“Warga trans ini mendapat lokasi dari pemerintah. Jadi bukan datang kemudian caplok wilayah sana sini. Itu pemahaman yang salah. Lokasi yang digunakan tentunya sudah disepakati dengan pemilik ulayat dan ada hitung – hitungannya. Jadi kalau pemilik ulayat setuju mengapa yang lain yang bukan punya lokasi menolak? toh tidak mengganggu wilayah lain karena sudah ditentukan,” cecar Yonas.
Ia melihat penolakan ini dilakukan lantaran kekhawatiran terjadi kecemburuan sosial baik dari aspek ekonomi maupun wilayah yang digunakan. Namun disini Yonas menyampaikan bahwa program transmigrasi sudah ada sejak jaman kolonial Belanda dan sempat terhenti. Dari era itu seharusnya masyarakat belajar untuk berkembang.
“Masak dari jaman dulu sampai sekarang kita begini – begini saja. Beralasan bisa terjadi kesenjangan sosial atau kesenjangan ekonomi. Dari dulu masak tidak berusaha untuk semakin berkembang sehingga sekalipun program ini masuk kita anggap saja tidak ada pengaruhnya karena kita sudah siap,” tambahnya.
Kata Yonas Nusi, suka dan tidak suka ini adalah kebijakan presiden kewenangan penuh ada di tangan presiden. Untuk itu ia mengatakan perlunya edukasi dan penyampaian baik kepada masyarakat.
“Saya sampaikan ini karena memang kenyataannya begitu, bahwa kehadiran mereka dari luar Papua ini ikut memberi kontribusi dalam percepatan pembangunan di Papua dan itu tak bisa dipungkiri,” paparnya.
Nusi berharap, masyarakat yang akan di transmigrasi nanti perlu dibekali dengan pengalaman dan pengetahuan yang cukup dalam pertanian agar dapat berkerja sama dengan masyarakat setempat melakukan transfer knowledge.
Meski begitu ia setuju apabila isu yang berkembang di tengah masyarakat ini kembali dibahas. Dilakukan evaluasi untuk mengeliminir dampak negatif. Berbeda disampaikan, Thomas Songdegau, mantan pimpinan DPR Papua yang telah berakhir periodesasinya ini mengatakan bahwa perlunya pemerintah pusat duduk bersama mengingat banyaknya masyarakat yang menolak.