Thursday, August 14, 2025
26.3 C
Jayapura

Berharap Hitungan Cepat Tak Hanya Untuk Politik

JAYAPURA – Metode perhitungan cepat atau Quick Count dalam setiap Pemilu kerap menjadi andalan untuk mengetahui hasil lebih dini sebelum dilaporkan secara resmi. Publik mendapatkan gambaran awal terkait siapa yang berpeluang untuk menang dalam pesta demokrasi tersebut.

Lily Bauw (foto:Lily Bauw for Cepos)

Dari kecepatan mengumpulkan data ini memunculkan harapan agar hal serupa juga bisa dilakukan ketika berbicara kemanusiaan atau hal lain yang berkaitan dengan data. Dosen Hukum Tata Negara Universitas Cenderawasih (Uncen) Lily Bauw menilai prinsip metode ini sederhana, mengambil sampel representatif, mengumpulkan data secara serentak, lalu mengolahnya secara real-time.

Karena itu ia mempertanyakan mengapa penghitungan cepat atau quick count bisa begitu gesit untuk urusan politik, tetapi lambat ketika menyangkut urusan kemanusiaan? Menurutnya, quick count tidak semestinya terbatas pada Pemilu.

“Tidak ada aturan yang mengatakan metode ini hanya untuk menghitung suara,” tegas Lily kepada Cenderawasih Pos dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/8).

Baca Juga :  Bupati Befa Tinjau Pembangunan Jalan Menuju Kuyawage

Ia kemudian menjelaskan perbedaan mendasar antara Pemilu atau Pilkada dan pendataan sosial. Jelasnya Pemilu atau Pilkada memiliki titik penghitungan yang jelas di TPS, waktu pelaksanaan serentak, format data yang baku, serta dukungan petugas dalam jumlah besar.

Tekanan politik mendorong semua pihak untuk segera mendapatkan hasil. Sebaliknya, pendataan sosial sering kali tidak serentak, definisinya belum seragam, melibatkan banyak lembaga, dan koordinasinya lemah.

Karena itu ia mencontohkan pendataan Orang Asli Papua (OAP) yang dilakukan melalui SIO Papua oleh Mitra Pembangunan Skala. Ia mengapresiasi pemanfaatan teknologi dan integrasi data yang sudah lebih terstruktur.

Namun, karena menggunakan metode sensus penuh (full count) dengan banyak tahap verifikasi, prosesnya memakan waktu panjang. Baginya, quick count dapat dipadukan untuk menghasilkan estimasi awal jumlah OAP dalam hitungan hari, sementara verifikasi detail tetap berjalan di belakang.

Baca Juga :  Semua Pihak Harus Melindungi Penerbangan Sipil di Tanah Papua

“Hambatan utama bukan teknologi, melainkan kemauan politik, komitmen, dan tata kelola. Pendataan OAP memang memerlukan sensus, bukan sampling seperti quick count, tetapi tetap bisa dilakukan lebih cepat jika kepala daerah dan OPD berkomitmen menyiapkan anggaran dan mengawal pelaksanaan,” beber Lily.

“Aturannya sudah ada, biayanya pun tidak besar, jauh di bawah anggaran Pemungutan Suara Ulang (PSU). Kalau untuk PSU saja bisa, mestinya untuk menghitung jumlah OAP juga bisa,” ungkapnya.

Dengan pendataan yang tuntas, ia mengatakan bahwa pemerintah akan memiliki basis data yang kuat untuk menargetkan program-program kesejahteraan OAP secara tepat sasaran. Ia menutup pembicaraan dengan nada tegas,

“Kalau untuk kursi politik saja kita bisa cepat, seharusnya untuk urusan kemanusiaan kita lebih gesit lagi,” singgungnya.

JAYAPURA – Metode perhitungan cepat atau Quick Count dalam setiap Pemilu kerap menjadi andalan untuk mengetahui hasil lebih dini sebelum dilaporkan secara resmi. Publik mendapatkan gambaran awal terkait siapa yang berpeluang untuk menang dalam pesta demokrasi tersebut.

Lily Bauw (foto:Lily Bauw for Cepos)

Dari kecepatan mengumpulkan data ini memunculkan harapan agar hal serupa juga bisa dilakukan ketika berbicara kemanusiaan atau hal lain yang berkaitan dengan data. Dosen Hukum Tata Negara Universitas Cenderawasih (Uncen) Lily Bauw menilai prinsip metode ini sederhana, mengambil sampel representatif, mengumpulkan data secara serentak, lalu mengolahnya secara real-time.

Karena itu ia mempertanyakan mengapa penghitungan cepat atau quick count bisa begitu gesit untuk urusan politik, tetapi lambat ketika menyangkut urusan kemanusiaan? Menurutnya, quick count tidak semestinya terbatas pada Pemilu.

“Tidak ada aturan yang mengatakan metode ini hanya untuk menghitung suara,” tegas Lily kepada Cenderawasih Pos dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/8).

Baca Juga :  Dampak Efisiensi, Kemenag Papua Pantau Hilal di Komba

Ia kemudian menjelaskan perbedaan mendasar antara Pemilu atau Pilkada dan pendataan sosial. Jelasnya Pemilu atau Pilkada memiliki titik penghitungan yang jelas di TPS, waktu pelaksanaan serentak, format data yang baku, serta dukungan petugas dalam jumlah besar.

Tekanan politik mendorong semua pihak untuk segera mendapatkan hasil. Sebaliknya, pendataan sosial sering kali tidak serentak, definisinya belum seragam, melibatkan banyak lembaga, dan koordinasinya lemah.

Karena itu ia mencontohkan pendataan Orang Asli Papua (OAP) yang dilakukan melalui SIO Papua oleh Mitra Pembangunan Skala. Ia mengapresiasi pemanfaatan teknologi dan integrasi data yang sudah lebih terstruktur.

Namun, karena menggunakan metode sensus penuh (full count) dengan banyak tahap verifikasi, prosesnya memakan waktu panjang. Baginya, quick count dapat dipadukan untuk menghasilkan estimasi awal jumlah OAP dalam hitungan hari, sementara verifikasi detail tetap berjalan di belakang.

Baca Juga :  15 Orang Tersangka Pembakar Pesawat Susi Air

“Hambatan utama bukan teknologi, melainkan kemauan politik, komitmen, dan tata kelola. Pendataan OAP memang memerlukan sensus, bukan sampling seperti quick count, tetapi tetap bisa dilakukan lebih cepat jika kepala daerah dan OPD berkomitmen menyiapkan anggaran dan mengawal pelaksanaan,” beber Lily.

“Aturannya sudah ada, biayanya pun tidak besar, jauh di bawah anggaran Pemungutan Suara Ulang (PSU). Kalau untuk PSU saja bisa, mestinya untuk menghitung jumlah OAP juga bisa,” ungkapnya.

Dengan pendataan yang tuntas, ia mengatakan bahwa pemerintah akan memiliki basis data yang kuat untuk menargetkan program-program kesejahteraan OAP secara tepat sasaran. Ia menutup pembicaraan dengan nada tegas,

“Kalau untuk kursi politik saja kita bisa cepat, seharusnya untuk urusan kemanusiaan kita lebih gesit lagi,” singgungnya.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya