Cikal Bakal Berlian yang Tak Banyak Lagi Ditemukan di Martapura dan Sekitarnya (2-Habis)
Di Martapura, bijih intan mentah sampai ke perajin yang menyulapnya menjadi berlian bernilai tinggi yang prominen sampai ke Eropa. Namun, seperti para pendulang, jumlah penggosok juga menyusut seiring kian sulitnya intan ditemukan di pendulangan.
AGUS DWI PRASETYO, Martapura
DI sudut rumah kayu itu, H Muhyan menekuni profesinya. Menggosok intan mentah dengan menggunakan beberapa alat sederhana.
Salah satunya dop. Di ujung alat itu ada besi bundar sebesar kelereng untuk menjepit intan berukuran kecil. Agar mudah dipegang, alat krusial untuk menggosok bijih intan mentah tersebut diberi tangkai yang terbuat dari kayu ulin.
Selain dop, Muhyan juga menggunakan tang untuk menjepit intan yang berukuran lebih besar. Intan yang dijepit itu kemudian diasah di atas iskip (gerinda), pelat besi bundar yang berputar di sebuah sumbu. Untuk mengamati hasil gosokan, Muhyan memakai tarupung. Bentuk dan kerja alat itu mirip mikroskop yang biasa digunakan untuk meneliti benda-benda supermungil.
Siang itu Muhyan menggosok intan yang ukurannya sebesar butiran gula. Seperti seorang petugas laboratorium, pria yang akrab disapa Ian itu betul-betul berfokus mengamati batu galuh tersebut. Matanya tak bergeser sedikit pun dari tarupung. ”Memang kecil butirannya (intan, Red). Tapi, karena sudah terbiasa, tidak susah lagi,” kata Muhyan saat ditemui Jawa Pos di rumahnya di Martapura, Kalimantan Selatan.
Dalam rangkaian pembuatan berlian, peran Muhyan sangat sentral. Seperti koki, Muhyan ”memasak” intan mentah menjadi berlian matang yang bisa ”dikonsumsi”. Batu ratna mutu manikam yang berkilau itu kemudian dijajakan para pedagang yang menjamur di Martapura. ”Saat dapat (intan) mentah, langsung digosok di rumah,” ujarnya.
Muhyan tinggal di perkampungan Dalam Pagar, Martapura Timur, Kabupaten Banjar, tidak jauh dari pasar perhiasan Martapura. Sehari-hari, bapak empat anak itu berkutat dengan butiran-butiran intan mentah yang diperoleh dari pasar.
Di kalangan penggosok intan, Muhyan terbilang senior. ”Saya sudah 40 tahun jadi penggosok,” tuturnya.
Sama dengan pendulangan, penggosokan intan tradisional di Martapura tersohor sejak lama. Sudah terkenal di mana-mana. Bahkan sampai ke luar negeri. Djarani dalam bukunya, Mendulang Intan di Martapura, menyebut berlian hasil gosokan intan itu prominen (terkenal) dan beredar luas di kawasan Asia Tenggara. Mulai Singapura, Malaysia, Thailand, hingga Myanmar. Juga sampai ke India, Pakistan, dan Arab Saudi.
Djarani menyebut penggosokan intan di Martapura dan sekitarnya ada sejak masa sebelum Perang Dunia II. Data 1981 mencatat ada 63 usaha penggosokan intan di ibu kota Kabupaten Banjar tersebut. Mayoritas merupakan penggosok yang menggunakan alat-alat sederhana seperti yang ada di rumah Muhyan. Para penggosok itu menekuni profesinya secara turun-temurun.
Lain dulu, lain sekarang. Penggosokan intan di Martapura dan sekitarnya saat ini tak seramai dulu. Muhyan menyebut perajin intan tradisional yang aktif di kampungnya sekarang bisa dihitung jari. Tak lebih dari dua orang. Padahal, sebelumnya ada delapan penggosok. ”Mungkin tinggal 1 persen sekarang (yang masih menggosok intan, Red),” tutur pria 60 tahun itu.
Kuantitas intan yang diasah pun menurun drastis dari biasanya. Jika dulu hampir setiap hari menggosok intan, kini Muhyan lebih sering menganggur di rumah. Muhyan menyebut beberapa tahun terakhir ini sulit mendapat intan mentah di pasar Martapura. ”Dulu mentahnya masih banyak, kapan saja cari (di pasar) pasti dapat,” paparnya.
Kini Muhyan lebih sering mengerjakan pesanan menggosok intan dari pelanggan. Dia mematok tarif Rp 400 ribu per karat. Soal hasil garapan, Muhyan bisa diandalkan.
Dia betul-betul memperhatikan 4C. Yakni, color (warna), clarity (kejernihan), cut (irisan), dan carat (bobot/berat). Puluhan tahun rumus itu dipatuhi Muhyan agar berlian yang dihasilkan tidak mengecewakan pembeli.
Tak jauh beda dengan Muhyan, nasib penjual intan mentah juga kurang menguntungkan akhir-akhir ini. M. Sahrani, penjual intan mentah dari Cempaka, Kota Banjarbaru, mengaku omzet penjualan intan mentah turun drastis beberapa tahun terakhir ini. ”Dulu omzet bisa sampai ratusan juta (per bulan), sekarang Rp 10 juta sampai Rp 15 juta saja,” ungkapnya.
Pria yang akrab dipanggil Musa itu bertahun-tahun menjembatani para pendulang di Cempaka, Kota Banjarbaru, menjual hasil dulangannya. Biasanya, dia menjual intan mentah itu ke luar kawasan tersebut.
Tidak hanya di Martapura, ibu kota Kabupaten Banjar yang bertetangga dengan Kota Banjarbaru, bijih-bijih galuh itu juga dijual sampai ke Sumatera. ”Kalau relasinya banyak (di luar, Red), usaha (penjualan) tetap bisa jalan meski kembang kempis,” tuturnya.
Sebagai penghasil intan yang bergengsi, Martapura dan sekitarnya melahirkan banyak pialang (makelar) intan seperti Musa. Melalui jasa pialang, bijih intan mentah sampai ke tangan perajin. Dari perajin, intan disulap menjadi berlian yang bernilai tinggi. Di pasaran, berlian Banjar kualitas terbaik lebih mahal ketimbang berlian Eropa.
Lain dengan perajin dan pialang, saudagar berlian di Martapura tak banyak mengeluh soal hasil pendulangan intan yang menurun. Mereka tetap eksis di tengah kondisi pendulangan intan yang redup. ”Kita bergantung pelanggan. Kalau mereka cari berlian Banjar, ya kita carikan. Tapi, sekarang rata-rata (pelanggan) cari berlian Eropa,” kata M. Khairullah, saudagar berlian Martapura.
Irul, sapaan M. Khairullah, mengakui penjualan berlian Banjar memang meredup akhir-akhir ini. Jika dipersentase, jumlah pembeli berlian Banjar tak lebih dari 30 persen. Sisanya, 70 persen, lebih banyak mencari berlian Eropa. ”Kalau dari bahan, memang berlian Banjar yang terbaik. Tapi kalau dari sisi cutting (irisan, Red), kadang tidak simetris,” ujarnya.
Covid-19 yang menghantam Indonesia membuat Irul dan para saudagar di Martapura mengalami masa sulit. Namun, sebagai pedagang, Irul mengubah cara penjualan.
Dari semula offline beralih ke online. Dia menjual bermacam-macam perhiasan. Bukan hanya berlian Banjar, melainkan juga batu pertama dan perhiasan lain. ”Dulu punya toko, setahun ini belajar (jualan) online,” ujarnya.
Gemerlap pasar berlian dan kilauan batu-batu permata di Martapura juga tak ”berkilau” seperti dulu. Pasar Cahaya Bumi Selamat (CBS) Martapura yang menjadi ikon wisata favorit para pelancong tampak sepi saat Jawa Pos berkunjung ke sana kemarin (13/1). Jauh dari ingar bingar pengunjung. ”Ditambah lagi karena ada pandemi (Covid-19), pengunjung makin sepi sekarang (di Pasar CBS, Red),” kata Irul. (*/c19/ttg/JPG)