Saturday, April 27, 2024
33.7 C
Jayapura

Dualisme Hukum di Kasus Gratifikasi Gubernur Papua?

Frans Reumi: Hati-hati Gunakan Hukum Adat dalam Dugaan Korupsi Gubernur Papua

JAYAPURA-Belum lama ini, pihak keluarga Lukas Enembe yang disampaikan salah satu pengacaranya meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa kasus dugaan korupsi Lukas Enembe agar diperiksa di lapangan terbuka, dan disaksikan masyarakat.

  Di lain sisi, KPK sendiri memastikan akan memproses Gubernur Papua Lukas Enembe dengan hukum positif atau hukum nasional terkait dugaan kasus gratifikasi Rp 1 M.

  Terkait dengan hukum adat dengan hukum nasional/positif tersebut, Dekan Fakultas Hukum Dr. Frans Reumi, SH.MA, MH menjelaskan, hukum positif harus diterjemahkan. Sebab, hukum positif adalah semua produk hukum yang berlaku di suatu negara tertentu termasuk di Indonesia.

  “Ini adalah 2 sistim hukum yang benar-benar berlaku di Indonesia, selain hukum positif yang berlaku di Indonesia dan hukum adat yang berlaku di Papua,” terang Frans Reumi saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Sabtu (15/10).

  Hanya saja, kata Frans, hukum adat di Papua juga memiliki keragaman dan memiliki sistim hukum adat masing masing. Karena itu, apakah dia bisa berlaku generalisasi/umum atau berlaku terbatas pada masyarakat hukum adat tertentu.

  “Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, tetapi dia juga bagian dari sumber hukum positif. Hukum adat juga bisa dikatakan dia berlaku sebagai delik yang juga digunakan oleh masyarakat masing masing yang memiliki hukum adat itu,” terangnya.

  Yang sekarang jadi masalah, kata Frans, karakteristik dari hukum positif  Indonesia dengan hukum adat yang  berbeda, tetapi hukum adat  adalah bagian dari sumber hukum positif Indonesia.

Baca Juga :  LMA Pastikan Musyawarah dan Deklarasi Tetap Dilakukan

  Sebagaimana hukum adat terbatas pada wilayah-wilayah masyarakat hukum adat  tertentu, sementara hukum positif Indonesia berlaku dari Sabang-Merauke sepanjang  berada dalam kedaulatan NKRI.  Dimana biasanya bersentuhan dengan hukum adat berangkat dari Pasal 18b, 28i ayat 3 UUD sebagai sumber norma dasar tertinggi bagi pengakuan.

  “Sekarang yang menjadi masalah apakah ada pengaturannya? Memang sudah ada pengakuan tapi pengaturannya bagaimana terhadap kedudukan hukum adat dalam hukum negara, begitu juga sebaliknya,” paparnya.

  Menurut Frans, dalam kasus yang terjadi saat ini, jika sistim hukum adat dan hukum positif berlaku maka terjadi dualisme hukum. Sehingga itu yang perlu dilihat bahwa negara memberikan ruang atau tidak, atau sebaliknya masyarakat hukum adat memberikan ruang atau tidak.

  “Kasus yang disinggung bisa ada ruang untuk memberikan pengakuan dalam hal ini sudah masuk dalam proses prosedural bukan ideal, jadi kita lihat hukum adat punya mekanisme dan hukum negara juga punya mekanisme. Tergantung dilihat dari kasus yang bagaimana,” ucapnya.

  “Jika penggunaan hukum adat dalam kasus korupsi, menurut hemat saya ini menjadi pertimbangan yang harus butuh kehati-hatian, terutama kasus ini berhubungan dengan negara.  Perlu diingat, dua sistem hukum (adat dan negara) ini berlaku saling melengkapi dan saling mengisi,” sambungnya menjelaskan.

  Frans juga menyampaikan, jika dalam kasus ini negara meminta diselesaikan secara hukum negara. Sebab, dia (negara-red) melihat dari bobot kasus ini yang beda dengan kasus pidana biasa atau perdata biasa. Karena itu, negara tetap pada powernya menggunakan hukum positif yang berlaku.

Baca Juga :  Dukung Kebijakan Perpanjang Penutupan Akses Masuk ke Papua

  “Secara hukum, hukum adat sendiri tidak tertulis. Sehingga apa dasar hukum yang memberikan ruang untuk bisa diselesaikan secara adat. Tetapi hukum negara juga tetap mengakui hukum adat sebagai hukum yang hidup,” ucapnya.

  Menurut Frans, dalam kasus ini, Gubernur sebagai figure pemimpin negara tetapi juga figure pemimpin adat. Sehingga memiliki dampak yang cukup besar terhadap masyarakat itu sendiri, terlebih ini berkaitan dengan proses pembuktian untuk mencari kepastian hukum demi keadilan.

   “Sekarang berdiri di atas dua pilihan hukum, KPK nyatakan ini adalah pilihan kami tetap menggunakan hukum positif tanpa mengurangi  hukum adat yang berlaku. Ini berada dalam suatu dualisme hukum terhadap objek kasus seperti ini, karena  hukum adat sistim hukum dan  hukum positif juga ada dalam sistim hukum juga,” tuturnya.

   Secara terpisah, salah satu tim pengacara kuasa Hukum Gubernur Papua, Drs. Aloysius Renwarin, S.H., M.H menyampaikan, korelasi hukum adat dengan hukum positif  yakni sama sama berperan di Indonesia. Hukum adat tetap berperan menyelesaikan masalah di Indonesia  termasuk di Papua, yang masih sangat kuat hukum adatnya.

  “Jika KPK tetap mendorong hukum positif dalam kasus ini, kami tetap mendampingi klien kami juga mendampingi masalah yang diselesaikan di para para adat,” pungkasnya. (fia/tri)

Frans Reumi: Hati-hati Gunakan Hukum Adat dalam Dugaan Korupsi Gubernur Papua

JAYAPURA-Belum lama ini, pihak keluarga Lukas Enembe yang disampaikan salah satu pengacaranya meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa kasus dugaan korupsi Lukas Enembe agar diperiksa di lapangan terbuka, dan disaksikan masyarakat.

  Di lain sisi, KPK sendiri memastikan akan memproses Gubernur Papua Lukas Enembe dengan hukum positif atau hukum nasional terkait dugaan kasus gratifikasi Rp 1 M.

  Terkait dengan hukum adat dengan hukum nasional/positif tersebut, Dekan Fakultas Hukum Dr. Frans Reumi, SH.MA, MH menjelaskan, hukum positif harus diterjemahkan. Sebab, hukum positif adalah semua produk hukum yang berlaku di suatu negara tertentu termasuk di Indonesia.

  “Ini adalah 2 sistim hukum yang benar-benar berlaku di Indonesia, selain hukum positif yang berlaku di Indonesia dan hukum adat yang berlaku di Papua,” terang Frans Reumi saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Sabtu (15/10).

  Hanya saja, kata Frans, hukum adat di Papua juga memiliki keragaman dan memiliki sistim hukum adat masing masing. Karena itu, apakah dia bisa berlaku generalisasi/umum atau berlaku terbatas pada masyarakat hukum adat tertentu.

  “Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, tetapi dia juga bagian dari sumber hukum positif. Hukum adat juga bisa dikatakan dia berlaku sebagai delik yang juga digunakan oleh masyarakat masing masing yang memiliki hukum adat itu,” terangnya.

  Yang sekarang jadi masalah, kata Frans, karakteristik dari hukum positif  Indonesia dengan hukum adat yang  berbeda, tetapi hukum adat  adalah bagian dari sumber hukum positif Indonesia.

Baca Juga :  Kemenpan RB Dorong MPP Jayapura Jadi Pilot Project di Papua

  Sebagaimana hukum adat terbatas pada wilayah-wilayah masyarakat hukum adat  tertentu, sementara hukum positif Indonesia berlaku dari Sabang-Merauke sepanjang  berada dalam kedaulatan NKRI.  Dimana biasanya bersentuhan dengan hukum adat berangkat dari Pasal 18b, 28i ayat 3 UUD sebagai sumber norma dasar tertinggi bagi pengakuan.

  “Sekarang yang menjadi masalah apakah ada pengaturannya? Memang sudah ada pengakuan tapi pengaturannya bagaimana terhadap kedudukan hukum adat dalam hukum negara, begitu juga sebaliknya,” paparnya.

  Menurut Frans, dalam kasus yang terjadi saat ini, jika sistim hukum adat dan hukum positif berlaku maka terjadi dualisme hukum. Sehingga itu yang perlu dilihat bahwa negara memberikan ruang atau tidak, atau sebaliknya masyarakat hukum adat memberikan ruang atau tidak.

  “Kasus yang disinggung bisa ada ruang untuk memberikan pengakuan dalam hal ini sudah masuk dalam proses prosedural bukan ideal, jadi kita lihat hukum adat punya mekanisme dan hukum negara juga punya mekanisme. Tergantung dilihat dari kasus yang bagaimana,” ucapnya.

  “Jika penggunaan hukum adat dalam kasus korupsi, menurut hemat saya ini menjadi pertimbangan yang harus butuh kehati-hatian, terutama kasus ini berhubungan dengan negara.  Perlu diingat, dua sistem hukum (adat dan negara) ini berlaku saling melengkapi dan saling mengisi,” sambungnya menjelaskan.

  Frans juga menyampaikan, jika dalam kasus ini negara meminta diselesaikan secara hukum negara. Sebab, dia (negara-red) melihat dari bobot kasus ini yang beda dengan kasus pidana biasa atau perdata biasa. Karena itu, negara tetap pada powernya menggunakan hukum positif yang berlaku.

Baca Juga :  Isu Papua di MSG Tak Sekencang Dulu

  “Secara hukum, hukum adat sendiri tidak tertulis. Sehingga apa dasar hukum yang memberikan ruang untuk bisa diselesaikan secara adat. Tetapi hukum negara juga tetap mengakui hukum adat sebagai hukum yang hidup,” ucapnya.

  Menurut Frans, dalam kasus ini, Gubernur sebagai figure pemimpin negara tetapi juga figure pemimpin adat. Sehingga memiliki dampak yang cukup besar terhadap masyarakat itu sendiri, terlebih ini berkaitan dengan proses pembuktian untuk mencari kepastian hukum demi keadilan.

   “Sekarang berdiri di atas dua pilihan hukum, KPK nyatakan ini adalah pilihan kami tetap menggunakan hukum positif tanpa mengurangi  hukum adat yang berlaku. Ini berada dalam suatu dualisme hukum terhadap objek kasus seperti ini, karena  hukum adat sistim hukum dan  hukum positif juga ada dalam sistim hukum juga,” tuturnya.

   Secara terpisah, salah satu tim pengacara kuasa Hukum Gubernur Papua, Drs. Aloysius Renwarin, S.H., M.H menyampaikan, korelasi hukum adat dengan hukum positif  yakni sama sama berperan di Indonesia. Hukum adat tetap berperan menyelesaikan masalah di Indonesia  termasuk di Papua, yang masih sangat kuat hukum adatnya.

  “Jika KPK tetap mendorong hukum positif dalam kasus ini, kami tetap mendampingi klien kami juga mendampingi masalah yang diselesaikan di para para adat,” pungkasnya. (fia/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya