Friday, April 26, 2024
33.7 C
Jayapura

Berlaku Adil bagi Semua Korban Bencana

Seli Monim Ohee

Bincang-bincang dengan Koordinator Posko SKB Sentani, Seli Monim Ohee

Didapuk menjadi koordinator utama  di Posko pengungsian mungkin tidak pernah diharapkan Ibu Seli Monim Ohee. Namun tugas itu sudah dipercayakan kepadanya. Lantas bagaimana ia menjalankan tugas pelayanan bagi lebih dari 300 pengungsi di Posko SKB Jalan Kemiri itu?

Laporan: Robert Mboik Sentani

Ibu Seli Monim Ohee merupakan satu dari 300-an pengungsi yang saat ini masih menempati tenda pengungsian di SKB Sentani, Jalan Kemiri.  Namun dia tidak saja bertahan sebagai pengungsi tetapi juga diberi tugas tambahan sebagai koordinator utama untuk memperhatikan semua hal-hal atau kebutuhan yang berkaitan dengan keberadaan tiga ratusan pengungsi di Posko tersebut.

Menjadi penanggung jawab untuk urusan seperti itu memang tidak mudah. Sebab orang-orang yang ditampung di Posko pengungsian pasti mengalami berbagai tekanan, trauma  yang ditimbulkan akibat bencana alam yang menerpa kehidupan mereka. 

“Dalam suasana seperti ini, yang pasti semua punya kemauan masing-masing. Tapi tidak mungkin semua kemauan itu langsung dipenuhi, upaya pasti dilakukan,”kata Seli Monim Ohe kepada Cenderawasih Pos, Senin (22/4).

Ibu Seli yang juga merupakan kepala sekolah dari salah satu sekolah dasar yang ada di Danau Sentani itu, kini menghabiskan waktunya bersama ratusan warga lainnya di Posko pengungsian itu. Hari-hari yang tidak menggembirakan itu tetap dijalani bersama warga lainnya. Tidak ada lagi perbedaan yang memisahkan mereka, baik agama, budaya dan suku bangsa. Semua sama begitupun perlakuannya juga sama. Warga Kampung Kemiri memang tidak hanya dihuni oleh masyarakat atau Orang Asli Papua (OAP), tetapi masyarakat non OAP  yang telah lama mendiami kampung itu juga cukup banyak. Itu sebabnya, bencana yang terjadi kali ini tidak lagi membedahkan atau saling menjauhkan mereka, justru semakin memperat hubungan kekeluargaan di antara mereka yang kini masih bertahan di posko pengungsian SKB itu. Ibu Seli menuturkan, pasca bencana alam, bantuan logistik makanan melimpah dan terus berdatangan. Namun sebagai koordinator yang juga sebagai korban bencana  harus berlaku adil. Bantuan yang datang tidak serta merta dimanfaatkan semua oleh para korban yang yang ditampung di Posko itu. Namun  sebagian lainnya dibagikan kepada para korban yang masih bertahan di rumah-rumah mereka.

Baca Juga :  Netralitas KPU Jayapura Sedang Diuji

“Memang mereka tidak bersama kita di sini, tapi mereka yang berada di rumah-rumah di Kampung Kemiri itu juga bagian dari warga yang terkena dampak langsung dari bencana alam ini,” paparnya.

Keprihatinannya terhadap sesama warga korban bencana yang ada di luar Posko ternyata tidak selalu mendapat dukungan dari warga lainnya.  Rasa belas kasihan untuk berbagi kepada korban lainnya justru dituding bahwa ia telah mengutamakan keluarganya sendiri.  Sempat marah mendengar tudingan yang tidak rasional itu,  namun ia berusaha untuk tegar karena menurutnya, tuduhan  itu mungkin bagian lain dari ujian yang sedang di berikan kepadanya.

“Entah keluarga  mana yang dimaksudkan. Sementara kita semua ada di sini,  saya harus berlaku adil, saya tidak mau pandang bulu, apakah dia orang Papua atau bukan dia seiman dengan saya di sini, saya harus menunjukkan bahwa susah dan senang harus sama-sama dirasakan,” tandasnya.

Baca Juga :  Penyaluran DD di 139 Kampung Lebih dari Rp 59 Miliar

Dia hanya bisa   berusaha memberi pengertian kepada warga yang  sering salah paham dengan kebijakan yang diterapkannya.  Cara  itu pun dianggap paling jitu,  perlahan tapi pasti kini warga sudah mulai memahami  dan menerima setiap peraturan yang diterapkan di Posko. (*)

Seli Monim Ohee

Bincang-bincang dengan Koordinator Posko SKB Sentani, Seli Monim Ohee

Didapuk menjadi koordinator utama  di Posko pengungsian mungkin tidak pernah diharapkan Ibu Seli Monim Ohee. Namun tugas itu sudah dipercayakan kepadanya. Lantas bagaimana ia menjalankan tugas pelayanan bagi lebih dari 300 pengungsi di Posko SKB Jalan Kemiri itu?

Laporan: Robert Mboik Sentani

Ibu Seli Monim Ohee merupakan satu dari 300-an pengungsi yang saat ini masih menempati tenda pengungsian di SKB Sentani, Jalan Kemiri.  Namun dia tidak saja bertahan sebagai pengungsi tetapi juga diberi tugas tambahan sebagai koordinator utama untuk memperhatikan semua hal-hal atau kebutuhan yang berkaitan dengan keberadaan tiga ratusan pengungsi di Posko tersebut.

Menjadi penanggung jawab untuk urusan seperti itu memang tidak mudah. Sebab orang-orang yang ditampung di Posko pengungsian pasti mengalami berbagai tekanan, trauma  yang ditimbulkan akibat bencana alam yang menerpa kehidupan mereka. 

“Dalam suasana seperti ini, yang pasti semua punya kemauan masing-masing. Tapi tidak mungkin semua kemauan itu langsung dipenuhi, upaya pasti dilakukan,”kata Seli Monim Ohe kepada Cenderawasih Pos, Senin (22/4).

Ibu Seli yang juga merupakan kepala sekolah dari salah satu sekolah dasar yang ada di Danau Sentani itu, kini menghabiskan waktunya bersama ratusan warga lainnya di Posko pengungsian itu. Hari-hari yang tidak menggembirakan itu tetap dijalani bersama warga lainnya. Tidak ada lagi perbedaan yang memisahkan mereka, baik agama, budaya dan suku bangsa. Semua sama begitupun perlakuannya juga sama. Warga Kampung Kemiri memang tidak hanya dihuni oleh masyarakat atau Orang Asli Papua (OAP), tetapi masyarakat non OAP  yang telah lama mendiami kampung itu juga cukup banyak. Itu sebabnya, bencana yang terjadi kali ini tidak lagi membedahkan atau saling menjauhkan mereka, justru semakin memperat hubungan kekeluargaan di antara mereka yang kini masih bertahan di posko pengungsian SKB itu. Ibu Seli menuturkan, pasca bencana alam, bantuan logistik makanan melimpah dan terus berdatangan. Namun sebagai koordinator yang juga sebagai korban bencana  harus berlaku adil. Bantuan yang datang tidak serta merta dimanfaatkan semua oleh para korban yang yang ditampung di Posko itu. Namun  sebagian lainnya dibagikan kepada para korban yang masih bertahan di rumah-rumah mereka.

Baca Juga :  Temu Bisnis Ekspor Ikan, Diharapkan Bangkitkan Stakeholder

“Memang mereka tidak bersama kita di sini, tapi mereka yang berada di rumah-rumah di Kampung Kemiri itu juga bagian dari warga yang terkena dampak langsung dari bencana alam ini,” paparnya.

Keprihatinannya terhadap sesama warga korban bencana yang ada di luar Posko ternyata tidak selalu mendapat dukungan dari warga lainnya.  Rasa belas kasihan untuk berbagi kepada korban lainnya justru dituding bahwa ia telah mengutamakan keluarganya sendiri.  Sempat marah mendengar tudingan yang tidak rasional itu,  namun ia berusaha untuk tegar karena menurutnya, tuduhan  itu mungkin bagian lain dari ujian yang sedang di berikan kepadanya.

“Entah keluarga  mana yang dimaksudkan. Sementara kita semua ada di sini,  saya harus berlaku adil, saya tidak mau pandang bulu, apakah dia orang Papua atau bukan dia seiman dengan saya di sini, saya harus menunjukkan bahwa susah dan senang harus sama-sama dirasakan,” tandasnya.

Baca Juga :  Penyaluran DD di 139 Kampung Lebih dari Rp 59 Miliar

Dia hanya bisa   berusaha memberi pengertian kepada warga yang  sering salah paham dengan kebijakan yang diterapkannya.  Cara  itu pun dianggap paling jitu,  perlahan tapi pasti kini warga sudah mulai memahami  dan menerima setiap peraturan yang diterapkan di Posko. (*)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya