Sunday, April 28, 2024
24.7 C
Jayapura

Selama 20 Tahun, 114 Kasus Kekerasan Dialami Jurnalis Papua

JAYAPURA–Bertepatan dengan Hari HAM Se-dunia yang diperingati pada 10 Desember, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menginisiasi dan meluncurkan (launching) Perkumpulan Bantuan Hukum Pers Tanah Papua (PBHTP), Jumat (10/12).

Lembaga PBHPTP ini sebagai lembaga yang mempunyai legal standing yang akan berperan dalam membela hak-hak jurnalis yang mengalami kekerasan di Tanah Papua. Launching PBHTP sendiri tidak terlepas dari beberapa kasus kekerasan dan intimadasi yang dialami oleh jurnalis di lapangan, ini sebagai pembelaan hukum bagi jurnalis di Tanah Papua menuju kebebasan pers.

Ketua AJI Jayapura, Lucky Ireeuw menyampaikan, tidak ada gunanya berbicara tentang kemerdekaan pers jika wartawan itu terancam. Hak-haknya tidak dilindungi dan bekerja dalam tekanan.

Dikatakan, dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ditetapkan dengan dasar pertimbangan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin.

“Salah satu pekerjaan rumah terbesar Indonesia sejak 1969 hingga kini adalah kondisi kebebasan pers di Papua. Dari data AJI, ada 114 kasus kekerasan yang dialami jurnalis di Papua sepanjang 20 tahun terakhir sejak 2000 hingga 2021,” terang Lucky.

Baca Juga :  Saling Menghormati Meski Awal Puasa Berbeda

Lanjut Lucky, laporan hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Nasional oleh Dewan Pers, dalam 4 tahun terkahir, tahun 2017-2020, berturut-turut Papua menempati urutan terakhir nilai IKP dengan kategori kemerdekaan Pers agak bebas hingga cukup bebas.

“Salah satu penyebabnya karena masih kerap terjadi kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua. Kekerasan yang dimaksud bukan saja dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga secara psikis berupa ancaman, intimidasi, pelarangan, berbabagi bentuk serangan digital baik kepada pribadi jurnalis maupun media, hingga teror yang mengancam kerja jurnalistik dan kemerdekaan Pers di Papua dan Papua Barat,”tuturnya.

Dijelaskan, dari sejumlah kasus yang dialami jurnalis di Papua, sebagian tidak tertangani dengan baik. Bahkan, ada yang tidak jelas penyelesaiannya. Kondisi ini mengindikasikan tidak adanya jaminan dan kepastian hukum, dan rasa keadilan bagi jurnalis yang menjadi korban kekerasan.

“Selama ini ketika jurnalis mengalami kekerasan, penyelesaiannya hanya dengan minta maaf lalu selesai. Tidak ada yang mempertanggungjawabkannya secara hukum, bahkan beberapa kasus prosesnya tidak jelas dan hilang begitu saja. Kondisi ini mengindikasikan tidak ada jaminan dan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi jurnalis yang mengalami kekerasan di Papua,” terangya.

Menurut Lucky, PBH Pers Tanah Papua tidak saja hadir untuk memberikan manfaat bagi semua jurnalis cetak maupun elektronik di Tanah Papua, tapi juga penerima manfaat tidak langsung adalah pemerintah RI, dan pemerintah daerah, termasuk di dalamnya unsur legislatif, yudikatif, TNI-Polri, organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat dan masyarakat di Tanah Papua pada umumnya.

Baca Juga :  Baru Tiga Kampung yang Miliki Bumkam Berbadan Hukum

Sementara itu, Irma Sulaiman, perwakilan dari Pemprov mengatakan, ada perlindungan hukum untuk wartawan selama dia menjalankan tugasnya sebagai jurnalis.
“Dalam UU pers juga mengatur kode etik jurnalis, para wartawan dan media juga harus mematuhi apa yang ada. saling menghargai apapun yang dijalankan tugasnya di lapangan tetap memegang pada kode etiknya,” ucapnya.

Lanjutnya, sebagai pemerintah, pihaknya sangat mendukung dengan adanya LBH Pers. Dengan begitu, para wartawan tetap terlindungi dengan baik dalam menjalankan tugasnya.
Di tempat yang sama, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Papua Rusni merespon baik dengan adanya PBHTP. Karena, selama ini banyak hal yang dialami para jurnalis dari berbagai media.

“Harus ada lembaga untuk bisa melindungi proses hukum yang dialami oleh para jurnalis. Sejak adanya UU Pers no 40 tahun 1999, ini pertama kalinya PBHPT berdiri di tanah Papua,” terangnya.

Lanjutnya, dengan adanya pusat bantuan hukum. Jurnalis semakin merasa aman, merasa terlindungi pada saat melakukan tugas tugasnya sebagai seorang jurnalis dalam memberitakan hal yang harus diketahui oleh public. (fia/tho)

JAYAPURA–Bertepatan dengan Hari HAM Se-dunia yang diperingati pada 10 Desember, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menginisiasi dan meluncurkan (launching) Perkumpulan Bantuan Hukum Pers Tanah Papua (PBHTP), Jumat (10/12).

Lembaga PBHPTP ini sebagai lembaga yang mempunyai legal standing yang akan berperan dalam membela hak-hak jurnalis yang mengalami kekerasan di Tanah Papua. Launching PBHTP sendiri tidak terlepas dari beberapa kasus kekerasan dan intimadasi yang dialami oleh jurnalis di lapangan, ini sebagai pembelaan hukum bagi jurnalis di Tanah Papua menuju kebebasan pers.

Ketua AJI Jayapura, Lucky Ireeuw menyampaikan, tidak ada gunanya berbicara tentang kemerdekaan pers jika wartawan itu terancam. Hak-haknya tidak dilindungi dan bekerja dalam tekanan.

Dikatakan, dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ditetapkan dengan dasar pertimbangan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin.

“Salah satu pekerjaan rumah terbesar Indonesia sejak 1969 hingga kini adalah kondisi kebebasan pers di Papua. Dari data AJI, ada 114 kasus kekerasan yang dialami jurnalis di Papua sepanjang 20 tahun terakhir sejak 2000 hingga 2021,” terang Lucky.

Baca Juga :  Empat Bintang Kejora Antarkan Pejuang Papua Merdeka

Lanjut Lucky, laporan hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Nasional oleh Dewan Pers, dalam 4 tahun terkahir, tahun 2017-2020, berturut-turut Papua menempati urutan terakhir nilai IKP dengan kategori kemerdekaan Pers agak bebas hingga cukup bebas.

“Salah satu penyebabnya karena masih kerap terjadi kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua. Kekerasan yang dimaksud bukan saja dalam bentuk kekerasan fisik, tetapi juga secara psikis berupa ancaman, intimidasi, pelarangan, berbabagi bentuk serangan digital baik kepada pribadi jurnalis maupun media, hingga teror yang mengancam kerja jurnalistik dan kemerdekaan Pers di Papua dan Papua Barat,”tuturnya.

Dijelaskan, dari sejumlah kasus yang dialami jurnalis di Papua, sebagian tidak tertangani dengan baik. Bahkan, ada yang tidak jelas penyelesaiannya. Kondisi ini mengindikasikan tidak adanya jaminan dan kepastian hukum, dan rasa keadilan bagi jurnalis yang menjadi korban kekerasan.

“Selama ini ketika jurnalis mengalami kekerasan, penyelesaiannya hanya dengan minta maaf lalu selesai. Tidak ada yang mempertanggungjawabkannya secara hukum, bahkan beberapa kasus prosesnya tidak jelas dan hilang begitu saja. Kondisi ini mengindikasikan tidak ada jaminan dan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi jurnalis yang mengalami kekerasan di Papua,” terangya.

Menurut Lucky, PBH Pers Tanah Papua tidak saja hadir untuk memberikan manfaat bagi semua jurnalis cetak maupun elektronik di Tanah Papua, tapi juga penerima manfaat tidak langsung adalah pemerintah RI, dan pemerintah daerah, termasuk di dalamnya unsur legislatif, yudikatif, TNI-Polri, organisasi masyarakat sipil, masyarakat adat dan masyarakat di Tanah Papua pada umumnya.

Baca Juga :  Saling Menghormati Meski Awal Puasa Berbeda

Sementara itu, Irma Sulaiman, perwakilan dari Pemprov mengatakan, ada perlindungan hukum untuk wartawan selama dia menjalankan tugasnya sebagai jurnalis.
“Dalam UU pers juga mengatur kode etik jurnalis, para wartawan dan media juga harus mematuhi apa yang ada. saling menghargai apapun yang dijalankan tugasnya di lapangan tetap memegang pada kode etiknya,” ucapnya.

Lanjutnya, sebagai pemerintah, pihaknya sangat mendukung dengan adanya LBH Pers. Dengan begitu, para wartawan tetap terlindungi dengan baik dalam menjalankan tugasnya.
Di tempat yang sama, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Papua Rusni merespon baik dengan adanya PBHTP. Karena, selama ini banyak hal yang dialami para jurnalis dari berbagai media.

“Harus ada lembaga untuk bisa melindungi proses hukum yang dialami oleh para jurnalis. Sejak adanya UU Pers no 40 tahun 1999, ini pertama kalinya PBHPT berdiri di tanah Papua,” terangnya.

Lanjutnya, dengan adanya pusat bantuan hukum. Jurnalis semakin merasa aman, merasa terlindungi pada saat melakukan tugas tugasnya sebagai seorang jurnalis dalam memberitakan hal yang harus diketahui oleh public. (fia/tho)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya