Friday, September 20, 2024
23.7 C
Jayapura

10 Tahun Ke Depan, Banjir dan Kemcetan Akan jadi Masalah Besar

Bincang-bincang dengan Musfira, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) USTJ Tentang Pembangunan Masif di Distrik Muara Tami (bag. 2/habis)

Pembangunan yang sedang terjadi di Distrik Muara Tami terutama Koya Barat sangatlah cepat, para pengembang berlomba-lomba mendirikan perumahan, ruko, dan rukan, adakah dampak negatif yang ditimbulkan, berikut pandangan  Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), Universitas Sains dan Teknologi, Jayapura (USTJ), Musfira

Laporan Karolus Daot

Urbanisasi yang sedang terjadi di Distrik Muara Tami, terutama Koya Barat. Banyak warga dari Distrik Jayapura Uuatara, Selatan, Abepura, Heram bahkan Sentani atau bahkan dari kabupaten lainnya di Papua memilih Koya Barat sebagai tempat tinggalnya.

Sebab lokasi tanah yang terbatas, dan harga tanah di kota Jayapura yang sudah relatif mahal membuat masyarakat memilih tinggal di Koya, apalagi sejak ada Jembatan Youtefa jarak yang ditempuh ke Kota Jayapura relatif lebih dekat.

Musfira, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) USTJ mengatakan dalam 10 tahun ke depan masalah banjir di Muara Tami akan menjadi ancaman serius.

Hal Itu terjadi karena perubahan  urbanisasi yang cepat, perubahan tata guna lahan, dan kurangnya sistem pengelolaan air yang efektif.

Baca Juga :  Bersyukur Bisa Umroh di Bulan Ramadan yang Pahalannya Dilipatgandakan

Kondisi  ini akan sangat berdampak tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga mengancam keselamatan dan kehidupan masyarakat.

“Kita lihat sekarang perumahan yang ada saluran airnya sangat kecil, selain itu di Koya ini daerah datar aksesibilitas air ke laut cukup sulit, jadi saya lihat ancaman banjir akan semakin besar,” tuturnya.

Kemudian hal lain pembangunan yang semakin padat ini akan mempengaruhi kualitas air. Apalagi sebagian besar pembangunan yang dilakukan oleh pengembang (developer) saat ini dominan menggunakan air tanah. Air tanah ini menurutnya hanya dapat dinikmati sesat, tapi tidak untuk jangka panjang.

“Kalau saat ini mungkin belum terasa, karena rumah masih belum begitu padat, tapi 5-10 tahun ke depan kualitas air di Koya ini sangat tidak bagus,” tandasnya.

Tidak hanya itu, menurut prempuan kelahiran Serui itu hal yang paling urgent dampak dari pembangunan yang ada di Distrik Muara Tami ini adalah dampak sosial. Hal itu terjadi karena pola pembangunan di Muara Tami tidak menyerupai budaya lokal setempat.

Dimana menurutnya perumahan yang gencar dibangun, semua berkonsep moderen, sementara pola perumahan masyarakat lokal tidak demikian.

Baca Juga :  Jumlah Pasien Semakin Meningkat, Ada 5 Tips Memelihara Kesejahteraan Hewan

Kemudian budaya, dari sisi budaya masyarakat lokal lebih cendrung hidup berdampingan dengan anggota keluarganya yang lain. Namun dengan banyaknya proyek pembangunan perumahan membuat adanya jarak antara kehidupan masyarakat setempat dengan keluarga dekat mereka.

Inilah yang kemudian akan sangat rentan terjadinya konflik sosial, karena masyarakat lokal dengan masyarakat luar, karena mereka merasa bahwa pembangunan ini justru membuat mereka semakin terpinggirkan.

“Kedepannya konflik sosial di Muara Tami akan terjadi cukup tinggi, karena pembangun fisik ini membuat masyarakat lokal semakin terpinggrikan,” bebernya.

Sehingga lulusan S1 Prodi Teknik Planologi ITN Malang itu, bertanya tanya apakah pembangunan di Muara Tami ini telah melibatkan masyarakat adat maupun lokal.

Karena menurutnya pembangunan ini tidak boleh hanya mengejar profit atau keuntungan dalam hal pertumbuhan ekonomi, namun sisi lain masyarakat lokal termarginalkan. Karena dampak dari pada itu akan muncul konlflik sosial.

“Kalau dari amatan saya, pembangunan di Koya ini lebih dominan dinikmati oleh masyarakat luar, masyarakat lokalnya hanya segelintir,” bebernya.

Bincang-bincang dengan Musfira, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) USTJ Tentang Pembangunan Masif di Distrik Muara Tami (bag. 2/habis)

Pembangunan yang sedang terjadi di Distrik Muara Tami terutama Koya Barat sangatlah cepat, para pengembang berlomba-lomba mendirikan perumahan, ruko, dan rukan, adakah dampak negatif yang ditimbulkan, berikut pandangan  Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), Universitas Sains dan Teknologi, Jayapura (USTJ), Musfira

Laporan Karolus Daot

Urbanisasi yang sedang terjadi di Distrik Muara Tami, terutama Koya Barat. Banyak warga dari Distrik Jayapura Uuatara, Selatan, Abepura, Heram bahkan Sentani atau bahkan dari kabupaten lainnya di Papua memilih Koya Barat sebagai tempat tinggalnya.

Sebab lokasi tanah yang terbatas, dan harga tanah di kota Jayapura yang sudah relatif mahal membuat masyarakat memilih tinggal di Koya, apalagi sejak ada Jembatan Youtefa jarak yang ditempuh ke Kota Jayapura relatif lebih dekat.

Musfira, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) USTJ mengatakan dalam 10 tahun ke depan masalah banjir di Muara Tami akan menjadi ancaman serius.

Hal Itu terjadi karena perubahan  urbanisasi yang cepat, perubahan tata guna lahan, dan kurangnya sistem pengelolaan air yang efektif.

Baca Juga :  Jual Knalpot Brong Bisa Dipidana

Kondisi  ini akan sangat berdampak tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga mengancam keselamatan dan kehidupan masyarakat.

“Kita lihat sekarang perumahan yang ada saluran airnya sangat kecil, selain itu di Koya ini daerah datar aksesibilitas air ke laut cukup sulit, jadi saya lihat ancaman banjir akan semakin besar,” tuturnya.

Kemudian hal lain pembangunan yang semakin padat ini akan mempengaruhi kualitas air. Apalagi sebagian besar pembangunan yang dilakukan oleh pengembang (developer) saat ini dominan menggunakan air tanah. Air tanah ini menurutnya hanya dapat dinikmati sesat, tapi tidak untuk jangka panjang.

“Kalau saat ini mungkin belum terasa, karena rumah masih belum begitu padat, tapi 5-10 tahun ke depan kualitas air di Koya ini sangat tidak bagus,” tandasnya.

Tidak hanya itu, menurut prempuan kelahiran Serui itu hal yang paling urgent dampak dari pembangunan yang ada di Distrik Muara Tami ini adalah dampak sosial. Hal itu terjadi karena pola pembangunan di Muara Tami tidak menyerupai budaya lokal setempat.

Dimana menurutnya perumahan yang gencar dibangun, semua berkonsep moderen, sementara pola perumahan masyarakat lokal tidak demikian.

Baca Juga :  Dorong PAD, Dewan Cek Penerapan Perda Pajak Air Bawah Tanah

Kemudian budaya, dari sisi budaya masyarakat lokal lebih cendrung hidup berdampingan dengan anggota keluarganya yang lain. Namun dengan banyaknya proyek pembangunan perumahan membuat adanya jarak antara kehidupan masyarakat setempat dengan keluarga dekat mereka.

Inilah yang kemudian akan sangat rentan terjadinya konflik sosial, karena masyarakat lokal dengan masyarakat luar, karena mereka merasa bahwa pembangunan ini justru membuat mereka semakin terpinggirkan.

“Kedepannya konflik sosial di Muara Tami akan terjadi cukup tinggi, karena pembangun fisik ini membuat masyarakat lokal semakin terpinggrikan,” bebernya.

Sehingga lulusan S1 Prodi Teknik Planologi ITN Malang itu, bertanya tanya apakah pembangunan di Muara Tami ini telah melibatkan masyarakat adat maupun lokal.

Karena menurutnya pembangunan ini tidak boleh hanya mengejar profit atau keuntungan dalam hal pertumbuhan ekonomi, namun sisi lain masyarakat lokal termarginalkan. Karena dampak dari pada itu akan muncul konlflik sosial.

“Kalau dari amatan saya, pembangunan di Koya ini lebih dominan dinikmati oleh masyarakat luar, masyarakat lokalnya hanya segelintir,” bebernya.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya