Sunday, November 24, 2024
30.7 C
Jayapura

Theo: Tragedi Beoga Adalah Kejahatan Kemanusiaan

JAYAPURA –  Pembela HAM angkat bicara perihal tewasnya delapan orang Karyawan Palapa Ring Timur Telematika (PTT) yang diduga diserang Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) saat sedang melaksanakan perbaikan Tower Base Transceiver Station (BTS) 3 Telkomsel di Disteim Beoga, Rabu (2/3).

Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembela Ham) Theo Hesegem menyampaikan, kejadian di Beoga Kabupaten Puncak merupakan kejahatan kriminal sekaligus kejahatan kemanusiaan.

“Tregedi Beoga adalah kejahatan kemanusiaan, sebab setiap nyawa orang tidak bisa dicabut oleh siapapun. Mereka punya hak hidup, hak kebebasan, hak untuk bekerja dan punya hak mau tinggal dimana saja. Tidak bisa hak mereka dicabut oleh siapapun kecuali Tuhan,” tegas Theo saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Jumat (4/3).

“Kita tidak bisa memandang bahwa mereka adalah orang orang non Papua lantas ditembak atau dibunuh, jika menggunakan istilah seperti itu maka ini salah besar. Tidak boleh menggunakan istilah itu, karena orang non Papua maupun orang papua punya hak hidup yang sama, mau hidup dimana saja bisa karena kita masih dalam bingkai NKRI,” sambungnya.

Theo juga menjelaskan kenapa peristiwa Beoga tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM ? sebab para pelakunya adalah kelompok bersenjata, dimana senjata yang digunakan bukan senjata resmi melainkan hasil perempasan. Dikatakan pelanggaran HAM kecuali pelakunya adalah negara dalam hal ini TNI-Polri dan korbannya adalah sipil. Serta senjata yang digunakan diberikan negara yang resmi atau diamanatkan oleh negara secara undang undang untuk menggunakan senjata tersebut.

“Jika pelakunya adalah OPM, maka sudah jelas masuk dalam kategori kriminal dan mereka harus diproses hukum. Namun apakah mereka ini berhasil ditangkap atau tidak ? yang pasti, itu tindakan tidak manusiawi dan kita prihatin dengan tindakan itu,” tuturnya.

Theo menjelaskan, jika OPM mau berjuang murni soal Papua Merdeka. Tidak boleh melakukan tindakan yang membuat hati rakyat sakit, jika perjuangan itu murni benar benar ingin merdeka maka Tuhan juga akan tahu.

“Kalau mau berjuang murni ajak TNI-Polri yang punya senjata untuk perang, tentukan jadwalnya dan tempatnya. Jangan jadikan sipil sebagai korban, dari peristiwa ini. Semua orang yang ada di daerah konflik di Papua akan takut, terkhusus bagi teman teman non Papua maupun warga Papua sendiri yang merasakan kekerasan aparat dan OPM. Peristiwa ini menjadikan warga akan hidup dengan perasaan takut dan trauma, mereka hidup tapi diselimuti dengan perasaan takut,” tuturnya.

Theo menyadari, tidak boleh berbicara ketika hanya ada peristiwa yang terjadi di tanah ini, melainkan harus ada solusi konkrit. Ketika ada masalah ramai ramai menyampaikan keprihatinan dan berbicara seolah olah orang akan membenci orang orang yang kerja pembela HAM.

Baca Juga :  Belum Gelar Sidang Perubahan, Harusnya Minta Maaf 

“Sekarang yang kami lihat setiap ada kejadian orang orang berteriak pembela HAM dimana,  tapi perlu diingat. Dari seluruh peristiwa ini perlu ada tindak lanjut yang dilakukan pemerintah daerah dan pemerintah provinsi, kita tidak boleh hidup dalam konflik yang terus menerus terjadi, harus ada solusi perdamaian,” cercanya.

“Panglima dan Kapolri selalu lantang menyuarakan pendekatan humanis, tapi pendekatan humanis yang disertai tindakan tindakan kekerasan tidak menyenangkan. Terlebih korbannya adalah OAP dan non OAP, sementara petinggi di negeri ini hidup tenang dan duduk manis,” tuturnya.

Kata Theo, setiap kejadian di Papua. Ia terus bersuara dan itu dianggap membosankan, sagaimana konflik bersenjata selalu terjadi di Papua seperti di Pegunungan Bintang, Yahukimo, Nduga, Intan Jaya dan terakhir di Beoga Kabupaten Puncak.

Theo berpendapat bahwa Pemerintah tidak pernah berpikir dengan situasi konflik di Papua, sehingga pemerintah pusat terus mendesak untuk mensejahterakan orang Papua dan membangun infrastruktur di daerah konflik.

“Saya tidak tahu apakah kejadian di Beoga terjadi saat karyawan PTT ini sedang mengerjakan BTS dan kemudian mereka ditembak oleh OTK. Tetapi sekali lagi, mereka ini punya hak untuk bekerja. Perlu diingat juga, selama ini kita mendengar statmen OPM teramat jelas bahwa mereka tidak perlu pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan dan itu harus dipahami setiap orang,” tuturnya.

Dilain sisi kata Theo, hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengevaluasi bagaimana korban sipil papua maupun non papua terus ditembak dan dibunuh dengan cara yang tidak manusiawi selama konflik bersenjata yang terjadi di Papua. Setiap kejadian di daerah konflik bersenjata, pemerintah provinsi menganggap ini hal yang biasa tanpa pernah melakukan evaluasi soal situasi konflik di Papua. Padahal, dari hasil evalusi tadi bisa disampaikan ke pemerintah pusat.

“Kasihan masyarakat sipil yang hingga saat ini terus menjadi korban atas apa yang terjadi di tanah ini, yang mereka sendiri tidak tahu menahu persoalnnya. Jangan sekali kali menghilangkan nyawa orang yang tidak mempunyai senjata, biarkan mereka ini bekerja tanpa diganggu oleh siapapun,” tegasnya.

Menurut Theo, tewasnya 8 karyawan dari PTT tak jauh dari peristiwa penyiksaan terhadap 7 anak di Kabupaten Puncak belum lama ini. Harusnya, tindakan tindakan seperti ini tidak perlu terjadi.

“Semua kebijakan ada di pemerintah pusat terkait apa yang terjadi di Papua saat ini, jika seperti ini terus lantas kapan masalah berakhir dan kitab isa hidup damai dan aman,” tanya Theo.

Theo juga meminta pemerintah harus bijak menyikapi konflik bersenjata di Papua, harus mengevaluasi semua kasus mulai dari Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo dan Puncak. Semua peristiwa yang terjadi di daerah konflik ini bisa dibuatkan laporan yang valid dan kuat, sehingga hasil laporan tersebut yang disampaikan kepada pemerintah pusat.

Baca Juga :  Tak Ingin Kecolongan, TNI Perketat Jalur Perbatasan

“Pemerintah daerah punya kewajiban untuk melakukan investigasi secara menyeluruh jangan hanya tidur, saat ini warga papua sedang mengalami krisis kemanusiaan. Pemda tidah boleh bisu dengan kejadian seperti ini, karena ini sudah sering terjadi,” pungkasnya.

 

Sementara itu, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menilai kasus Beoga dalam aspek definisi pelanggaran HAM dimana perbuatan seseorang atau sekelompok orang atau aparatur negara dapat disebut sebagai pelanggaran HAM. Tapi dari aspek perbuatan, ini adalah perbuatan kriminal yang mengakibatkan 8 orang meninggal dunia.

“Kami mendorong Polda Papua bisa mengungkap siapa pelakunya dan apa motif utamanya. Kita tahu di wilayah itu ada kelompok sipil bersenjata,” kata Kepala Komnas HAM Papua Frits Ramandey saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Jumat (4/3).

Dikatakan Frits, ada beberapa hal yang melatar belakangi kejadian di Beoga Kabupatan Puncak. Harusnya, kejadian di Nduga pada tahun 2019 tewasnya puluhan karyawan PT Istaka Karya menjadi rujukan pengamanan terhadap pekerja sipil di Papua yang bekerja di daerah rawan kekerasan yang dilakukan Kelompok Sipil Bersenjata (KSB). Sehingga kejadian itu tidak terjadi di Beoga.

“Kejadian Nduga harusnya menjadi rujukan baik perusahaan tapi juga rujukan bagi aparat keamanan dan Pemda setempat, daerah yang dianggap rawan ketika ada pekerjaan mestinya ada aspek keamanan, dan bagaimana penerimaan para pihak dengan pelibatan stakeholder lokal yang ada di daerah tersebut,” tutur Frits.

Frits mengklaim dirinya sudah mengkonfirmasi kepada KSB terutama yang ada di Intan Jaya. Dimana pengakuan dari KSB tersebut menyampaikan apa yang dilakukan merupakan aksi protes terhadap rencana operasinya Blog Wabu yang ada di Intan Jaya.

“Di duga pemasangan jaringan ini dalam rangka mendukung operasinya Blog Wabu yang ada di Kabupaten Intan Jaya. Hal ini berdasarkan konfirmasi saya secara langsung kepada KSB yang ada di Intan Jaya,” kata Frits.

Dari hasil konumikasi Frits dengan beberapa kelompok yang ada di Intan Jaya, ia mendapatkan informasi tindakan di Beoga dipimpin oleh kelompok Aibon Kogoya dengan motif diduga penolakan terhadap Blog Wabu.

Selain itu kata Frits, tewasnya 8 orang karyawan PTT tersebut diduga aksi balas dendam dari KSB pimpinan Aibon Kogoya atas penganiayaan kepada 7 orang anak di Kabupaten Puncak yang diduga dilakukan oknum aparat TNI belum lama ini.

Sebelumnya, terjadi penganiayaan dan penyiksaan terhadap 7 anak di bawah umur hingga menyebabkan satu orang diantaranya meninggal dunia. Dari informasi yang ada, ketujuh anak tersebut diduga kuat dianiaya dan disiksa aparat TNI karena dituduh mencuri senjata di Pos PT Modern Bandara Tapalunik Sinak, Kabupaten Puncak pada Februari lalu. (fia)

 

JAYAPURA –  Pembela HAM angkat bicara perihal tewasnya delapan orang Karyawan Palapa Ring Timur Telematika (PTT) yang diduga diserang Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) saat sedang melaksanakan perbaikan Tower Base Transceiver Station (BTS) 3 Telkomsel di Disteim Beoga, Rabu (2/3).

Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembela Ham) Theo Hesegem menyampaikan, kejadian di Beoga Kabupaten Puncak merupakan kejahatan kriminal sekaligus kejahatan kemanusiaan.

“Tregedi Beoga adalah kejahatan kemanusiaan, sebab setiap nyawa orang tidak bisa dicabut oleh siapapun. Mereka punya hak hidup, hak kebebasan, hak untuk bekerja dan punya hak mau tinggal dimana saja. Tidak bisa hak mereka dicabut oleh siapapun kecuali Tuhan,” tegas Theo saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Jumat (4/3).

“Kita tidak bisa memandang bahwa mereka adalah orang orang non Papua lantas ditembak atau dibunuh, jika menggunakan istilah seperti itu maka ini salah besar. Tidak boleh menggunakan istilah itu, karena orang non Papua maupun orang papua punya hak hidup yang sama, mau hidup dimana saja bisa karena kita masih dalam bingkai NKRI,” sambungnya.

Theo juga menjelaskan kenapa peristiwa Beoga tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM ? sebab para pelakunya adalah kelompok bersenjata, dimana senjata yang digunakan bukan senjata resmi melainkan hasil perempasan. Dikatakan pelanggaran HAM kecuali pelakunya adalah negara dalam hal ini TNI-Polri dan korbannya adalah sipil. Serta senjata yang digunakan diberikan negara yang resmi atau diamanatkan oleh negara secara undang undang untuk menggunakan senjata tersebut.

“Jika pelakunya adalah OPM, maka sudah jelas masuk dalam kategori kriminal dan mereka harus diproses hukum. Namun apakah mereka ini berhasil ditangkap atau tidak ? yang pasti, itu tindakan tidak manusiawi dan kita prihatin dengan tindakan itu,” tuturnya.

Theo menjelaskan, jika OPM mau berjuang murni soal Papua Merdeka. Tidak boleh melakukan tindakan yang membuat hati rakyat sakit, jika perjuangan itu murni benar benar ingin merdeka maka Tuhan juga akan tahu.

“Kalau mau berjuang murni ajak TNI-Polri yang punya senjata untuk perang, tentukan jadwalnya dan tempatnya. Jangan jadikan sipil sebagai korban, dari peristiwa ini. Semua orang yang ada di daerah konflik di Papua akan takut, terkhusus bagi teman teman non Papua maupun warga Papua sendiri yang merasakan kekerasan aparat dan OPM. Peristiwa ini menjadikan warga akan hidup dengan perasaan takut dan trauma, mereka hidup tapi diselimuti dengan perasaan takut,” tuturnya.

Theo menyadari, tidak boleh berbicara ketika hanya ada peristiwa yang terjadi di tanah ini, melainkan harus ada solusi konkrit. Ketika ada masalah ramai ramai menyampaikan keprihatinan dan berbicara seolah olah orang akan membenci orang orang yang kerja pembela HAM.

Baca Juga :  Sesali Sikap Para Terdakwa Militer dan Sipil

“Sekarang yang kami lihat setiap ada kejadian orang orang berteriak pembela HAM dimana,  tapi perlu diingat. Dari seluruh peristiwa ini perlu ada tindak lanjut yang dilakukan pemerintah daerah dan pemerintah provinsi, kita tidak boleh hidup dalam konflik yang terus menerus terjadi, harus ada solusi perdamaian,” cercanya.

“Panglima dan Kapolri selalu lantang menyuarakan pendekatan humanis, tapi pendekatan humanis yang disertai tindakan tindakan kekerasan tidak menyenangkan. Terlebih korbannya adalah OAP dan non OAP, sementara petinggi di negeri ini hidup tenang dan duduk manis,” tuturnya.

Kata Theo, setiap kejadian di Papua. Ia terus bersuara dan itu dianggap membosankan, sagaimana konflik bersenjata selalu terjadi di Papua seperti di Pegunungan Bintang, Yahukimo, Nduga, Intan Jaya dan terakhir di Beoga Kabupaten Puncak.

Theo berpendapat bahwa Pemerintah tidak pernah berpikir dengan situasi konflik di Papua, sehingga pemerintah pusat terus mendesak untuk mensejahterakan orang Papua dan membangun infrastruktur di daerah konflik.

“Saya tidak tahu apakah kejadian di Beoga terjadi saat karyawan PTT ini sedang mengerjakan BTS dan kemudian mereka ditembak oleh OTK. Tetapi sekali lagi, mereka ini punya hak untuk bekerja. Perlu diingat juga, selama ini kita mendengar statmen OPM teramat jelas bahwa mereka tidak perlu pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan dan itu harus dipahami setiap orang,” tuturnya.

Dilain sisi kata Theo, hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengevaluasi bagaimana korban sipil papua maupun non papua terus ditembak dan dibunuh dengan cara yang tidak manusiawi selama konflik bersenjata yang terjadi di Papua. Setiap kejadian di daerah konflik bersenjata, pemerintah provinsi menganggap ini hal yang biasa tanpa pernah melakukan evaluasi soal situasi konflik di Papua. Padahal, dari hasil evalusi tadi bisa disampaikan ke pemerintah pusat.

“Kasihan masyarakat sipil yang hingga saat ini terus menjadi korban atas apa yang terjadi di tanah ini, yang mereka sendiri tidak tahu menahu persoalnnya. Jangan sekali kali menghilangkan nyawa orang yang tidak mempunyai senjata, biarkan mereka ini bekerja tanpa diganggu oleh siapapun,” tegasnya.

Menurut Theo, tewasnya 8 karyawan dari PTT tak jauh dari peristiwa penyiksaan terhadap 7 anak di Kabupaten Puncak belum lama ini. Harusnya, tindakan tindakan seperti ini tidak perlu terjadi.

“Semua kebijakan ada di pemerintah pusat terkait apa yang terjadi di Papua saat ini, jika seperti ini terus lantas kapan masalah berakhir dan kitab isa hidup damai dan aman,” tanya Theo.

Theo juga meminta pemerintah harus bijak menyikapi konflik bersenjata di Papua, harus mengevaluasi semua kasus mulai dari Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo dan Puncak. Semua peristiwa yang terjadi di daerah konflik ini bisa dibuatkan laporan yang valid dan kuat, sehingga hasil laporan tersebut yang disampaikan kepada pemerintah pusat.

Baca Juga :  Masyarakat Distrik Megambilis Diminta Waspadai Virus Corona

“Pemerintah daerah punya kewajiban untuk melakukan investigasi secara menyeluruh jangan hanya tidur, saat ini warga papua sedang mengalami krisis kemanusiaan. Pemda tidah boleh bisu dengan kejadian seperti ini, karena ini sudah sering terjadi,” pungkasnya.

 

Sementara itu, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menilai kasus Beoga dalam aspek definisi pelanggaran HAM dimana perbuatan seseorang atau sekelompok orang atau aparatur negara dapat disebut sebagai pelanggaran HAM. Tapi dari aspek perbuatan, ini adalah perbuatan kriminal yang mengakibatkan 8 orang meninggal dunia.

“Kami mendorong Polda Papua bisa mengungkap siapa pelakunya dan apa motif utamanya. Kita tahu di wilayah itu ada kelompok sipil bersenjata,” kata Kepala Komnas HAM Papua Frits Ramandey saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Jumat (4/3).

Dikatakan Frits, ada beberapa hal yang melatar belakangi kejadian di Beoga Kabupatan Puncak. Harusnya, kejadian di Nduga pada tahun 2019 tewasnya puluhan karyawan PT Istaka Karya menjadi rujukan pengamanan terhadap pekerja sipil di Papua yang bekerja di daerah rawan kekerasan yang dilakukan Kelompok Sipil Bersenjata (KSB). Sehingga kejadian itu tidak terjadi di Beoga.

“Kejadian Nduga harusnya menjadi rujukan baik perusahaan tapi juga rujukan bagi aparat keamanan dan Pemda setempat, daerah yang dianggap rawan ketika ada pekerjaan mestinya ada aspek keamanan, dan bagaimana penerimaan para pihak dengan pelibatan stakeholder lokal yang ada di daerah tersebut,” tutur Frits.

Frits mengklaim dirinya sudah mengkonfirmasi kepada KSB terutama yang ada di Intan Jaya. Dimana pengakuan dari KSB tersebut menyampaikan apa yang dilakukan merupakan aksi protes terhadap rencana operasinya Blog Wabu yang ada di Intan Jaya.

“Di duga pemasangan jaringan ini dalam rangka mendukung operasinya Blog Wabu yang ada di Kabupaten Intan Jaya. Hal ini berdasarkan konfirmasi saya secara langsung kepada KSB yang ada di Intan Jaya,” kata Frits.

Dari hasil konumikasi Frits dengan beberapa kelompok yang ada di Intan Jaya, ia mendapatkan informasi tindakan di Beoga dipimpin oleh kelompok Aibon Kogoya dengan motif diduga penolakan terhadap Blog Wabu.

Selain itu kata Frits, tewasnya 8 orang karyawan PTT tersebut diduga aksi balas dendam dari KSB pimpinan Aibon Kogoya atas penganiayaan kepada 7 orang anak di Kabupaten Puncak yang diduga dilakukan oknum aparat TNI belum lama ini.

Sebelumnya, terjadi penganiayaan dan penyiksaan terhadap 7 anak di bawah umur hingga menyebabkan satu orang diantaranya meninggal dunia. Dari informasi yang ada, ketujuh anak tersebut diduga kuat dianiaya dan disiksa aparat TNI karena dituduh mencuri senjata di Pos PT Modern Bandara Tapalunik Sinak, Kabupaten Puncak pada Februari lalu. (fia)

 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya