Wednesday, April 24, 2024
24.7 C
Jayapura

Harga BBM Non Subsidi Naik

Pertalite, Solar, Pertamax, LPG 3 Kg Tetap

JAKARTA-PT Pertamina (Persero) menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi.  Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menuturkan, kebijakan itu berlaku per Minggu (10/7) kemarin.

Irto menjelaskan, kenaikan itu dipicu oleh tren harga minyak yang masih melambung. Meski begitu, Irto menekankan, masyarakat tidak perlu khawatir. “Sebab harga LPG 3 kg, pertalite, solar, dan pertamax tetap. Tidak naik,” ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin.

Menurutnya, kebijakan tidak menaikkan harga itu diambil di tengah tren harga Indonesian Crude Price (ICP) untuk BBM dan Contract Price Aramco (CPA) untuk LPG yang masih tinggi. Tujuannya agar dapat menjaga daya beli masyarakat. “Pertamina terus menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga ketersediaan energi dengan harga yang terjangkau, jadi Pertalite, Solar, dan LPG 3 Kg dijual dengan harga yang tetap,” imbuhnya.

Pertamina mencatat, harga minyak ICP per Juni menyentuh angka USD 117,62 per barel, lebih tinggi  sekitar 37 persen dari harga ICP pada Januari 2022. Begitu pula dengan LPG, tren harga (CPA) masih di tinggi pada bulan Juli ini mencapai USD 725 per Metrik Ton (MT) atau lebih tinggi 13 persen dari rata-rata CPA sepanjang tahun 2021.

Melihat tren ini, Irto mengatakan bahwa Pertamina Patra Niaga melakukan penyesuaian harga untuk produk bahan bakar khusus (BBK) atau BBM non subsidi. Di antaranya yakni Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite serta LPG non subsidi seperti Bright Gas. “Untuk saat ini, hanya Pertamax yang merupakan BBM non subsidi namun harganya tidak berubah,” imbuh Irto.

Penyesuaian ini memang terus diberlakukan secara berkala. Hal itu sesuai dengan Kepmen ESDM 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga jenis bahan bakar umum (JBU).

Penyesuaian harga ini dilakukan mengikuti tren harga pada industri minyak dan gas dunia. Saat ini penyesuaian dilakukan kembali untuk produk Pertamax Turbo dan Dex Series yang porsinya sekitar 5 persen dari total konsumsi BBM nasional, serta produk LPG non subsidi yang porsinya sekitar 6 persen dari total konsumsi LPG nasional.

Baca Juga :  Tambah Libur Fakultatif, Libur di Papua Bisa 30 Hari Lebih

Harga baru seluruh produk ini berlaku mulai tanggal 10 Juli 2022. Irto memerinci, untuk Pertamax Turbo (RON 98), terdapat penyesuaian harga menjadi Rp 16.200 sebelumnya Rp 14.500, Pertamina Dex (CN 53) menjadi Rp 16.500 sebelumnya Rp 13.700, dan Dexlite (CN 51) menjadi 15.000 per liter dari sebelumnya Rp 12.950 untuk wilayah DKI Jakarta atau daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5 persen.

Untuk LPG non subsidi seperti Bright Gas akan disesuaikan sekitar Rp 2.000 per Kg. “Seluruh Penyesuaian harga di angka sekitar Rp 2.000 baik per liter untuk BBM dan per Kg untuk LPG, harga ini masih sangat kompetitif dibandingkan produk dengan kualitas setara. Untuk yang subsidi, Pemerintah masih turut andil besar dengan tidak menyesuaikan harganya,” katanya.

Dari sisi BBM subsidi, Pertamina memang menjual lebih rendah dari harga keekonomiannya. Dirut Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan, harga produk BBM mulai dari Pertalite, Pertamax, hingga Solar, serta produk LPG penugasan yang dijual Pertamina memang masih belum naik.??Untuk Pertalite, Nicke mengatakan, harga pasar saat ini adalah sebesar Rp 17.200 per liter, namun harga jual Pertamina masih tetap Rp 7.650 per liter. Dengan demikian, setiap liter Pertalite yang dibayar oleh masyarakat, pemerintah mensubsidi Rp 9.550 per liternya.

Kemudian untuk Pertamax, Pertamina masih mematok harga Rp 12.500 per liter. Padahal, untuk bensin dengan oktan atau RON 92, kompetitor sudah menetapkan harga sekitar Rp 17.000 per liter. Sebab secara keekonomian harga pasar telah mencapai Rp 17.950. “Kita masih menahan dengan harga Rp 12.500, karena kita juga pahami kalau Pertamax kita naikkan setinggi ini, maka shifting ke Pertalite akan terjadi, dan tentu akan menambah beban negara,” ujar Nicke, akhir pekan.

Sementara itu, per Juli 2022, harga keekonomian untuk Solar CN-48 atau Biosolar (B30) sebesar Rp 18.150 per liter, namun Pertamina masih menjual jenis BBM tersebut dengan harga Rp 5.150 per liter. “Jadi untuk setiap liter Solar, pemerintah membayar subsidi Rp 13.000,” imbuh Nicke.??Adapun untuk LPG PSO sejak 2007 belum ada kenaikan. Dimana harganya masih Rp 4.250 per kilogram, sementara harga pasar Rp 15.698 per kg. “Dengan demikian, subsidi dari pemerintah adalah Rp 11.448 per kg,” katanya.

Baca Juga :  Kemendagri Tunjuk Sekda Sebagai Plh Gubernur Papua

Sementara itu, mengomentari mengenai kenaikan harga BBM Non Subsidi, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan membenarkan bahwa harga minyak dunia tembus di atas USD 110-120. Menurut Mamit, BBM umum alias BBM Non Subsidi mengikuti aturan Kepmen ESDM No. 62 Tahun 2020. ”Di situ memang diatur kapan harga perlu dievaluasi, terhadap harga keekonomian minyak mentah dunia, kurs Rupiah, dan lain-lain. Kalau pajak, PPN, dan semacamnya itu tetap,” ujar Mamit, kemarin.

Mamit menambahkan bahwa memang selain faktor harga minyak mentah dunia yang sedang meningkat, nilai tukar Rupiah yang terus melemah terhadap dollar ikut disebut jadi alasan kuat harga BBM Non Subsidi harus naik. ”Karena harga minyak dunia ini memang mengambil porsi paling besar dalam penentuan harga BBM dan kurs Rupiah yang melemah akan meningkatkan biaya pokok produksi,” tambahnya.

Bahkan Mamit menilai bahwa kenaikan harga yang ditetapkan Pertamina untuk tiga BBM Non Subdisi tersebut nilainya masih di bawah nilai keekonomian yang seharusnya. ”Bisa dibandingkan dengan SPBU swasta yang menjual BBM jenis yang sama dengan harga yang lebih tinggi. Jadi memang harganya menyesuaikan harga minyak mentah dunia,” urainya.

Menurut dia, Pertamina cenderung menahan kenaikan harga sedikit lebih rendah dari yang seharusnya karena dua alasan utama. Pertama, adalah menjaga daya beli masyarakat tak terkecuali masyarakat pengguna BBM ron tinggi. ”Kemudian yang kedua yang terpenting adalah menghindari migrasi besar-besaran dari pengguna BBM ron tinggi ke jenis BBM yang lebih rendah. Disparitas harga yang terlalu tinggi bisa memicu migrasi tersebut,” pungkasnya. (dee/agf/JPG)

Pertalite, Solar, Pertamax, LPG 3 Kg Tetap

JAKARTA-PT Pertamina (Persero) menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi.  Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Irto Ginting menuturkan, kebijakan itu berlaku per Minggu (10/7) kemarin.

Irto menjelaskan, kenaikan itu dipicu oleh tren harga minyak yang masih melambung. Meski begitu, Irto menekankan, masyarakat tidak perlu khawatir. “Sebab harga LPG 3 kg, pertalite, solar, dan pertamax tetap. Tidak naik,” ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin.

Menurutnya, kebijakan tidak menaikkan harga itu diambil di tengah tren harga Indonesian Crude Price (ICP) untuk BBM dan Contract Price Aramco (CPA) untuk LPG yang masih tinggi. Tujuannya agar dapat menjaga daya beli masyarakat. “Pertamina terus menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga ketersediaan energi dengan harga yang terjangkau, jadi Pertalite, Solar, dan LPG 3 Kg dijual dengan harga yang tetap,” imbuhnya.

Pertamina mencatat, harga minyak ICP per Juni menyentuh angka USD 117,62 per barel, lebih tinggi  sekitar 37 persen dari harga ICP pada Januari 2022. Begitu pula dengan LPG, tren harga (CPA) masih di tinggi pada bulan Juli ini mencapai USD 725 per Metrik Ton (MT) atau lebih tinggi 13 persen dari rata-rata CPA sepanjang tahun 2021.

Melihat tren ini, Irto mengatakan bahwa Pertamina Patra Niaga melakukan penyesuaian harga untuk produk bahan bakar khusus (BBK) atau BBM non subsidi. Di antaranya yakni Pertamax Turbo, Pertamina Dex, dan Dexlite serta LPG non subsidi seperti Bright Gas. “Untuk saat ini, hanya Pertamax yang merupakan BBM non subsidi namun harganya tidak berubah,” imbuh Irto.

Penyesuaian ini memang terus diberlakukan secara berkala. Hal itu sesuai dengan Kepmen ESDM 62/K/12/MEM/2020 tentang formulasi harga jenis bahan bakar umum (JBU).

Penyesuaian harga ini dilakukan mengikuti tren harga pada industri minyak dan gas dunia. Saat ini penyesuaian dilakukan kembali untuk produk Pertamax Turbo dan Dex Series yang porsinya sekitar 5 persen dari total konsumsi BBM nasional, serta produk LPG non subsidi yang porsinya sekitar 6 persen dari total konsumsi LPG nasional.

Baca Juga :  Paus Serukan Gencatan Senjata Israel-Hamas dan Pelepasan Sandera

Harga baru seluruh produk ini berlaku mulai tanggal 10 Juli 2022. Irto memerinci, untuk Pertamax Turbo (RON 98), terdapat penyesuaian harga menjadi Rp 16.200 sebelumnya Rp 14.500, Pertamina Dex (CN 53) menjadi Rp 16.500 sebelumnya Rp 13.700, dan Dexlite (CN 51) menjadi 15.000 per liter dari sebelumnya Rp 12.950 untuk wilayah DKI Jakarta atau daerah dengan besaran pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5 persen.

Untuk LPG non subsidi seperti Bright Gas akan disesuaikan sekitar Rp 2.000 per Kg. “Seluruh Penyesuaian harga di angka sekitar Rp 2.000 baik per liter untuk BBM dan per Kg untuk LPG, harga ini masih sangat kompetitif dibandingkan produk dengan kualitas setara. Untuk yang subsidi, Pemerintah masih turut andil besar dengan tidak menyesuaikan harganya,” katanya.

Dari sisi BBM subsidi, Pertamina memang menjual lebih rendah dari harga keekonomiannya. Dirut Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan, harga produk BBM mulai dari Pertalite, Pertamax, hingga Solar, serta produk LPG penugasan yang dijual Pertamina memang masih belum naik.??Untuk Pertalite, Nicke mengatakan, harga pasar saat ini adalah sebesar Rp 17.200 per liter, namun harga jual Pertamina masih tetap Rp 7.650 per liter. Dengan demikian, setiap liter Pertalite yang dibayar oleh masyarakat, pemerintah mensubsidi Rp 9.550 per liternya.

Kemudian untuk Pertamax, Pertamina masih mematok harga Rp 12.500 per liter. Padahal, untuk bensin dengan oktan atau RON 92, kompetitor sudah menetapkan harga sekitar Rp 17.000 per liter. Sebab secara keekonomian harga pasar telah mencapai Rp 17.950. “Kita masih menahan dengan harga Rp 12.500, karena kita juga pahami kalau Pertamax kita naikkan setinggi ini, maka shifting ke Pertalite akan terjadi, dan tentu akan menambah beban negara,” ujar Nicke, akhir pekan.

Sementara itu, per Juli 2022, harga keekonomian untuk Solar CN-48 atau Biosolar (B30) sebesar Rp 18.150 per liter, namun Pertamina masih menjual jenis BBM tersebut dengan harga Rp 5.150 per liter. “Jadi untuk setiap liter Solar, pemerintah membayar subsidi Rp 13.000,” imbuh Nicke.??Adapun untuk LPG PSO sejak 2007 belum ada kenaikan. Dimana harganya masih Rp 4.250 per kilogram, sementara harga pasar Rp 15.698 per kg. “Dengan demikian, subsidi dari pemerintah adalah Rp 11.448 per kg,” katanya.

Baca Juga :  Kemendagri Tunjuk Sekda Sebagai Plh Gubernur Papua

Sementara itu, mengomentari mengenai kenaikan harga BBM Non Subsidi, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan membenarkan bahwa harga minyak dunia tembus di atas USD 110-120. Menurut Mamit, BBM umum alias BBM Non Subsidi mengikuti aturan Kepmen ESDM No. 62 Tahun 2020. ”Di situ memang diatur kapan harga perlu dievaluasi, terhadap harga keekonomian minyak mentah dunia, kurs Rupiah, dan lain-lain. Kalau pajak, PPN, dan semacamnya itu tetap,” ujar Mamit, kemarin.

Mamit menambahkan bahwa memang selain faktor harga minyak mentah dunia yang sedang meningkat, nilai tukar Rupiah yang terus melemah terhadap dollar ikut disebut jadi alasan kuat harga BBM Non Subsidi harus naik. ”Karena harga minyak dunia ini memang mengambil porsi paling besar dalam penentuan harga BBM dan kurs Rupiah yang melemah akan meningkatkan biaya pokok produksi,” tambahnya.

Bahkan Mamit menilai bahwa kenaikan harga yang ditetapkan Pertamina untuk tiga BBM Non Subdisi tersebut nilainya masih di bawah nilai keekonomian yang seharusnya. ”Bisa dibandingkan dengan SPBU swasta yang menjual BBM jenis yang sama dengan harga yang lebih tinggi. Jadi memang harganya menyesuaikan harga minyak mentah dunia,” urainya.

Menurut dia, Pertamina cenderung menahan kenaikan harga sedikit lebih rendah dari yang seharusnya karena dua alasan utama. Pertama, adalah menjaga daya beli masyarakat tak terkecuali masyarakat pengguna BBM ron tinggi. ”Kemudian yang kedua yang terpenting adalah menghindari migrasi besar-besaran dari pengguna BBM ron tinggi ke jenis BBM yang lebih rendah. Disparitas harga yang terlalu tinggi bisa memicu migrasi tersebut,” pungkasnya. (dee/agf/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya