Friday, November 22, 2024
24.7 C
Jayapura

Keterlibatan Militer di Proyek Food Estate Berpotensi Mengancam Hak Hidup OAP

JAYAPURA – Pembentukan Batalyon Infanteri (Yonif) atau Yonif penyangga daerah rawan di lima daerah di Papua untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat di wilayah Papua Selatan, terutama di Merauke.

Kekhawatiran itu muncul dari masyarakat adat Malind, Maklew, Mayo Bodol, Khimaima, dan Yei, di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, yang sedang terancam dan terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) pengembangan pangan dan energi melalui proyek cetak sawah baru, perkebunan tebu dan pabrik bioetanol yang akan menggunakan tanah adat, dusun dan hutan adat seluas lebih dari 2 juta hektare.

Sejatinya bukan kali ini saja sikap keberatan dari masyarakat ditunjukkan.  beberapa diantaranya bahkan meggandeng NGO lingkungan internasional untuk membantu menyuarakan. Apalagi disinyalir untuk lahan di Papua Selatan ini nantinya terjdi konflik kepentingan antara dua perusahaan besar yang mengklaim merupakan penugasan atau utusan negara.

Baca Juga :  Komoditas Perkebunan Papua Menjanjikan untuk Diekspor

Koordinator Forum Masyarakat Adat Malind Anim Kondo-Digoel, Simon Balagaize mengatakan praktik PSN Merauke melibatkan Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Investasi/ Badan Koordinasi Penanaman Modal Nasional, Pemda, perusahaan swasta, Jhonlin Group, First Resources Group, KPN Corp.

“Di hadapan Pj Gubernur Papua Selatan, masyarakat adat Maklew di Distrik Ilwayab, Tubang dan Okaba. Telah menyatakan penolakan mereka terhadap proyek cetak sawah baru dan tanaman lain yang menggusur tanah, dusun dan hutan adat mereka yang menjadi sumber kehidupan mereka. Namun, perusahaan dengan pengawalan aparat militer bersenjata secara sewenang-wenang menggusur dan merampas tanah adat,” kata Simon Balagaize, dalam rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Jumat (4/10).

Baca Juga :  Akses Jalan Masih Dipalang, Warga Kekurangan Bama

JAYAPURA – Pembentukan Batalyon Infanteri (Yonif) atau Yonif penyangga daerah rawan di lima daerah di Papua untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat di wilayah Papua Selatan, terutama di Merauke.

Kekhawatiran itu muncul dari masyarakat adat Malind, Maklew, Mayo Bodol, Khimaima, dan Yei, di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, yang sedang terancam dan terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) pengembangan pangan dan energi melalui proyek cetak sawah baru, perkebunan tebu dan pabrik bioetanol yang akan menggunakan tanah adat, dusun dan hutan adat seluas lebih dari 2 juta hektare.

Sejatinya bukan kali ini saja sikap keberatan dari masyarakat ditunjukkan.  beberapa diantaranya bahkan meggandeng NGO lingkungan internasional untuk membantu menyuarakan. Apalagi disinyalir untuk lahan di Papua Selatan ini nantinya terjdi konflik kepentingan antara dua perusahaan besar yang mengklaim merupakan penugasan atau utusan negara.

Baca Juga :  Polisi Ungkap Penyebab Terbakarnya 13 Unit Mobil

Koordinator Forum Masyarakat Adat Malind Anim Kondo-Digoel, Simon Balagaize mengatakan praktik PSN Merauke melibatkan Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Investasi/ Badan Koordinasi Penanaman Modal Nasional, Pemda, perusahaan swasta, Jhonlin Group, First Resources Group, KPN Corp.

“Di hadapan Pj Gubernur Papua Selatan, masyarakat adat Maklew di Distrik Ilwayab, Tubang dan Okaba. Telah menyatakan penolakan mereka terhadap proyek cetak sawah baru dan tanaman lain yang menggusur tanah, dusun dan hutan adat mereka yang menjadi sumber kehidupan mereka. Namun, perusahaan dengan pengawalan aparat militer bersenjata secara sewenang-wenang menggusur dan merampas tanah adat,” kata Simon Balagaize, dalam rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Jumat (4/10).

Baca Juga :  Realisasi Pendapatan APBD Papua Didominasi Transfer Pusat

Berita Terbaru

Artikel Lainnya