Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Dimahkotai Cenderawasih, Penyambutan Kaesang Disorot 

JAYAPURA-Kunjungan Ketua PSI, Kaesang Pangarep ke sekretariat Bara JP Papua di Entrop memberi cerita lain bagi dua sosok aktivis lingkungan. Kaesang disorot lantaran menggunakan Mahkota Cenderawasih yang notabene merupakan satwa endemik dan dilindungi.

Panitia diminta memberikan penjelasan terkait proses penyambutan Kaesang yang sekaligus penyematan mahkota tersebut. “Kami pikir sudah tidak zamannya lagi memberikan sambutan atau penghargaan dengan menyematkan bagian dari satwa dilindungi. Publik terlebih panitia yang menyambut harus paham bahwa itu adalah satwa dilindungi dan hampir punah,” kata Terry Anderson dalam pesan singkatnya, Senin (27/11).

Pemuda yang kerap menyuarakan isi HAM dan hak- hak dasar  masyarakat ini menyampaikan bahwa masyarakat di Papua sudah harus memahami bahwa ada paradigma lama yang harus dirubah. Tidak semua pejabat atau orang terhormat harus disematkan kearifan lokal dari satwa dilindungi.

“Kami yakin Kaesang tidak paham soal ini. Panitialah yang harus mengatur, mengapa tidak memberikan noken atau asesoris lain? Apakah kita harus menunggu punah baru kita berhenti memberikan Mahkota Cenderawasih?,” cecar Terry.

Baca Juga :  Semua Harus Berkolaborasi Jaga Hutan

“Kami mengapresiasi panitia penyambutan pak Ganjar kemarin yang mau menerima masukan kami dan akhirnya benar pak Ganjar tidak menggunakan Mahkota Cenderawasih. Harusnya ini bisa dilakukan semua sosok tamu yang akan datang ke Papua, ” tutup Terry.

Senada disampaikan Orpa Joshua, Ketua Volunteer Greenpeace Indonesia, Papua ini menyayangkan proses penyematan Mahkota Cenderawasih terhadap Kaesang. “Sebenarnya kepada siapa saja terkecuali ia memang sosok yang boleh menggunakan mahkota tersebut, ” kata Orpa.

Menurutnya pemerintah sudah pernah menyinggung bahwa jika itu tak ada kaitannya dengan adat maka sebaiknya tidak diberikan atau dikeluarkan. “Jadi apapun alasannya kami pikir tidak bisa diterima.  Agenda yang dihadiri bukan acara adat melainkan agenda politik karena ia juga pimpinan partai, ” beberapa Orpa.

“Kalau mengatakan itu bagian dari adat, maka berikan kepada anak adat, bukan orang partai apalagi agendanya sudah jelas untuk politik, ” tutup Orpa.

Baca Juga :  Aparat Antisipasi “Serangan” Ganja Masuk Jayapura

Sementara Ketua Bara JP, Frans Ansanai memberikan klarifikasi. Ia menyampaikan bahwa posisinya memberikan mahkota tersebut cukup jelas. “Saya Kepala Suku Saireri II dan SK saya jelas. Lalu saya menyambut orang dengan prosesi yang jelas, ” beber Frans usai kegiatan.

Namun menurutnya bila yang menggunakan Mahkota Cenderawasih semua dikomplain, maka saya secara pribadi ia siap menyampaikan permintaan maaf. “Jadi tadi saya memberikan prosesi secara adat dan ia berkunjung ke rumah saya, dimana secara adat saya terima dan secara nasional juga saya terima. Lalu adat saat ini juga banyak bicara soal politik, sehingga coba kita tempatkan semua ke pemahaman yang lebih luas, ” bebernya.

Menurut Frans apabila dihubungkan dengan politik maka menurutnya banyak proses seperti ini juga dilakukan secara adat. “Sambutan tadi adalah dari Saireri dan semua proses adat. Saya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan teman – teman adat di daerah lain,” tutupnya. (ade/tri)

JAYAPURA-Kunjungan Ketua PSI, Kaesang Pangarep ke sekretariat Bara JP Papua di Entrop memberi cerita lain bagi dua sosok aktivis lingkungan. Kaesang disorot lantaran menggunakan Mahkota Cenderawasih yang notabene merupakan satwa endemik dan dilindungi.

Panitia diminta memberikan penjelasan terkait proses penyambutan Kaesang yang sekaligus penyematan mahkota tersebut. “Kami pikir sudah tidak zamannya lagi memberikan sambutan atau penghargaan dengan menyematkan bagian dari satwa dilindungi. Publik terlebih panitia yang menyambut harus paham bahwa itu adalah satwa dilindungi dan hampir punah,” kata Terry Anderson dalam pesan singkatnya, Senin (27/11).

Pemuda yang kerap menyuarakan isi HAM dan hak- hak dasar  masyarakat ini menyampaikan bahwa masyarakat di Papua sudah harus memahami bahwa ada paradigma lama yang harus dirubah. Tidak semua pejabat atau orang terhormat harus disematkan kearifan lokal dari satwa dilindungi.

“Kami yakin Kaesang tidak paham soal ini. Panitialah yang harus mengatur, mengapa tidak memberikan noken atau asesoris lain? Apakah kita harus menunggu punah baru kita berhenti memberikan Mahkota Cenderawasih?,” cecar Terry.

Baca Juga :  Tidak Dapat Info Gerak Jalan, Pelindo Tidak Antisipasi Kemacetan

“Kami mengapresiasi panitia penyambutan pak Ganjar kemarin yang mau menerima masukan kami dan akhirnya benar pak Ganjar tidak menggunakan Mahkota Cenderawasih. Harusnya ini bisa dilakukan semua sosok tamu yang akan datang ke Papua, ” tutup Terry.

Senada disampaikan Orpa Joshua, Ketua Volunteer Greenpeace Indonesia, Papua ini menyayangkan proses penyematan Mahkota Cenderawasih terhadap Kaesang. “Sebenarnya kepada siapa saja terkecuali ia memang sosok yang boleh menggunakan mahkota tersebut, ” kata Orpa.

Menurutnya pemerintah sudah pernah menyinggung bahwa jika itu tak ada kaitannya dengan adat maka sebaiknya tidak diberikan atau dikeluarkan. “Jadi apapun alasannya kami pikir tidak bisa diterima.  Agenda yang dihadiri bukan acara adat melainkan agenda politik karena ia juga pimpinan partai, ” beberapa Orpa.

“Kalau mengatakan itu bagian dari adat, maka berikan kepada anak adat, bukan orang partai apalagi agendanya sudah jelas untuk politik, ” tutup Orpa.

Baca Juga :  Jangan Kucilkan Pasien Covid-19, ODP, PDP dan Keluarganya

Sementara Ketua Bara JP, Frans Ansanai memberikan klarifikasi. Ia menyampaikan bahwa posisinya memberikan mahkota tersebut cukup jelas. “Saya Kepala Suku Saireri II dan SK saya jelas. Lalu saya menyambut orang dengan prosesi yang jelas, ” beber Frans usai kegiatan.

Namun menurutnya bila yang menggunakan Mahkota Cenderawasih semua dikomplain, maka saya secara pribadi ia siap menyampaikan permintaan maaf. “Jadi tadi saya memberikan prosesi secara adat dan ia berkunjung ke rumah saya, dimana secara adat saya terima dan secara nasional juga saya terima. Lalu adat saat ini juga banyak bicara soal politik, sehingga coba kita tempatkan semua ke pemahaman yang lebih luas, ” bebernya.

Menurut Frans apabila dihubungkan dengan politik maka menurutnya banyak proses seperti ini juga dilakukan secara adat. “Sambutan tadi adalah dari Saireri dan semua proses adat. Saya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan teman – teman adat di daerah lain,” tutupnya. (ade/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya