sebagai bentuk penolakan masyarakat Papua yang diwakili oleh pemuda dan mahasiswa.

Abu dari sisa pembakaran tersebut kemudian diserahkan kepada Wakil Ketua I DPR Papua, DR. Yunus Wonda didampingi Sekretaris DPD Partai Demokrat Papua, Boy Markus Dawir untuk diteruskan ke DPR RI. “Ada 905 halaman dari regulasi Omnibus Law yang sudah kami print dan undang – undang ini sengaja kami bakar sebagai bentuk protes kami,” kata Benyamin Gurik, salah seorang koordinator aksi, Kamis (8/10).

Ketua GMKI Cabang Jayapura, Rafael Fiktor Tibul menyebut, ada enam tuntutan yang disampaikan dan semua mengarah pada penolakan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law. “Abunya kami serahkan ke DPRP untuk dikawal ke Jakarta sebagai bentuk penolakan terhadap adanya undang – undang ini. Kami menolak lantaran ada sejumlah pasal – pasal yang merugikan lingkungan maupun buruh. Ini undang – undang perbudakan yang dihidupkan kembali setelah zaman belanda dulu,” beber Fiktor.

Pihaknya menyatakan akan terus mengawal hingga presiden menerbitkan Perpu.  “Kami juga meminta 7 partai yang mendukung pengesahan ini untuk melakukan pertobatan nasional. Sebab keputusan ini akan membunuh rakyat secara perlahan,” imbuhnya. Yunus Wonda  usai menerima aspirasi menyampaikan bahwa  hasil penolakan ini akan disampaikan ke DPR RI.

Yunus berpendapat bahwa jika mau menerapkan sebuah regulasi yang berkaitan dengan daerah maka tak ada salahnya mengambil pendapat dari daerah.

“Kalau ada yang walk out artinya ada yang salah dan itu tetap dipaksakan. Partai Demokrat melihat ketika ini diberlakukan maka hutan kita akan rusak. Rakyat Papua menganggap hutan adalah kehidupan dia dan suatu saat pasti terjadi perubahan dan hutan di Papua terancam rusak dan kita hanya melihat,” sindirnya.

Aksi ini diikuti sejumlah organisasi pemuda dan mahasiswa diantaranya  GMKI, KAMI, HMI, Gempur Papua, IMM termasuk aliansi pemuda saireri.

Namun aksi ini menjadi sedikit aneh karena terjadi dua kubu yakni  HMI versi Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) dan HMI versi Diponegoro yang akhirnya keduanya membuat panggung dan berorasi secara terpisah.

Tak hanya itu mahasiswa juga terlihat lebih enjoy dan tak terlalu mengambil serius mengingat ada juga yang bermain skate board termasuk berfoto sambil memegang tulisan mencari jodoh.

Baca Juga :  Seluruh Fraksi Setuju Pembahasan RAPBN 2022

Sebelum menggelar aksi demo di Taman Imbi, ratusan mahasiswa dari kelompok Cipayung yang berasal dari sejumlah kampus di Jayapura berkumpul di Sekretariat HMI.

Di depan sekretariat HMI, mahasiswa menyuarakan unek-uneknya terkait penolakan Omnibus Law. Wakil Presiden Mahasiswa Uncen Nikson Hesegem mengatakan, demo yang dilakukan lantaran  melihat pengesahan UU Cipta Kerja merugikan rakyat. Dimana investor dari luar bakal leluasa masuk ke papua.

“Kami juga melihat ada beberapa pasal yang tidak memihak pada perempuan dan kaum tani. Selain itu, pemodal semakin kaya tapi rakyat kecil menderita,” tegas Nikson kepada Cenderawasih Pos.

Ia juga menyampaikan demo dengan alasan menolak Omnibus Law yakni hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, penggunaan outsourcing yang bebas, jam kerja eksploitatif, penggunaan karyawan kontrak yang tidak terbatas,  penggunaan TKA dan PHK yang dipermudah. Hilangnya jaminnan sosial bagi pekerja buruh khususnya kesehatan dan pensiunan, sanksi pidana yang dihilangkan.

“Unek-unek yang ingin kami sampaikan ke Kantor DPR, hanya saja dibatasi oleh aparat keamanan. Padahal tujuan kami baik, menolak Omnibus Law dan apa yang kami sampaikan harus didengar oleh anggota Dewan,” ucapnya.

Iapun menyesalkan hal itu. Padahal ini adalah negara demokrasi dimana setiap orang bisa menyampaikan pendapatnya di muka umum. Namun kenyataannya suara mereka dibungkam seakan hukum melawan rakyat sendiri.

Di tempat yang sama, Direktur LBH Papua Emanuel Gobay mengatakan apa yang disampaikan mahasiswa yang tergabung dalam beberapa OKP itu sangat membantu tanah manusia Papua dan juga segala isinya.

“Kita semua tahu Omnibus Law yang dibuat tidak sesuai dengan mekanisme pembuatan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU nomor 11 tahun 2012. Dimana fakta yang kita temukan tidak adanya public hearing yang dilakukan. Padahal ini tatarannya UU untuk diberlaukan di seluruh Indonesia,” paparnya.

Ia juga menyebut UU tersebut cacat prosedur dan setelah didalami UU ini dibuat untuk kepentingan investor dengan  sumberdaya alam Papua yang kaya raya. Menjadikan legitimasi bagi perampasan sumber daya alam yang ada di Papua. Bahkan akan merampas tanah adat yang ada tanpa mengakui eksistensi masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat.

“Ini juga akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat hebat. Karena dalam UU tersebut mencabut beberapa hal-hal prinsip pembangunan yang ramah lingkungan, sebagai contoh tidak ada izin dan amdal,” terangnya.

Selain itu lanjut Gobay, akan mengakibatkan penghisapan masyarakat yang sangat dahsyat dalam konteks ada model perbudakan modern. Karena buruh yang kemudian  bekerja dalam konteksi UU tersebut  akan dikasih upah dibawah UMP, ada kemungkinan tidak ada pesangon.

Baca Juga :  Kantor BPBD Dogiyai Terbakar

“Ini memberikan keleluasaan bagi perusahaan untuk seenaknya mem-PHK tanpa ada pesangon. Kondisi ini mirip seperti yang dialami oleh 8.300 buruh PT Freeport,” ujarnya.

Terkait dengan aksi demo mereka yang dihadang dan tidak diizinkan ke kantor DPRP, Gobay melihat adanya pembungkaman. Bisa disimpulkan TNI-Polri yang menghambat ini adalah antek-antek kapital.

Sementara itu, anggota DPRP Alfred Fredi Ano yang datang langsung ke TKP mengaku ingin mendengar langsung apa yang disampaikan oleh mahasiswa.

“Kami lembaga DPRP siap menerima aspirasi mereka. Untuk menunjukan sikap lembaga, saya menemui masa di TKP untuk melakukan koordinasi,” jelas Alfred.

Diakuinya, massa demo ingin menyampaikan aspirasinya ke DPRP. Hanya saja dicegat pihak keamanan. “Demokrasi sepanjangn tidak menentang kesatuan NKRI harusnya diizinkan dan aparat harus melihat mereka sebagai satu tujuan dan satu mata jangan beda-bedakan,” pungkasnya.

Ketua HMI Cabang Jayapura, Harianto Rumagia mengatakan, pihaknya sudah berkoodinasi dengan para pimpinan dan anggota DPR Provinsi Papua, terkait dengan aksi demonstrasi hari ini (kemarin-red). Pihak DPR Papua sudah bersedia untuk menerima aspirasi yang akan disampaikan.

“Saya harapkan bapak polisi tidak menghalangi kami menuju kantor DPR Papua, karena yang kami suarakan aalah kepentingan masyarakat Indonesia secara umumnya,” ucapnya.

Namun pihak kepolisian tidak mengizinkan massa aksi dalam jumlah banyak. Karena mengingat saat ini masih pandemi Covid-19, sehingga massa aksi tidak diperkenankan ke kantor DPR Papua.

Para pimpinan organisasi cipayung kemudian berkoordinasi lagi dengan pihak kepolisian dalam hal ini Kapolsek Abepura, AKP. Clief Gerald Philipus Duwith untuk diizinkan menyampaikan aspirasi di gedung DPR Papua. Namun tetap saja tidak diizinkan.

“Sesuai dengan perintah pak Kapolresta, maka kami tidak izinkan untuk menyampaikan aspirasi dalam jumlah banyak di masa pandemi Covid-19,” kata Kapolsek Abepura, AKP Clief Gerald Philipus Duwith.

Pihak kelompok Cipayung dan BEM Se-Jayapura kemudian berdiskusi dan menyampaikan bahwa yang pergi menyampaikan aspirasi, yaitu perwakilan dari organisasi yang ada.

Dimana ada 30 organisasi, sehingga nanti setiap oranganisasi diwakilkan satu orang.

Kapolsek Abepura kemudian melakukan koordinasi dengan Kapolresta Jayapura dan Kabag OPS Polresta Jayapura Kota, sehingga massa aksi hanya diperbolehkan diwakili dari setiap organisasi, agar mudah dikontrol ketika sampai di gedung DPR Papua.

“Massa aksi kami kemudian diizinkan hanya 30 orang mewakili dari setiap organisasi yang ada untuk ke gedung DPR Papua menyampaikan aspirasi. Sedangkan massa aksi yang lainnya membubarkan diri dan tidak ikut ke Gedung DPR Papua,” ujar Duwith.(ade/bet/fia/nat)

DEMO: Aksi pembakaran salinan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang dilakukan pemuda dan mahasiswa di Jayapura menolak pengesahan undang – undang tersebut oleh DPR RI, Kamis (8/10). Abu dari pembakaran salinan regulasi ini kemudian dititipkan untuk dibawa ke DPR RI. ( FOTO: Gamel/Cepos)

Aksi Demo Tolak Omnibus Law Berjalan Aman

JAYAPURA – Penolakan atas pengesahan Undang-Undang  Cipta Kerja atau Omnibus law masif terjadi di semua daerah tak terkecuali di Papua.

Untuk Kota Jayapura sendiri aksi protes menolak undang – undang ini  dilakukan di Taman Imbi  dengan melibatkan sejumlah organisasi pemuda dan mahasiswa. Ending dari aksi ini adalah pembacaan pernyataan sikap plus pembakaran Undang-Undang Omnibus Law di tengah pendemo.

Ini digambarkan sebagai bentuk penolakan masyarakat Papua yang diwakili oleh pemuda dan mahasiswa.

Abu dari sisa pembakaran tersebut kemudian diserahkan kepada Wakil Ketua I DPR Papua, DR. Yunus Wonda didampingi Sekretaris DPD Partai Demokrat Papua, Boy Markus Dawir untuk diteruskan ke DPR RI. “Ada 905 halaman dari regulasi Omnibus Law yang sudah kami print dan undang – undang ini sengaja kami bakar sebagai bentuk protes kami,” kata Benyamin Gurik, salah seorang koordinator aksi, Kamis (8/10).

Ketua GMKI Cabang Jayapura, Rafael Fiktor Tibul menyebut, ada enam tuntutan yang disampaikan dan semua mengarah pada penolakan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law. “Abunya kami serahkan ke DPRP untuk dikawal ke Jakarta sebagai bentuk penolakan terhadap adanya undang – undang ini. Kami menolak lantaran ada sejumlah pasal – pasal yang merugikan lingkungan maupun buruh. Ini undang – undang perbudakan yang dihidupkan kembali setelah zaman belanda dulu,” beber Fiktor.

Pihaknya menyatakan akan terus mengawal hingga presiden menerbitkan Perpu.  “Kami juga meminta 7 partai yang mendukung pengesahan ini untuk melakukan pertobatan nasional. Sebab keputusan ini akan membunuh rakyat secara perlahan,” imbuhnya. Yunus Wonda  usai menerima aspirasi menyampaikan bahwa  hasil penolakan ini akan disampaikan ke DPR RI.

Yunus berpendapat bahwa jika mau menerapkan sebuah regulasi yang berkaitan dengan daerah maka tak ada salahnya mengambil pendapat dari daerah.

“Kalau ada yang walk out artinya ada yang salah dan itu tetap dipaksakan. Partai Demokrat melihat ketika ini diberlakukan maka hutan kita akan rusak. Rakyat Papua menganggap hutan adalah kehidupan dia dan suatu saat pasti terjadi perubahan dan hutan di Papua terancam rusak dan kita hanya melihat,” sindirnya.

Aksi ini diikuti sejumlah organisasi pemuda dan mahasiswa diantaranya  GMKI, KAMI, HMI, Gempur Papua, IMM termasuk aliansi pemuda saireri.

Namun aksi ini menjadi sedikit aneh karena terjadi dua kubu yakni  HMI versi Majelis Penyelamat Organisasi (MPO) dan HMI versi Diponegoro yang akhirnya keduanya membuat panggung dan berorasi secara terpisah.

Tak hanya itu mahasiswa juga terlihat lebih enjoy dan tak terlalu mengambil serius mengingat ada juga yang bermain skate board termasuk berfoto sambil memegang tulisan mencari jodoh.

Baca Juga :  Dua KKB Tewas Saat Kontak Tembak di Tembagapura

Sebelum menggelar aksi demo di Taman Imbi, ratusan mahasiswa dari kelompok Cipayung yang berasal dari sejumlah kampus di Jayapura berkumpul di Sekretariat HMI.

Di depan sekretariat HMI, mahasiswa menyuarakan unek-uneknya terkait penolakan Omnibus Law. Wakil Presiden Mahasiswa Uncen Nikson Hesegem mengatakan, demo yang dilakukan lantaran  melihat pengesahan UU Cipta Kerja merugikan rakyat. Dimana investor dari luar bakal leluasa masuk ke papua.

“Kami juga melihat ada beberapa pasal yang tidak memihak pada perempuan dan kaum tani. Selain itu, pemodal semakin kaya tapi rakyat kecil menderita,” tegas Nikson kepada Cenderawasih Pos.

Ia juga menyampaikan demo dengan alasan menolak Omnibus Law yakni hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, penggunaan outsourcing yang bebas, jam kerja eksploitatif, penggunaan karyawan kontrak yang tidak terbatas,  penggunaan TKA dan PHK yang dipermudah. Hilangnya jaminnan sosial bagi pekerja buruh khususnya kesehatan dan pensiunan, sanksi pidana yang dihilangkan.

“Unek-unek yang ingin kami sampaikan ke Kantor DPR, hanya saja dibatasi oleh aparat keamanan. Padahal tujuan kami baik, menolak Omnibus Law dan apa yang kami sampaikan harus didengar oleh anggota Dewan,” ucapnya.

Iapun menyesalkan hal itu. Padahal ini adalah negara demokrasi dimana setiap orang bisa menyampaikan pendapatnya di muka umum. Namun kenyataannya suara mereka dibungkam seakan hukum melawan rakyat sendiri.

Di tempat yang sama, Direktur LBH Papua Emanuel Gobay mengatakan apa yang disampaikan mahasiswa yang tergabung dalam beberapa OKP itu sangat membantu tanah manusia Papua dan juga segala isinya.

“Kita semua tahu Omnibus Law yang dibuat tidak sesuai dengan mekanisme pembuatan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU nomor 11 tahun 2012. Dimana fakta yang kita temukan tidak adanya public hearing yang dilakukan. Padahal ini tatarannya UU untuk diberlaukan di seluruh Indonesia,” paparnya.

Ia juga menyebut UU tersebut cacat prosedur dan setelah didalami UU ini dibuat untuk kepentingan investor dengan  sumberdaya alam Papua yang kaya raya. Menjadikan legitimasi bagi perampasan sumber daya alam yang ada di Papua. Bahkan akan merampas tanah adat yang ada tanpa mengakui eksistensi masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat.

“Ini juga akan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat hebat. Karena dalam UU tersebut mencabut beberapa hal-hal prinsip pembangunan yang ramah lingkungan, sebagai contoh tidak ada izin dan amdal,” terangnya.

Selain itu lanjut Gobay, akan mengakibatkan penghisapan masyarakat yang sangat dahsyat dalam konteks ada model perbudakan modern. Karena buruh yang kemudian  bekerja dalam konteksi UU tersebut  akan dikasih upah dibawah UMP, ada kemungkinan tidak ada pesangon.

Baca Juga :  Kantor BPBD Dogiyai Terbakar

“Ini memberikan keleluasaan bagi perusahaan untuk seenaknya mem-PHK tanpa ada pesangon. Kondisi ini mirip seperti yang dialami oleh 8.300 buruh PT Freeport,” ujarnya.

Terkait dengan aksi demo mereka yang dihadang dan tidak diizinkan ke kantor DPRP, Gobay melihat adanya pembungkaman. Bisa disimpulkan TNI-Polri yang menghambat ini adalah antek-antek kapital.

Sementara itu, anggota DPRP Alfred Fredi Ano yang datang langsung ke TKP mengaku ingin mendengar langsung apa yang disampaikan oleh mahasiswa.

“Kami lembaga DPRP siap menerima aspirasi mereka. Untuk menunjukan sikap lembaga, saya menemui masa di TKP untuk melakukan koordinasi,” jelas Alfred.

Diakuinya, massa demo ingin menyampaikan aspirasinya ke DPRP. Hanya saja dicegat pihak keamanan. “Demokrasi sepanjangn tidak menentang kesatuan NKRI harusnya diizinkan dan aparat harus melihat mereka sebagai satu tujuan dan satu mata jangan beda-bedakan,” pungkasnya.

Ketua HMI Cabang Jayapura, Harianto Rumagia mengatakan, pihaknya sudah berkoodinasi dengan para pimpinan dan anggota DPR Provinsi Papua, terkait dengan aksi demonstrasi hari ini (kemarin-red). Pihak DPR Papua sudah bersedia untuk menerima aspirasi yang akan disampaikan.

“Saya harapkan bapak polisi tidak menghalangi kami menuju kantor DPR Papua, karena yang kami suarakan aalah kepentingan masyarakat Indonesia secara umumnya,” ucapnya.

Namun pihak kepolisian tidak mengizinkan massa aksi dalam jumlah banyak. Karena mengingat saat ini masih pandemi Covid-19, sehingga massa aksi tidak diperkenankan ke kantor DPR Papua.

Para pimpinan organisasi cipayung kemudian berkoordinasi lagi dengan pihak kepolisian dalam hal ini Kapolsek Abepura, AKP. Clief Gerald Philipus Duwith untuk diizinkan menyampaikan aspirasi di gedung DPR Papua. Namun tetap saja tidak diizinkan.

“Sesuai dengan perintah pak Kapolresta, maka kami tidak izinkan untuk menyampaikan aspirasi dalam jumlah banyak di masa pandemi Covid-19,” kata Kapolsek Abepura, AKP Clief Gerald Philipus Duwith.

Pihak kelompok Cipayung dan BEM Se-Jayapura kemudian berdiskusi dan menyampaikan bahwa yang pergi menyampaikan aspirasi, yaitu perwakilan dari organisasi yang ada.

Dimana ada 30 organisasi, sehingga nanti setiap oranganisasi diwakilkan satu orang.

Kapolsek Abepura kemudian melakukan koordinasi dengan Kapolresta Jayapura dan Kabag OPS Polresta Jayapura Kota, sehingga massa aksi hanya diperbolehkan diwakili dari setiap organisasi, agar mudah dikontrol ketika sampai di gedung DPR Papua.

“Massa aksi kami kemudian diizinkan hanya 30 orang mewakili dari setiap organisasi yang ada untuk ke gedung DPR Papua menyampaikan aspirasi. Sedangkan massa aksi yang lainnya membubarkan diri dan tidak ikut ke Gedung DPR Papua,” ujar Duwith.(ade/bet/fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya