Kegiatan dilakukan untuk memperkuat pemahaman aktivis dan jurnalis mengenai realitas pembangunan di Indonesia, ketimpangan ekonomi serta feminisasi kemiskinan dengan menggunakan analisis feminis dan mendorong solidaritas serta komitmen untuk bersama-sama menyuarakan suara perempuan yang hidup dalam kondisi miskin dan terpinggirkan.
“Air bersih merupakan salah satu kebutuhan mendasar kami. Tempat tinggal saya, sangat sulit untuk mendapatkan air bersih karena pembangunan Waduk Pluit. Kami harus mengeluarkan uang sekitar Rp.20.000-30.000/hari. Saya berharap, setelah pelatihan ini jurnalis dan media dapat memberitakan krisis air bersih yang dihadapi oleh perempuan di Jakarta”. Tegas Muhayati, Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia.
Pernyataan tersebut berdasarkan pengalamannya dengan masifnya pembangunan tanggul raksasa untuk mencegah banjir rob akibat perubahan iklim; namun nyatanya malah membuat nelayan makin sulit mendapatkan ikan, merusak lingkungan, menggusur tempat tinggal, menghilangkan mata pencaharian dan mengakibatkan krisis air bersih bagi perempuan.
Peserta pelatihan jurnalistik feminis, selain meningkatkan pemahaman mengenai feminisasi kemiskinan akibat model pembangunan ekonomi yang eksploitatif, juga meningkatkan keterampilan peliputan mendalam dengan melihat situasi dan ketidakadilan berlapis yang dihadapi perempuan. Dalam pelatihan tersebut, peserta berkunjung ke Kalibaru, Rawa Badak, Muara Angke dan Muara Baru di wilayah Jakarta Utara, sebagai praktek lapangan.