Wednesday, November 26, 2025
27.2 C
Jayapura

Kasus Irene Sokoy Berpotensi Miliki Unsur Melanggar HAM

JAYAPURA-Direktur Eksekutif POHR, Thomas Ch. Syufi, menyebut tragedi tersebut sebagai peristiwa yang tragis, mengenaskan, dan tidak dapat ditoleransi dengan alasan apa pun. Ia menilai kematian Irene Sokoy merupakan bukti bobroknya manajemen rumah sakit serta lemahnya empati tenaga kesehatan terhadap pasien.

“Ini pelanggaran hukum dan kejahatan terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara melalui institusi layanan kesehatan. Ibu Irene sudah dalam kondisi kritis tetapi ditolak karena alasan administrasi. Itu bentuk diskriminasi yang tidak memiliki nilai dibanding keselamatan manusia,” tegas Thomas, di ruang kerjanya, Senin (24/11)

Menurutnya, penolakan pasien dalam keadaan darurat bertentangan dengan prinsip universal kesehatan, salah satunya asas salus aegroti suprema lex keselamatan pasien adalah hukum tertinggi. Ia menegaskan bahwa dalam situasi darurat, aturan administrasi seharusnya dapat dikesampingkan demi hadirnya nilai kemanusiaan.

Baca Juga :  KPK Didesak Lakukan Penyelidikan

“Hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai kemanusiaan harus ditempatkan lebih tinggi dari segala aturan administrasi,” ujarnya.

Thomas juga mengutip UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3), serta berbagai instrumen HAM internasional yang mewajibkan negara menjamin akses layanan kesehatan yang layak bagi seluruh warga tanpa diskriminasi.

Menurutnya, apa yang dialami Irene adalah bentuk pelanggaran serius karena fasilitas publik justru gagal memenuhi kewajiban konstitusional dan moralnya.

POHR menilai kasus ini bukan yang pertama terjadi di Papua. Ia menyinggung kematian bocah Ais Utasad (4) pada 2024 yang juga ditelantarkan sejumlah rumah sakit akibat persoalan biaya dan pelayanan yang tidak memadai.

Baca Juga :  Polisi Gagalkan Penyelundupan 3 Unit Sepeda Motor ke Luar Mimika

“Miris, hak-hak dasar orang Papua terus disepelekan, bahkan di tengah gelontoran dana Otonomi Khusus yang mencapai triliunan rupiah. Ini paradoks: orang Papua mati di tanahnya sendiri di tengah melimpahnya kekayaan alam,” kata Thomas.

JAYAPURA-Direktur Eksekutif POHR, Thomas Ch. Syufi, menyebut tragedi tersebut sebagai peristiwa yang tragis, mengenaskan, dan tidak dapat ditoleransi dengan alasan apa pun. Ia menilai kematian Irene Sokoy merupakan bukti bobroknya manajemen rumah sakit serta lemahnya empati tenaga kesehatan terhadap pasien.

“Ini pelanggaran hukum dan kejahatan terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara melalui institusi layanan kesehatan. Ibu Irene sudah dalam kondisi kritis tetapi ditolak karena alasan administrasi. Itu bentuk diskriminasi yang tidak memiliki nilai dibanding keselamatan manusia,” tegas Thomas, di ruang kerjanya, Senin (24/11)

Menurutnya, penolakan pasien dalam keadaan darurat bertentangan dengan prinsip universal kesehatan, salah satunya asas salus aegroti suprema lex keselamatan pasien adalah hukum tertinggi. Ia menegaskan bahwa dalam situasi darurat, aturan administrasi seharusnya dapat dikesampingkan demi hadirnya nilai kemanusiaan.

Baca Juga :  Praktekkan Buang Air Kecil di Jembatan Youtefa, Terpeleset dan Tewas

“Hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Nilai kemanusiaan harus ditempatkan lebih tinggi dari segala aturan administrasi,” ujarnya.

Thomas juga mengutip UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3), serta berbagai instrumen HAM internasional yang mewajibkan negara menjamin akses layanan kesehatan yang layak bagi seluruh warga tanpa diskriminasi.

Menurutnya, apa yang dialami Irene adalah bentuk pelanggaran serius karena fasilitas publik justru gagal memenuhi kewajiban konstitusional dan moralnya.

POHR menilai kasus ini bukan yang pertama terjadi di Papua. Ia menyinggung kematian bocah Ais Utasad (4) pada 2024 yang juga ditelantarkan sejumlah rumah sakit akibat persoalan biaya dan pelayanan yang tidak memadai.

Baca Juga :  KPK Didesak Lakukan Penyelidikan

“Miris, hak-hak dasar orang Papua terus disepelekan, bahkan di tengah gelontoran dana Otonomi Khusus yang mencapai triliunan rupiah. Ini paradoks: orang Papua mati di tanahnya sendiri di tengah melimpahnya kekayaan alam,” kata Thomas.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya

/