“Saya pikir demo mahasiswa dan pemuda di Jayapura patut diapresiasi. Mereka berbeda dengan daerah lain yang justru rusuh dan bakar-bakaran,” sambung Frits. “Demonstrasi adalah bagian dari hak warga negara. Tetapi hak itu juga datang dengan tanggung jawab. Dua kelompok sudah melakukan itu. Aspirasi disampaikan secara terorganisir, menghormati hukum, serta tetap menjaga situasi tetap aman dan kondusif,” imbuhnya.
Sementara aksi demo di Lingkaran Abepura menitipkan pesan yang tak kalah pedas. Di balik lantangnya suara orator silih berganti ada bisikan yang tak terdengar namun tergores jelas kain dan kertas. Bukan melalui pengeras suara, melainkan lewat tinta yang diuntaikan pada spanduk dan flayer yang terbentang rapi oleh Aliansi Mahasiswa Papua di Kota Jayapura.
Bahasa diam yang tak bersuara, tapi penuh luka dan makna ini lahir dari keresahan, harapan, dan doa yang diangggap terbungkam. Massa mendesak penghentian pendropan pasukan TNI di Tanah Papua. Disampaikan penanggungjawab aksi, Kamus Bayage bahwa kekerasan militerisme di tanah Papua tidak pernah berhenti sejak Trikora pada 1961, Perjanjian New York 1962, hingga Pepera 1969.
Menurut mereka, sejak saat itu berbagai tragedi kekerasan berdarah terus terjadi, mulai dari Biak, Mapenduma, Wamena, Wasior, Paniai, hingga peristiwa terkini di Sorong. Solidaritas Mahasiswa Papua menyoroti peristiwa penangkapan aktivis Front Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (FNMPP), Yance Manggaprouw, oleh aparat Polresta Sorong Kota pada 27 Agustus 2025.
Penangkapan tersebut dinilai sewenang-wenang karena dilakukan tanpa surat perintah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) KUHAP. Menurut pendamping hukum dari LBH Papua Pos Sorong dan PBHKP, Yance mengalami penganiayaan saat ditangkap, termasuk dipukul menggunakan popor senjata api, diborgol, hingga mengalami luka di bagian kepala, tangan, dan leher. Polisi juga diduga merampas telepon genggam milik Yance tanpa persetujuan.
Selain Yance, LBH Papua mencatat sedikitnya 17 orang massa aksi ikut ditangkap dengan cara yang dianggap tidak prosedural. Beberapa diantaranya mengaku mendapat perlakuan penyiksaan, termasuk seorang anak berusia 15 tahun berinisial YK yang ikut diamankan. Bahkan, ditemukan proyektil peluru di sekitar lokasi kejadian, yang diduga berasal dari tembakan aparat.
Atas dasar itu, Solidaritas Mahasiswa Papua menyampaikan delapan poin pernyataan sikap, di antaranya, Kapolri diminta memerintahkan Kapolda Papua Barat Daya dan Kapolresta Sorong untuk membebaskan masyarakat sipil yang ditangkap serta memproses hukum oknum polisi pelaku tindak pidana.