Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Kekerasan Tak Bisa Dibiarkan Berkepanjangan

#Mitra Komnas HAM Turun ke Nduga

JAYAPURA-Pasca tewasya dua warga sipil di Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga akibat ditembak oknum TNI, Sabtu (18/7) lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) didesak untuk lakukan investigasi ke Nduga.

Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua Frits Ramandey menyampaikan, desakan agar Komnas HAM turun ke TKP dianggap penting. Namun, pasca kejadian penembakan yang menewaskan ayah dan anak yakni Elias karunggu  (40) dan Seru Karunggu  (20), Komnas HAM telah meminta kepada TNI terutama Satgas 330 untuk terbuka dalam kasus ini.

Frits Ramandey ( FOTO: Elfira/Cepos)

“Desakan itu penting. Kami  telah meminta Satgas 330 untuk bisa membuktikan, kalau mereka (korban, red) itu adalah kelompok sipil bersenjata (KSB). Ada dua hal penting yang harus disampaikan ke publik yakni menyebutkan keterlibtan mereka pada aksi kekerasan terhadap warga sipil dan disebutkan mereka membawa senjata nomor serinya berapa,” terang Frits saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Senin (3/8).

Baca Juga :  Kuasa Hukum Gubernur Papua Akan Penuhi Pemeriksaan KPK

Menurut Frits, TNI memang telah menyebutkan dua syarat penting tersebut. Namun harus transparan dan hal-hal seperti ini tidak boleh terulang lagi kedepannya.

Selain itu, Komnas HAM juga telah menugaskan mitranya yang saat ini sedang bekerja di Kenyam Kabupaten Nduga untuk tujuh hari kedepan.

”Mitra kami sudah datangi lokasi, sedang mendalami dan meminta keterangan testimoni dari berbagai pihak. Termasuk anak dari Karunggu, hasil dari investigasi nantinya akan kami umumkan,” ucap Frits.

Terkait dengan permintaan penarikan pasukan non organik di Nduga, Frits menilai wilayah  yang dianggap rentan perlunya ada perhatian dan kehadiran negara. Sebab, kekerasan tidak bisa dibiarkan berkepanjangan.

“Kelompk bersenjata dengan TNI-Polri tidak bisa dibiarkan untuk saling berhadap-hadapan dengan menggunakan senjata. Karena senjata selalu melahirkan kekerasan,” tegas Frits.

Lanjut Frits, negara memiliki kapasitas yang cukup dengan struktur yang  terstruktur, karena itu pentingnya keterlibatan  birokrasi sipil. Berulanag kali Komnas HAM meminta keterlibatan birokrasi sipil. Karena tidak bisa membiarkan TNI-Polri berhadapan  dengan KSB.

Baca Juga :  Anies Senang Kembali Kunjungi Papua

“Perlu membutuhkan  sebuah intervensi dari birokrasi  sipil, bisa berupa para bupati, ketua DPR  untuk mengkomunikasikan dan mengupayakan sebuah proses negosiasi, mediasi untuk melahirkan  sebuah consensus,” ucapnya. 

Menurut Frits, menarik pasukan juga negara harus mempertimbangkan keberlangsungna dari keamanan hak atas rasa aman warga negara di wilayah yang sedang berkonflik. Karena tidak boleh lagi membiarkan  konflik berkepanjangan dan membuat rasa aman warga negara menjadi hilang.

“Komnas HAM  belum memiliki sebuah rujukan dan  belum memiliki ukuran untuk mengatakan tarik atau tidak tarik pasukan.  Kabupaten Nduga itu memiliki kelompok sipil bersenjata, sehingga membutuhkan sebuah komunikasi, proses negosiasi dan mediasi yang melibatkan pemangku kepentingan,” pungkasnya. (fia/nat)

#Mitra Komnas HAM Turun ke Nduga

JAYAPURA-Pasca tewasya dua warga sipil di Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga akibat ditembak oknum TNI, Sabtu (18/7) lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) didesak untuk lakukan investigasi ke Nduga.

Kepala Komnas HAM RI Perwakilan Papua Frits Ramandey menyampaikan, desakan agar Komnas HAM turun ke TKP dianggap penting. Namun, pasca kejadian penembakan yang menewaskan ayah dan anak yakni Elias karunggu  (40) dan Seru Karunggu  (20), Komnas HAM telah meminta kepada TNI terutama Satgas 330 untuk terbuka dalam kasus ini.

Frits Ramandey ( FOTO: Elfira/Cepos)

“Desakan itu penting. Kami  telah meminta Satgas 330 untuk bisa membuktikan, kalau mereka (korban, red) itu adalah kelompok sipil bersenjata (KSB). Ada dua hal penting yang harus disampaikan ke publik yakni menyebutkan keterlibtan mereka pada aksi kekerasan terhadap warga sipil dan disebutkan mereka membawa senjata nomor serinya berapa,” terang Frits saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Senin (3/8).

Baca Juga :  KPU Papua Sebut 4 Daerah Potensi Kerawanan Pilkada

Menurut Frits, TNI memang telah menyebutkan dua syarat penting tersebut. Namun harus transparan dan hal-hal seperti ini tidak boleh terulang lagi kedepannya.

Selain itu, Komnas HAM juga telah menugaskan mitranya yang saat ini sedang bekerja di Kenyam Kabupaten Nduga untuk tujuh hari kedepan.

”Mitra kami sudah datangi lokasi, sedang mendalami dan meminta keterangan testimoni dari berbagai pihak. Termasuk anak dari Karunggu, hasil dari investigasi nantinya akan kami umumkan,” ucap Frits.

Terkait dengan permintaan penarikan pasukan non organik di Nduga, Frits menilai wilayah  yang dianggap rentan perlunya ada perhatian dan kehadiran negara. Sebab, kekerasan tidak bisa dibiarkan berkepanjangan.

“Kelompk bersenjata dengan TNI-Polri tidak bisa dibiarkan untuk saling berhadap-hadapan dengan menggunakan senjata. Karena senjata selalu melahirkan kekerasan,” tegas Frits.

Lanjut Frits, negara memiliki kapasitas yang cukup dengan struktur yang  terstruktur, karena itu pentingnya keterlibatan  birokrasi sipil. Berulanag kali Komnas HAM meminta keterlibatan birokrasi sipil. Karena tidak bisa membiarkan TNI-Polri berhadapan  dengan KSB.

Baca Juga :  Tujuh Tersangka Kerusuhan Disarankan Dipulangkan

“Perlu membutuhkan  sebuah intervensi dari birokrasi  sipil, bisa berupa para bupati, ketua DPR  untuk mengkomunikasikan dan mengupayakan sebuah proses negosiasi, mediasi untuk melahirkan  sebuah consensus,” ucapnya. 

Menurut Frits, menarik pasukan juga negara harus mempertimbangkan keberlangsungna dari keamanan hak atas rasa aman warga negara di wilayah yang sedang berkonflik. Karena tidak boleh lagi membiarkan  konflik berkepanjangan dan membuat rasa aman warga negara menjadi hilang.

“Komnas HAM  belum memiliki sebuah rujukan dan  belum memiliki ukuran untuk mengatakan tarik atau tidak tarik pasukan.  Kabupaten Nduga itu memiliki kelompok sipil bersenjata, sehingga membutuhkan sebuah komunikasi, proses negosiasi dan mediasi yang melibatkan pemangku kepentingan,” pungkasnya. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya