Pihak Pengadilan saat menyampaikan penundaan eksekusi sebuah rumah di jalan Radio Kelurahan Karang Indah, Kamis (8/8). ( FOTO : Sulo/Cepos )
MERAUKE- Pengadilan Negeri Merauke menunda eksekusi sebuah rumah di Jalan Radio Kelurahan Karang Indah Merauke, Kamis (8/8). Penundaan ini karena situasi di lapangan yang kurang kondusif untuk dilakukan eksekusi terhadap rumah milik Sidik Wireuw sebagai termohon yang berdiri di atas lahan yang telah disengketakan itu seluas 15 x 20 meter.
Padahal, petugas kepolisian yang akan mengamankan jalannya eksekusi tersebut telah berada di lokasi sejak pukul 08.30 WIT. Hingga pukul 13.30 WIT, bagian eksekusi dari Pengadilan Negeri menyampaikan jika eksekusi terhadap rumah ditunda.
‘’Hari ini eksekusi kita tunda dan besok akan ada rapat dengan Pak Kapolres. Tapi eksekusi akan tetap dilaksanakan. Waktunya tidak terlalu lama. Tapi akan dilakukan rapat dulu dengan Pak Kapolres. Saya harap semuanya bubar,’’ kata Adolf Fordatkossu, SH dari pengadilan Negeri Merauke, saat menyampaikan penundaan eksekusi tersebut.
Dengan pengumuman tersebut, maka petugas kepolisian yang akan mengamankan eksekusi itu langsung bubar. Termasuk petugas dari Pengadilan Negeri Merauke. Adolf Fordatkossu menjelaskan bahwa sengketa tanah ini antara Hj. Nintang sebagai pemohon dengan Sidik Wireuw sebagai termohon. Dimana sengketa tanah ini telah berkekuatan hukum tetap dan bangunan yang ada di atasnya harus dieksekusi.
Sementara itu, Sidik Wireuw mengaku merasa dizolimi. ‘’Sebagai anak yang punya tanah dan negeri ini saya merasa dizolimi. Kenapa, karena mekanisme persoalan tanah ini tidak sesuai lagi dengan UUD lagi. Karena pertama, kami di Papua ini diberi Otsus sebagai pilihan pertama NKRI. Tapi, mereka sudah melanggar aturan main ini. Saya tidak membicarakan siapa yang salah dan siapa yang benar. Maksud saya, kalau persoalan ini bisa dibicarakan dengan cara-cara yang baik, saya sarjana hukum dan tahu hukum. Mengapa saya tidak ke pengadilan karena memang itu ada masalah. Ibu Nintang ini dia punya surat tanah pelepasan yang bermasalah. Kemudian dia buat lagi dan menyalahi aturan lagi,’’ terangnya.
Dikatakan, yang terjadi sekarang adalah terjadinya miss komunikasi antara Ibu Nintang dengan dirinya. ‘’Saya merasa dirugikan karena dari pemerintahan pengadilan kasih ke saya selaku anak adat, saya patuh terhadap adat. Karena mekanisme adat ini ada dimana ketika ada potong babi itu tanah itu sah milik kami. Karena ini tanah marga Ndiken dan ini juga tanah orang tua saya yang diwariskan kepada kami. Karena itu kami menjaga dan ini satu-satunya asset satu-satunya kami,’’ jelasnya. Terkait dengan putusan ekseksusi dari Pengadilan Negeri Merauke tersebut, Sidik mengaku akan melakukan komunikasi untuk melakukan solusinya seperti apa nanti dengan ibu Sintang. (ulo/tri)
Pihak Pengadilan saat menyampaikan penundaan eksekusi sebuah rumah di jalan Radio Kelurahan Karang Indah, Kamis (8/8). ( FOTO : Sulo/Cepos )
MERAUKE- Pengadilan Negeri Merauke menunda eksekusi sebuah rumah di Jalan Radio Kelurahan Karang Indah Merauke, Kamis (8/8). Penundaan ini karena situasi di lapangan yang kurang kondusif untuk dilakukan eksekusi terhadap rumah milik Sidik Wireuw sebagai termohon yang berdiri di atas lahan yang telah disengketakan itu seluas 15 x 20 meter.
Padahal, petugas kepolisian yang akan mengamankan jalannya eksekusi tersebut telah berada di lokasi sejak pukul 08.30 WIT. Hingga pukul 13.30 WIT, bagian eksekusi dari Pengadilan Negeri menyampaikan jika eksekusi terhadap rumah ditunda.
‘’Hari ini eksekusi kita tunda dan besok akan ada rapat dengan Pak Kapolres. Tapi eksekusi akan tetap dilaksanakan. Waktunya tidak terlalu lama. Tapi akan dilakukan rapat dulu dengan Pak Kapolres. Saya harap semuanya bubar,’’ kata Adolf Fordatkossu, SH dari pengadilan Negeri Merauke, saat menyampaikan penundaan eksekusi tersebut.
Dengan pengumuman tersebut, maka petugas kepolisian yang akan mengamankan eksekusi itu langsung bubar. Termasuk petugas dari Pengadilan Negeri Merauke. Adolf Fordatkossu menjelaskan bahwa sengketa tanah ini antara Hj. Nintang sebagai pemohon dengan Sidik Wireuw sebagai termohon. Dimana sengketa tanah ini telah berkekuatan hukum tetap dan bangunan yang ada di atasnya harus dieksekusi.
Sementara itu, Sidik Wireuw mengaku merasa dizolimi. ‘’Sebagai anak yang punya tanah dan negeri ini saya merasa dizolimi. Kenapa, karena mekanisme persoalan tanah ini tidak sesuai lagi dengan UUD lagi. Karena pertama, kami di Papua ini diberi Otsus sebagai pilihan pertama NKRI. Tapi, mereka sudah melanggar aturan main ini. Saya tidak membicarakan siapa yang salah dan siapa yang benar. Maksud saya, kalau persoalan ini bisa dibicarakan dengan cara-cara yang baik, saya sarjana hukum dan tahu hukum. Mengapa saya tidak ke pengadilan karena memang itu ada masalah. Ibu Nintang ini dia punya surat tanah pelepasan yang bermasalah. Kemudian dia buat lagi dan menyalahi aturan lagi,’’ terangnya.
Dikatakan, yang terjadi sekarang adalah terjadinya miss komunikasi antara Ibu Nintang dengan dirinya. ‘’Saya merasa dirugikan karena dari pemerintahan pengadilan kasih ke saya selaku anak adat, saya patuh terhadap adat. Karena mekanisme adat ini ada dimana ketika ada potong babi itu tanah itu sah milik kami. Karena ini tanah marga Ndiken dan ini juga tanah orang tua saya yang diwariskan kepada kami. Karena itu kami menjaga dan ini satu-satunya asset satu-satunya kami,’’ jelasnya. Terkait dengan putusan ekseksusi dari Pengadilan Negeri Merauke tersebut, Sidik mengaku akan melakukan komunikasi untuk melakukan solusinya seperti apa nanti dengan ibu Sintang. (ulo/tri)